Prasasti Ciaruteun; Kerajaan Tarumanegara(450–700M)

Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea dengan no registrasi RNCB.20151009.01.000040, ditemukan di bukit (bahasa Sunda: pasir) yang diapit oleh tiga sungai: Ci Sadane, Ci Anten dan Ci Aruteun. Sampai abad ke-19, tempat ini masih dilaporkan sebagai Pasir Muara, yang termasuk dalam tanah swasta Tjampéa (= Ciampea, namun sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang). Tak jauh dari prasasti ini, masih dalam kawasan Ciaruteun terdapat Prasasti Kebonkopi I.(ibid 1) ditemukan di tepi sungai Ciaruteun, tidak jauh dari sungai Ci Sadane, di Desa Ciaruteun Ilir, kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.(1)
Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun bergoreskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh yang terdiri dari empat baris dan pada bagian atas tulisan terdapat pahatan sepasang telapak kaki, gambar umbi dan sulur-suluran (pilin) dan laba-laba.
Alih aksara:(2)
“...Vikkrāntāsyā vanipateh śrīmatah pūrņņavarmmaņah tārūmanagarendrasya vişņor=iva padadvāyam...”.
Yang berarti:
“...Inilah sepasang (telapak) kaki, yang seperti (telapak kaki) Dewa Wisnu, ialah telapak kaki yang Mulia Purnawarman, raja di Negara Taruma, raja yang gagah berani di dunia...”.
Pada tahun 1863 di Hindia Belanda, sebuah batu besar dengan ukiran aksara purba dilaporkan ditemukan di dekat Tjampea (Ciampea), tak jauh dari Buitenzorg (kini Bogor). Batu berukir itu ditemukan di Kampung Muara, di aliran sungai Ciaruteun, salah satu anak sungai Cisadane. 
Segera pada tahun yang sama, Prasasti Ciaruteun dilaporkan oleh pemimpin Bhataaviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) di Batavia. Akibat banjir besar pada tahun 1893, batu prasasti ini terhanyutkan beberapa meter ke hilir dan bagian batu yang bertulisan menjadi terbalik posisinya ke bawah. Kemudian pada tahun 1903 prasasti ini dipindahkan ke tempat semula.
Pada tahun 1981 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat dan memindahkan prasasti batu ini agar tidak terulang terseret banjir bandang. Selain itu prasasti ini kini dilindungi bangunan pendopo, untuk melindungi prasasti ini dari curah hujan dan cuaca, serta melindunginya dari tangan jahil. Replika berupa cetakan resin dari prasasti ini kini disimpan di tiga museum, yaitu Museum Nasional Indonesia dan Museum Sejarah Jakarta di Jakarta dan Museum Sri Baduga di Bandung.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
oleh: Bhre Polo
Referensi:

Komentar