Bedil Cetbang Majapahit (sekitar abad ke-13 M)

Cetbang (juga dikenal sebagai bedil, warastra, atau coak), yang merupakan senjata sejenis meriam, diproduksi dan digunakan pada masa kerajaan Majapahit (1293–1527 M) dan kerajaan-kerajaan di Nusantara setelahnya. 
Berbeda dengan meriam eropa dan timur tengah pada umumnya, yang merupakan meriam isian depan (muzzle loader), cetbang terbuat dari perunggu dan memiliki kamar dan tabung peluru di bagian belakang (meriam isian belakang atau breech loader). 
Pada prasasti Sekar disebutkan cetbang diproduksi di Rajekwesi, Bojonegoro, sedangkan mesiu utamanya diproduksi di Swatantra Biluluk (Lamongan).
Cetbang pada awalnya disebut sebagai bedil. Di Jawa, istilah untuk meriam adalah bedil, tetapi istilah ini dapat mengacu pada berbagai jenis senjata api dan senjata bubuk mesiu, dari pistol matchlock kecil sampai meriam pengepungan yang besar. 
Istilah bedil berasal dari kata wedil (atau wediyal) dan wediluppu (atau wediyuppu) dari bahasa Tamil.
Dalam bentuk aslinya, kata-kata ini secara berurut merujuk pada ledakan mesiu dan niter (kalium nitrat). 
Tapi setelah terserap menjadi bedil pada bahasa Melayu, dan di sejumlah budaya lain di kepulauan Nusantara, kosakata Tamil itu digunakan untuk merujuk pada semua jenis senjata api yang menggunakan bubuk mesiu. 
Pada bahasa Jawa dan Bali istilah bedil dan bedhil dikenal, pada bahasa Sunda istilahnya adalah bedil, di bahasa Batak sebagai bodil, di bahasa Makassar, badili, di bahasa Bugis, balili, di bahasa Dayak, badil, di bahasa Tagalog, baril, di bahasa Bisaya, bádil, di rumpun bahasa Bikol, badil, dan orang Melayu orang memanggilnya badel atau bedil. 
Istilah "meriam coak" berasal dari bahasa Betawi yang berarti meriam terbuka/terkuak, merujuk pada bagian belakangnya. Ia juga bisa secara sederhana disebut sebagai coak.
Cetbang awal dibuat dengan bahan perunggu, dan merupakan senjata yang diisi dari belakang. Pada abad ke-16, besi juga mulai dipakai. 
Cetbang yang digunakan pada armada maritim Majapahit ukurannya bervariasi antara 1 hingga 3 meter. Cetbang yang berukuran 3 meter biasanya ditempatkan di kapal-kapal perang Majapahit yang disebut Jong Majapahit. Namun, sebagian besar senjata ini memiliki kaliber yang kecil (30 hingga 60 mm). Mereka adalah meriam yang ringan dan mudah dipindahkan, sebagian besar dari mereka dapat dibawa dan ditembak oleh satu orang.
Meriam ini dipasang di garpu putar (disebut cagak), bagian bawahnya dipasang ke lubang atau soket di kota mara kapal atau tembok benteng.
Sebuah "kemudi" atau lebih tepatnya popor dari kayu dimasukkan ke lubang bagian belakang meriam dengan rotan, untuk memungkinkannya diarahkan dan dibidik.
Cetbang dipasang sebagai meriam tetap, meriam putar, atau dipasang pada kereta meriam. 
Cetbang ukuran kecil dapat dengan mudah dipasang di kapal kecil yang disebut penjajap (Portugis: pangajaua atau pangajava) dan juga lancaran. Meriam ini dipergunakan sebagai senjata anti personil, bukan anti kapal. 
Pada zaman ini, bahkan sampai abad ke-17, prajurit laut Nusantara bertempur di panggung di kapal yang biasa disebut Balai (lihat gambar kapal di bawah). 
Ditembakan pada kumpulan prajurit dengan peluru scattershot (peluru sebar atau peluru gotri, dapat berupa grapeshot, case shot, atau paku dan batu), cetbang sangat efektif untuk pertempuran jenis ini.
Sejarah Cetbang Periode Majapahit (1293-1527 M)
Teknologi senjata bubuk mesiu diperkirakan masuk ke Majapahit pada saat invasi tentara Kubilai Khan dari Tiongkok di bawah pimpinan Ike Mese yang bekerjasama dengan Raden Wijaya saat menggulingkan Kertanagara pada tahun 1293 Masehi. 
Saat itu, tentara Mongol menggunakan meriam (Bahasa China: Pao) ketika menyerang pasukan Daha.
Kerajaan Majapahit diperkirakan mendominasi nusantara karena keahlian & teknologi unik menempa perunggu serta keahlian produksi massal melalui industri rumahan yang digabungkan ke gudang persenjataan utama. 
Kerajaan Majapahit juga mempelopori pembuatan dan penggunaan senjata berbasis bubuk mesiu secara massal sehingga menjadi bagian umum dari peperangan. Stamford Raffles menulis dalam bukunya 'The History of Java', bahwa pada tahun 1247 Syaka (1325 M), meriam telah banyak digunakan di Jawa terutama oleh Majapahit. Tercatat bahwa kerajaan-kerajaan kecil di Jawa yang meminta perlindungan pada Majapahit harus menyerahkan meriam mereka kepada Majapahit.
Majapahit di bawah Mahapatih Gajah Mada (bertugas tahun 1329-1364 M) memanfaatkan teknologi senjata bubuk mesiu yang diperoleh dari dinasti Yuan untuk digunakan dalam armada laut.
Salah satu catatan paling awal tentang adanya meriam dan penembak artileri di Jawa adalah dari tahun 1346 Masehi.
Penggunaan meriam umum digunakan oleh armada laut kerajaan Majapahit dan juga bajak laut serta kerajaan pesaing di Nusantara.
Panglima angkatan laut Majapahit yang terkenal menggunakan meriam cetbang pada armada Majapahit adalah Mpu Nala.
Kesohoran Mpu Nala pada masa Majapahit diketahui melalui Prasasti Sekar, Prasasti Manah I Manuk (Bendosari), Prasasti Batur, Prasasti Tribhuwana dan Kakawin Negarakretagama yang menyebutnya sebagai Rakryan Tumenggung (panglima perang). 
Dalam Kakawin Negarakertagama, Mpu Nala mendapat gelar "Wiramandalika". Gelar ini disematkan karena jasanya kepada perluasan wilayah Majapahit. Dalam wirama 72 bait 2-3 menyebutnya sebagai keturunan orang cerdik yang mampu menghancurkan musuh di Dompo (Nusa Tenggara Barat).
Kerajaan tetangga Majapahit, Sunda, dicatat menggunakan bedil selama pertempuran Bubat tahun 1357 Masehi. 
Kidung Sunda pupuh 2 bait 87-95 menyebutkan bahwa orang Sunda memiliki juru-modya ning bedil besar (pembidik / operator meriam besar) pada kapal-kapal di sungai dekat alun-alun Bubat. Pasukan Majapahit yang berada di dekat sungai itu tidak beruntung: Mayat-mayat mereka hampir tidak bisa disebut mayat, mereka cacat, tercabik-cabik dengan cara yang paling mengerikan, lengan dan kepala terlempar. Bola meriam dikatakan dilepaskan seperti hujan, yang memaksa pasukan Majapahit mundur di bagian pertama pertempuran.
Ma Huan (penerjemah Cheng Ho) mengunjungi Jawa pada 1413 Masehi dan membuat catatan tentang adat setempat. Bukunya, Yingya Shenlan, menjelaskan bahwa meriam ditembakan dalam upacara pernikahan Jawa ketika sang suami mengawal istri barunya ke rumah perkawinan bersamaan dengan suara gong, drum, dan petasan.
Sejarah Cetbang Periode Islam(1478-1600 M)
Pada masa memudarnya kekuasaan Majapahit, terutama setelah perang paregreg (1404-1406 M), banyak dari ahli meriam perunggu yang tidak puas dengan kondisi kerajaan di Jawa, yang akhirnya lari ke Brunei, Sumatra, Semenanjung Malaya dan kepulauan Filipina, yang menyebabkan meluasnya penggunaan meriam cetbang. Terutama pada kapal dagang untuk perlindungan dari bajak laut, di Selat Makassar.
Menurut catatan Portugis yang datang ke Malaka pada abad ke-16, telah terdapat perkampungan besar dari pedagang Jawa yang diketuai oleh seorang kepala kampung. 
Orang-orang Jawa di Malaka juga membuat meriam sendiri secara swadaya, dimana meriam pada saat itu sama bergunanya dengan layar pada kapal dagang.
Ketika penjelajah Iberia datang ke Asia Tenggara, penduduk setempat tidak takjub dengan kekuatan kapal dagang bersenjata berat Eropa. 
Sejarawan Joao De Barros(1496–1570M) menyebutkan bahwa saat jatuhnya Malaka, Alfonso de Albuquerque(1453-1515 M), merebut 3.000 dari 8.000 artileri. Di antaranya, 2.000 terbuat dari kuningan dan sisanya dari besi, dalam gaya meriam Berço (meriam putar isian belakang) Portugis. Semua artileri memiliki kereta meriam yang tepat, yang tidak dapat disaingi bahkan oleh Portugal. 
Meriam yang ditemukan berasal dari berbagai jenis: esmeril (meriam putar 1/4 sampai 1/2 pon, mungkin merujuk pada cetbang atau lantaka), falconet (meriam putar cor perunggu yang lebih besar dari esmeril, 1 sampai 2 pon, mungkin merujuk pada lela), saker berukuran sedang (meriam panjang atau culverin diantara 6-10 pon), dan bombard (meriam yang pendek, gemuk, dan berat). Orang Melayu juga memiliki 1 buah meriam besar yang cantik, dikirim oleh raja dari Calicut(Khozicode, Hindia). 
Banyaknya artileri di Malaka berasal dari berbagai sumber di kepulauan Nusantara: Pahang, Jawa, Brunei, Minangkabau, dan Aceh.
Meriam cetbang Majapahit tetap digunakan dan dilakukan improvisasi pada zaman Kesultanan Demak, terutama pada invasi Kerajaan Demak ke Malaka (1513 Masehi). Bahan baku besi untuk pembuatan meriam jawa tersebut diimpor dari daerah Khurasan di Persia utara, terkenal dengan sebutan wesi kurasani.
Saat Portugis datang ke wilayah Nusantara, mereka menyebutnya sebagai Berço (dibaca: berso), istlah yang juga digunakan untuk menyebut meriam putar isian belakang (breech-loading swivel gun) buatan manapun, sedangkan orang Spanyol menyebutnya sebagai Verso.
Sejarah Cetbang Periode Kolonial (1600-1945 M)
Ketika Belanda merebut benteng Somba Opu orang Makassar (1669 M), mereka merebut 33 meriam perunggu besar dan kecil, 11 meriam besi cor, 145 base (meriam putar isian belakang) dan 83 tabung pengisiannya, 60 senapan lontak, 23 senapan sundut, 127 laras senapan lontak, dan 8483 peluru.
Meriam putar isian belakang perunggu yang disebut ba'dili, dibawa oleh pelaut Makassar dalam pelayaran mencari teripang ke Australia. 
Matthew Flinders mencatat penggunaan meriam kecil di atas perahu Makassar di Northern Territory pada tahun 1803 M.
Vosmaer (1839 M) menulis bahwa para nelayan Makassar kadang-kadang membawa meriam kecil mereka ke darat untuk membentengi kubu pertahanan yang mereka bangun di dekat kampung pengolahan, untuk mempertahankan diri melawan orang Aborigin yang bermusuhan.
Dyer (sekitar tahun 1930 M) mencatat penggunaan meriam oleh orang Makassar, khususnya meriam isian belakang dari bahan perunggu dengan kaliber 2 inci (50,8 mm).
Amerika bertempur melawan suku Moro yang dilengkapi dengan meriam putar isian belakang di Filipina pada tahun 1904 Masehi. 
Meriam-meriam ini biasanya disebut sebagai lantaka atau lantaka isian belakang.
Saat ini beberapa meriam cetbang tersimpan di:
1. Museum Bali, Denpasar, Bali. Meriam Bali kategori cetbang ini terdapat di pelataran Museum Bali.
2. Metropolitan Museum of Art, New York, Amerika Serikat. Meriam yang tersimpan disana diperkirakan berasal dari abad ke 14 masehi, terbuat dari perunggu dan berdimensi 37,7x16 inchi atau panjang 0,96 meter dan lebar 0,4 meter.
3. Museum Luis de Camoes di Makau mempunyai cetbang yang sangat berornamen. Tahun pembuatannya tidak diketahui.
4. Museum Talaga Manggung, Majalengka, Jawa Barat. Berbagai cetbang masih terawat dengan baik. Adanya ritual mandi pusaka, termasuk cetbang, menjadikan cetbang sangat terawat.
5. Beberapa cetbang dapat ditemukan pada Museum Anthropologi Nasional Filipina di Manila, Termasuk salah satunya yang dipasang pada dudukan tetap.
Museum Fatahillah memiliki meriam coak yang dilabeli sebagai "Meriam Cirebon", Pada dudukan tetap yang berornamentasi. Ukuran pajangannya adalah PxLxT 234x76x79 cm.
6. Beberapa contoh dan bagian-bagian cetbang dapat ditemukan di Rijksmuseum, Belanda, dilabeli sebagai lilla (meriam lela).
7. Sebuah cetbang ditemukan di sungai Beruas, Perak, pada 1986. Sekarang ditampilkan di museum Beruas.
Berbagai meriam cetbang juga ada di:
1. Pantai Dundee, Northern Territory, Australia pada 2 Januari 2010, dikenal sebagai "Dundee Beach swivel gun". Dari hasil riset oleh Department of Arts & Museum, Northern Territory Government disimpulkan bahwa meriam putar yang ditemukan terbuat dari perunggu diperkirakan berasal dari tahun 1750 Masehi, sebelum datangnya penjelajah Inggris James Cook. Setelah dibandingkan dengan meriam kecil lain dari Eropa maupun Asia, meriam kecil tersebut lebih mendekati model meriam kecil dari Asia Tenggara (meriam Ternate, meriam Makassar, meriam Bali), dan kemungkinan besar itu berasal dari Makassar. Tidak ada dalam komposisi kimianya, gaya, atau bentuknya yang cocok dengan meriam putar isian belakang Portugis.
2. Dusun Bissorang, Kabupaten Kepualauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Terdapat peninggalan meriam kuno berjenis cetbang yang diperkirakan berasal dari zaman Majapahit. Meriam ini dalam kondisi yang cukup baik dan dirawat oleh warga setempat. Warga setempat menyebut cetbang ini ba'dili atau Papporo Bissorang.
3. Desa Lubuk Mas di kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, Indonesia. Merupakan peninggalan era Mataram Islam (1587–1755 M) yang ada di Sumatera Selatan.
Cetbang beroda empat dapat ditemukan di Istana Panembahan Matan, Mulia Kerta, Kalimantan Barat.
4. Dua meriam dapat ditemukan di desa Elpa Putih, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah. Diperkirakan berasal dari kerajaan-kerajaan Islam Jawa abad 16-17 Masehi.
5. Dua buah meriam bernama Ki Santomo dan Nyi Santoni dapat ditemukan di Keraton Kasepuhan (di Cirebon). Mereka dilabeli sebagai "Meriam dari Mongolia"
-------------------------------------
Oleh: Bhre Polo
Sumber:

Komentar