Prasasti Kebantenan ditemukan dan diselamatkan oleh Raden Saleh di Desa Kebantenan, Bekasi tahun 1867. Terdiri dari lima lempengan tembaga tipis dengan aksara dan bahasa Sunda Kuna. Sekarang, prasasti tersebut tersimpan di Museum Nasional, Jakarta, dengan nomor inventaris E1, E2, E3, E4 dan E5.
merupakan tanda peringatan dari Rahyang Niskala Wastu Kencana, turun kepada Hyang Ningrat Kancana, kemudian diamanatkan kepada raja yang berkuasa di Pakuan Pajajaran sehubungan dengan penitipan dayeuhan di Jayagiri dan Sundasembawa agar ada yang mengurus. Untuk itu diharapkan agar tidak ada yang berani mengganggu dengan memungut pajak atau sumbangan lain dari penduduk yang sangat taat beragama dan rajin memelihara tempat bersemayam para dewa.
Prasasti Kebantenan II;
berisi pengukuhan yang dilakukan oleh Sri Baduga Maharaja, raja Pakuan Pajajaran terhadap tanah tempat bersemayam para dewa di Sundasembawa sehingga tidak ada yang berani mengganggu. Daerah itu ditentukan batas-batasnya: sebelah timur dari Ciraub sampai Sanghyang Salila; di barat dari Ruseb sampai Munjul, terus ke Cibakekeng, Cihonje, sampai ke muara Cimuncang; di selatan dari hutan Comon. Juga disebutkan bahwa sepanjang jalan besar ke arah hulu merupakan tanah larangan yang disediakan untuk para wiku sehingga jangan sampai ada yang mengingkari keputusan itu.
Prasasti Kebantenan III;
berisi pengukuhan dari raja di Pakwan Pajajaran atas kabuyutan di Sundasembawa dengan harapan ada yang mengurusnya, tidak ada yang berani menguranginya, merintangi atau mengganggu. Pelanggar yang masuk daerah itu harus dibunuh karena tempat itu adalah kediaman para wiku.
Prasasti Kebantenan IV;
Prasasti Kebantenan IV disebut juga dengan Prasasti Gunung Samaya karena isinya berkaitan dengan wilayah dewasasana yang bernama Gunung Samaya. Sama seperti Prasasti Kebantenan lainnya, di bagian tengah prasasti bernomor inventaris E.45 ini juga terdapat lubang kecil.
Alih aksara Prasasti Kebantenan IV:
//ong// pun ini pitēkēt sri baduga maharaja ratu haji di pakwan sri saŋ ratu
dewata.
nu dipitēkētan mana lēmaḥ dewa sasana. di gunuŋ samaya sugann aya
nu dek ṅahöriyanan ińa.
ku paluluraḥhan ku palēlēmaḥhan mulaḥ aya nu ṅahöriyanan ińa.
ti timur ha[ŋ]gat ciupiḥ ti barat ha[ŋ]gat cilēbu ti kidul ha[ŋ]gat jalan gēde pun mulaḥ aya nu ṅahöriyanan ińa ku [na] da
sa ku calagara upēti paŋgērēs röma ulaḥ aya nu me[n]taan ińa
kena.
saŋgar kami ratu nu puraḥ mibuhayakönna ka ratu pun nu.
pagöḥ ṅawakan na dewa sasana pun Ong
(Sumber: Boechari, 1985/1986: 106—7)
Alih bahasa belakang:
Inilah (tanda) pengukuhan Sri Baduga Maharaja,
raja yang berkuasa di Pakuan (yaitu) Sri Sang Ratu Dewata.
Yang dikukuhkannya adalah tanah Dewasasana di Gunung Samaya.
Janganlah ada yang hendak mengganggunya,
baik melalui daerahnya maupun melalui tanahnya jangan ada yang mengganggu.
Di timur berbatasan dengan Ci Upih,
di barat berbatasan dengan Ci Lebu
di selatan berbatasan dengan jalan besar.
Janganlah ada yang mengganggunya dengan (meminta) da sa, calagara, upěti penggěrěs reuma.
Janganlah ada yang memintanya karena (ada) sanggar (pemujaan) kami, raja, yang selalu memberi perlindungan kepada raja yang teguh memeliha ra Dewasasana.
Prasasti Kebantenan V;
tulisannya sangat tipis dan aus; tidak terbaca; tampaknya digoreskan pada lempeng bekas prasasti lama.
-------------------------------
Oleh: Bhre Polo
Sumber:
Komentar
Posting Komentar