Bedil adalah istilah dari daerah Nusantara di Asia Tenggara Maritim yang mengacu pada berbagai jenis senjata api dan senjata bubuk mesiu, dari pistol matchlock kecil sampai meriam pengepungan yang besar. Istilah bedil berasal dari kata wedil (atau wediyal) dan wediluppu (atau wediyuppu) dari bahasa Tamil.
Dalam bentuk aslinya, kata-kata ini secara berurut merujuk pada ledakan mesiu dan niter (kalium nitrat). Tapi setelah terserap menjadi bedil pada bahasa Melayu, dan di sejumlah budaya lain di kepulauan Nusantara, kosakata Tamil itu digunakan untuk merujuk pada semua jenis senjata yang menggunakan bubuk mesiu.
Pada bahasa Jawa dan Bali dikenal istilah bedil atau bedhil, pada bahasa Sunda istilahnya adalah bedil, di bahasa Batak sebagai bodil, di bahasa Makassar yaitu badili, di bahasa Bugis adalah balili, di bahasa Dayak adalah badil, di bahasa Tagalog, baril, di bahasa Bisaya, bádil, di rumpun bahasa Bikol, badil, dan orang Melayu, memanggilnya badel atau bedil.
Pengetahuan tentang senjata berbasis bubuk mesiu diperkenalkan ke kerajaan Jawa ketika tentara Yuan(era Kublai Khan) di bawah kepemimpinan Ike Mese berusaha untuk menginvasi Jawa pada tahun 1293 Masehi. Buku Sejarah Yuan (Yuan shi) menyebutkan bahwa orang Mongol menggunakan meriam (bahasa Cina: Pao) melawan pasukan Daha(periode awal Majapahit).
Setelah itu, Majapahit di bawah Mahapatih (perdana menteri) Gajah Mada (bertugas tahun 1329-1364 Masehi), memanfaatkan teknologi senjata bubuk mesiu yang diperoleh dari dinasti Yuan untuk digunakan dalam armada laut.
Salah satu catatan paling awal tentang adanya meriam dan penembak artileri di Jawa adalah dari tahun 1346 Masehi. Meriam putar isian belakang yang dibuat oleh orang Jawa(cetbang), pada awalnya dikenal dengan nama bedil, kata yang menunjukkan senjata berbasis serbuk mesiu apapun.
Pendahulu senjata api, meriam galah (bedil tombak), dicatat digunakan oleh Jawa pada tahun 1413 Masehi. Akan tetapi pengetahuan membuat senjata api, sejati datang jauh setelah penggunaan meriam putar, setelah pertengahan abad ke-15. Ia dibawa oleh negara-negara Islam di Asia Barat, kemungkinan besar oleh orang Arab. Tahun pengenalan yang tepat tidak diketahui, tetapi dapat dengan aman disimpulkan tidak lebih awal dari tahun 1460 Masehi.
Hal ini menghasilkan perkembangan arquebus Jawa, yang aslinya juga disebut dengan nama bedil.
Pengaruh Portugis terhadap persenjataan lokal, terutama setelah perebutan Malaka (1511 M), menghasilkan senjata api matchlock tradisi campuran jenis baru, yaitu istinggar.
Penjajah Portugis dan Spanyol kadang-kadang terkejut dan bahkan kalah persenjataan.
Duarte Barbosa mencatat berlimpahnya senjata berbasis bubuk mesiu di Jawa sekitar tahun 1514 Masehi. Orang Jawa dianggap sebagai ahli pembuat senjata api dan penembak artileri yang baik. Senjata yang ditemukan di sana diantaranya meriam 1 pon (cetbang atau rentaka), senapan lontak panjang, spingarde (arquebus), schioppi (meriam tangan), api Yunani, gun (bedil besar atau meriam), dan senjata api atau kembang api lainnya.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 M, meriam putar yang diisi dari belakang (cetbang) dan meriam putar isian depan (lela dan rentaka) ditemukan dan dirampas oleh Portugis.
Saat pertempuran itu, orang-orang Melayu menggunakan meriam, senapan matchlock, dan "tabung tembak".
Pada awal abad ke-16, orang Jawa sudah memproduksi meriam besar secara lokal, beberapa di antaranya masih bertahan sampai hari ini dan dijuluki sebagai "meriam keramat" atau "meriam suci". Meriam ini bervariasi antara 180-260 pon, beratnya antara 3-8 ton, panjangnya antara 3-6 m.
Pemanenan saltpeter dicatat oleh para pelancong Belanda dan Jerman sebagai hal yang biasa bahkan di desa-desa terkecil dan dikumpulkan dari proses dekomposisi bukit-bukit kotoran besar yang secara khusus ditumpuk untuk tujuan tersebut. Hukuman Belanda karena memiliki bubuk mesiu yang tidak diizinkan tampaknya adalah amputasi. Kepemilikan dan pembuatan mesiu kemudian dilarang oleh penjajah kolonial Belanda.
Menurut kolonel McKenzie yang dikutip dalam buku Sir Thomas Stamford Raffles, The History of Java (1817M), belerang paling murni dipasok dari kawah dari gunung dekat selat Bali.
Untuk senjata api yang menggunakan mekanisme flintlock, penduduk kepulauan Nusantara bergantung pada kekuatan Barat, karena tidak ada pandai besi lokal yang dapat menghasilkan komponen rumit seperti itu.
Senjata api flintlock ini adalah senjata yang sama sekali berbeda dan dikenal dengan nama lain, yaitu senapan atau senapang, yang berasal dari kata Belanda snappaan.
Daerah pembuatan senjata di Nusantara dapat membuat senjata jenis ini, laras dan bagian kayunya dibuat secara lokal, tetapi mekanismenya diimpor dari penjajah Eropa.
------------------------------
Oleh: Bhre Polo
Sumber:
Komentar
Posting Komentar