Keresidenan (ejaan lama: karesidenan) adalah sebuah daerah administratif yang dikepalai oleh Residen.
Secara bahasa, menurut KBBI, Keresidenan berasal kata dari Résidén, yang berarti pegawai pamong-praja yang mengepalai daerah (bagian dari provinsi yang meliputi beberapa kabupaten). Sehingga Ke·re·si·den·an merujuk pada rumah Residen, kantor Residen atau daerah yang dikepalai oleh Residen.
Menurut sejarah, pembagian administratif jenis Keresidenan hanya pernah digunakan di India-Britania dan kemaharajaannya, serta Hindia-Belanda, termasuk Indonesia sekarang, dengan Britania sebagai pencetusnya.
Semenjak krisis pada tahun 1950-an, sudah tidak ada keresidenan lagi dan yang muncul faktor kekuasaannya adalah kabupaten.
Keresidenan kemudian dikenal dengan istilah "Pembantu Gubernur". Istilah ini sudah tidak digunakan lagi, tapi sebutan "eks-Keresidenan" masih dipakai secara informal.
Setelah itu, muncul nomenklatur baru yaitu Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) yang berada di bawah pemerintahan provinsi. Kepala Bakorwil tidak memiliki kewenangan otonom dan administatif, karena hanya bertugas mengoordinasikan hal-hal tertentu kepada wali kota atau bupati. Cakupan Bakorwil tidak sama dengan Karesidenan. Semisal Jawa Tengah, eks Karesidenan Kedu, Banyumas, dan Pekalongan masuk dalam satu Bakorwil.
Sebuah sisa sejarah tentang Keresidenan adalah tanda kendaraan bermotor (pelat nomor). Pembagiannya, terutama di pulau Jawa masih banyak berdasarkan Keresidenan.
Sejarah awal nya, Hindia-Belanda dikuasai Britania Raya pada 1811 dengan menempatkan Letjen Thomas Stamford Raffles (1781-1826). Ia memerintah bekas wilayah VOC dengan membagi-bagi Pulau Jawa menjadi beberapa keresidenan (Residency dalam bahasa Inggris).
Keresidenan ini dikepalai oleh seorang Residen(bangsa Eropa). Residen-residen ini membawahi para bupati bangsa pribumi yang mengepalai wilayah kabupaten. Residen pun diberi wewenang untuk menjalankan tugas-tugas dalam bidang administrasi, pemerintahan, fiskal, peradilan, dan kepolisian.
Dalam bidang peradilan, perkara besar akan dibawa ke tingkat keresidenan, sedangkan perkara kecil akan dibawa ke tingkat kabupaten.
Pada 1816, Hindia Belanda diserahkan kembali ke tangan Belanda sesuai dengan Konvensi London 1814.
Pada periode ini, diadakan kembali pembentukan keresidenan (residentie dalam bahasa Belanda) dan Kabupaten secara resmi, tepatnya saat Van der Capellen (masa jabatan 1816-1826) memerintah.
Menurut Peraturan Komisaris Jenderal No, 3 tanggal 9 Januari 1819 yang dimuat dalam Staatsblad No. 16 tahun 1819, dibentuklah dua puluh Keresidenan di Pulau Jawa, diantaranya adalah (1)Banten, (2)Jakarta, (3)Bogor, (4)Priangan, (5)Krawang, (6)Cirebon, (7)Tegal, (8)Pekalongan, (9)Semarang, (10)Kedu, (11)Yogyakarta, (12)Surakarta, (13)Jepara-Juana, (14)Surabaya, (15)Pasuruan, (16)Besuki, (17)Banyuwangi, (18)Madura-Sumenep, (19)Rembang, dan (20)Gresik.
Pada periode Belanda, seorang Residen menjadi penguasa tertinggi sekaligus mewakili Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di wilayah kekuasaannya.
Residen pun menjadi wakil dan lambang Pemerintah Hindia Belanda di Keresidenannya dengan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di tangannya. Dengan itu, kekuasaannya mutlak dan tak terbatas.
Keresidenan di Jawa terus berkembang hingga tercatat tahun 1942 sebagai berikut:
1. Keresidenan Banten (ibukota Serang); dengan wilayah Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Cilegon, Pandeglang, dan Lebak.
2. Keresidenan Batavia (ibukota Batavia); dengan wilayah Seluruh Provinsi DKI Jakarta ditambah Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Bekasi, Kota Bekasi, Karawang, Purwakarta, dan Subang serta dikurangi ditambah Kawedanan Cibarusah.
3. Keresidenan Bogor (ibukota Bogor); dengan wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Sukabumi, Kota Sukabumi, Cianjur ditambah Kawedanan Cibarusah.
4. Keresidenan Priangan (ibukota Bandoeng); dengan wilayah Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Bandung Barat, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Ciamis, dan Pangandaran.
5. Keresidenan Cirebon (ibukota Chirebon); dengan wilayah Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan.
6. Keresidenan Pekalongan (ibukota Pekalongan); dengan wilayah Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, Brebes, Tegal, Kota Tegal, Pemalang, dan Batang.
7. Keresidenan Semarang (ibukota Semarang); dengan wilayah Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Kendal, Kota Salatiga, Demak, Grobogan.
8. Keresidenan Banjoemas (ibukota Banyumas); dengan wilayah Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara.
9. Keresidenan Jepara-Rembang (ibukota Pati); dengan wilayah Kabupaten Jepara, Pati, Rembang, Kudus, Blora.
10. Keresidenan Kedu (ibukota Magelang); dengan wilayah Kabupaten Magelang, Kota Magelang, Purworejo, Kebumen, Wonosobo, Temanggung.
11. Keresidenan Bojonegoro (ibukota Bojonegoro); dengan wilayah Kabupaten Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan.
12. Keresidenan Madiun (ibukota Madiun); dengan wilayah Kabupaten Madiun, Kota Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo, Pacitan.
13. Keresidenan Kediri (ibukota Kediri); dengan wilayah Kabupaten Kediri, Kota Kediri, Nganjuk, Blitar, Kota Blitar, Tuluangagung, dan Trenggalek.
14. Keresidenan Malang (ibukota Malang); dengan wilayah Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu, Pasuruan, Kota Pasuruan, Probolinggo, Kota Probolinggo, dan Lumajang.
15. Keresidenan Surabaya (ibukota Surabaya); dengan wilayah Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Kota Mojokerto, dan Jombang.
16. Keresidenan Besuki (ibukota Bondowoso); dengan wilayah Kabupaten Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Banyuwangi.
17. Keresidenan Medura (ibukota Pamekasan); dengan wilayah Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Sejarah keresidenan terus berlanjut hingga pendudukan Jepang.
Pada periode tersebut, pemerintahan provinsi ditiadakan sehingga keresidenan (syu dalam bahasa Jepang) menjadi bagian administratif tertinggi di wilayah Hindia-Belanda, periode Jepang.
Setelah kemerdekaan, pembagian adminsitratif keresidenan masih diwariskan. Keresidenan memiliki Dewan Perwakilan Rakyatnya sendiri.
Kemudian, Hak otonomi keresidenan dicabut pada 1948; Keresidenan tetap menjadi bagian administratif. Pada Undang-Undang pembentukan provinsi yang dibuat pada 1950, keresidenan-keresidenan tersebut bergabung membentuk provinsi.
Dengan berlakunya undang-undang tersebut, berakibat penghapusan peraturan sebelumnya, seperti penghapusan Pemerintahan Daerah Keresidenan, serta pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satunya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi jawa Timur.
-------------------------------
Ditulis ulang dan disadur
Oleh: Bhre Polo
Sumber:
2.
Komentar
Posting Komentar