Prasasti Curug Dago(1896M); Kerajaan Thai(1782-sekarang)

Prasasti Curug Dago berada dalam kawasan hutan lindung dan daerah perbukitan, di Kampung Curug Dago, Desa Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap, dengan daerahnya merupakan dataran tinggi ± 1310 m di atas permukaan air laut. 
Dua prasasti terletak ± 10 km di sebelah timurlaut dari pusat kota Bandung, di tebing Sungai Cikapundung tidak jauh dari air terjun Curug Dago dalam kondisi insitu dan utuh. 
Berita pertama tentang prasasti dengan aksara dan bahasa Thai Curug Dago terdapat dalam Surat Kabar Harian Bandung Pos tanggal 1 Pebruari 1990, dan kemudian di Surat Kabar Harian Kompas, ditulis oleh wartawan  Omas Witarsa. 
Selanjutnya tanggal 15 Juli 1990, Omas Witarsa mengirim surat kepada Yang Mulia Ratu Thailand Bhumiphol, yang menerangkan bahwa dengan bantuan dari Kolonel Bancha yang sedang mengikuti sekolah di Lembang membaca kedua prasasti itu, isi tulisan apabila ditranliterasikan dalam huruf latin adalah 'CO PO RO' serta 'PO RO RO', yang dimaksud adalah raja-raja Thailand yaitu PYM Raja Chulalonkorn dan PYM Raja Paraminthara. 
Selanjutnya Negara Thailand meminta agar Negara Indonesia memberikan pengamanan dan pelestarian terhadap peninggalan purbakala. Ditindaklanjuti oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Purbakala, di Serang sebagai UPT Direktur Linbinjarah melaksanakan kegiatan penelitian dan pelestarian terhadap prasasti Curug Dago tanggal 9 – 15 Juli 1991.
Penelitian mengungkapkan bahwa ada 2 buah bongkah batu andesit (andezitic boulders).  
Prasasti I berukuran 122 x 46 x 56 cm (tebal di atas permukaan tanah), bulat memanjang, tidak ada pengerjaan permukaan batu (natural), guratan tulisan berelief dangkal. Prasasti dalam posisi membujur hampir simetris dengan aliran Sungai Cikapundung, terletak relatif lebih tinggi dari pada keletakan prasasti II. Tulisan terpusat hanya pada satu bidang permukaan batu, tersusun dalam 2 baris, baris atas pahatan inisial sedangkan pada baris bawah adalah nama raja. 
Jarak prasasti I dan II,  11,70 meter dan keduanya tepat di bibir air sungai  Cikapundung dengan ketinggian ± 2 meter dari muka air sungai. 
Prasasti II permukaannya rata terdiri dari bidang-bidang mendatar dan tegak, bulat memanjang, berukuran 202 x 96 x 67 cm, penulisan tidak terpusat,  terdiri dari masing-masing:
1. Bidang tegak pada sisi barat dan selatan, yang sebelah barat inisial satu baris, sedangkan yang selatan dua baris bersusun berisi inisial (baris atas dan inskrpsi nama pada baris bawah).
2. Sementara itu pada bidang lain di sisi barat terdapat  pahatan bintang bersudut 5 dengan lingkaran pada bagian tengah dan gambar segitiga sama kaki. Pada setiap sudut  bintang terdapat  tulisan dekat dengan garis lingkaran. Di luar segi tiga maupun di dalamnya juga terdapat aksara Thai. Secara keseluruhan batu prasasti II meskipun berbentuk bulat (profil longitudinal) memanjang, tetapi berpunggung tinggi (high back), sehingga bidang-bidang tegak (profil literal maupun traversal) cukup luas untuk dapat dipahatkan tulisan, inisial atau bentuk grafis lainnya. 
Hal ini berbeda dengan bentuk prasasti I, yang cenderung lebih pipih sehingga bagian permukaan atas yang luas, yang memungkinkan untuk ditulisi. Pahatan bintang beserta isinya (tiga sudut bintang sengaja tidak digambar).
Selain itu masih terdapat bungkahan (boulder) jenis batuan  yang sama yang terletak di antara prasasti I dan II, namun karena keadaan topografi medan observasi yang berkontur tajam, tak memungkinkan dapat dibuatnya dokumen foto horizontal yang cukup luas yang memungkinkan dapat merekam kedua prasasti dalam konteks yang lebih luas. 
Mengenai morfologi  tulisan pada kedua prasasti tersebut  adalah alpabet Thai, yang berkembang berkat jasa seorang raja Sukhotai: Raam Kham Heng  seperti termuat dalam prasasti berangka tahun 1284 M, yang kemudian diikuti oleh beberapa raja untuk menyederhanakannya.
Menurut  S.A. Reitsma dan W.H. Hoogland (1922, Gids Van Bandoeng En Omstrcken) kedua temuan prasasti tersebut erat kaitannya dengan kunjungan keluarga Kerajaan Siam (Tailand) ke Bandung, yakni Raja Chulalongkorn serta Pangeran Prajatthipok Paramintara, yang masing-masing merupakan raja ke V dan VII dari Dinasti Chakri.   
Agama Buddha sekte Theravada merupakan agama terbesar di Thailand yang memliki kedudukan utama sebagai dasar kepercayaan dalam kehidupan rakyat Thailand. Agama ini muncul sebagai tradisi agama/kepercayaan sejak  awal abad Masehi. Dhyani Buddha dari Borobudur merupakan hadiah Raja Rama V (melalui perbuatan baik atau tham-bun) kepada rakyatnya, dalam rangka upacara kenegaraan memperingati hari raya Buddha yang dihadiri oleh beratus pendeta dan rakyat.
Dengan demikian, maka tujuan penulisan kedua prasasti di Curug Dago yang memuat nama kedua nama raja dan pangeran itu menjadi jelas yaitu merupakan penghormatan terhadap ke dua tokoh tersebut, lengkap dengan penulisan inisial, angka tahun serta catatan usia kedua tokoh. 
Memang ada tradisi yang menyatakan bahwa pada umumnya apabila seseorang raja Thai menemukan tempat panorama yang indah, maka biasanya di tempat tersebut sang raja melakukan semadhi dan kadangkala menuliskan nama atau hal lainnya yang dianggap penting. Sekaligus merupakan kenangan dan pengakuan atas kekeramatan/kesucian tempat tersebut, seperti diungkapkan oleh seorang Bhiksu Pravithamtor dari Vihara Menteng Jakarta Pusat.
Perlu diketahui, bahwa pada tahun 2001 terbitlah sebuah buku dengan judul “Journeys to Java by a Siamese King” yang ditulis oleh Imtip Pattajoti Suharto. Isi buku ini sesuai judulnya, mengisahkan perjalanan Raja Siam ke Pulau Jawa. Yang menarik, isi buku ini ternyata merupakan ringkasan catatan perjalanan Raja Siam yang mengunjungi Pulau Jawa sebanyak 3 kali, masing-masing pada tahun 1871, 1896, dan 1901. Buku ini ditulis dalam bahasa Inggris agar mendapatkan publik pembaca yang lebih luas.
Ternyata, pada setiap lawatan Raja Siam ke luar negeri, selalu menyertakan paling sedikit seorang pendamping ke manapun Raja pergi. Selain mendampingi, ia juga bertugas mencatat seluruh kegiatan yang dilakukan oleh Raja. Catatan-catatan ini kemudian selalu diterbitkan dalam minimal dua buah buku. Satu buku berupa catatan perjalanan sehari-hari, satu buku lagi berupa catatan resmi keseluruhan perjalanan Raja. Misalnya saja kunjungan tahun 1901 kemudian dibukukan dan diterbitkan pada tahun 1923 dengan judul masing-masing: 
1) A Diary of the Last Journey to Java in 1901 by H.M. King Chulalongkorn, dan 
2) The Official Dispatches of His Majesty’s Daily Activities to the Public of Bangkok, Recorded by Prince Sommot Amornpan and Printed in the Government Gazette.
Dari buku tersebut dapat diketahui dengan pasti beberapa hal, misalnya tentang menghilangnya Raja Rama V dari kamarnya pada suatu malam. Buku ini menjelaskan sekaligus mengoreksi informasi yang beredar di sini bahwa Sang Raja pergi secara diam-diam ke Curug Dago untuk bersemedi. Ternyata tidaklah begitu yang terjadi, Raja pergi hanya untuk menonton pertunjukan ronggeng di suatu tempat. Dari 3 kali kunjungan Rama V ke Pulau Jawa, dua kali di antaranya Raja mampir ke Bandung, yaitu tahun 1896 dan 1901. Dalam dua kunjungan ini Raja mampir juga ke Curug Dago.
Kunjungan kedua Rama V ke Curug Dago diceritakan dengan cara tempuhnya, yaitu pertama-tama dengan menggunakan tandu, dilanjutkan dengan berkuda, dan pada bagian akhir perjalanan ditempuh dengan berjalan kaki. 
Di sini diceritakan juga tentang Rama V yang mengguratkan catatan pada sebuah batu yang berisi angka tahun kunjungannya dalam tahun Rakatanosin dan masa pemerintahannya sebagai raja di negeri Siam. Sama dengan catatan kunjungan pertama, tidak ada catatan tentang kegiatan bersemedi.
Kedua prasasti Curug Dago terletak di tebing sungai Cikapundung. Dilihat dari segi penempatannya atau lokasi keletakkannya, apabila kedua prasasti tersebut memang dibuat dalam rangka kunjungan Raja Tai dan rombongan pada tahun 1896, tentu pada waktu itu jalan menuju ke Curug Dago amatlah sulit dan nyaris mustahil untuk dilakukan oleh elite kerajaan apalagi dari luar negeri (mancanegara).  


--------------------------------
Oleh: Bhre Polo
Sumber:

Komentar