'Tomé Pires (Lahir di Portugal, ca. 1468M- wafat di Kiangsu, Tiongkok, 1540M pada usia 72 tahun) merupakan penulis dan bendahara Portugis.
Karya terbesarnya, Suma Oriental (Dunia Timur), yang menceritakan penjelajahan pedagang Portugis hingga menguasai anak benua India dan Kesultanan Melaka pada tahun 1511M. Buku tersebut memberikan banyak informasi berharga mengenai keadaan Nusantara pada abad ke-16.
Informasi yang disampaikannya tentang India hingga ia meninggal dunia sangat menarik, Ada 4 surat, serta 5 dokumen yang ditandatanganinya dan pelbagai rujukan lain.
Ia adalah salah satu penulis terawal dari Eropa yang menulis tentang negara kota maritim sebelah Timur.
Tentang Pulau Jawa, Tome Pires menulis, sebagai salah satu orang Portugis yang mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa antara tahun 1512M dan 1515M, menggambarkan bahwa pelabuhan Sunda Kalapa ramai disinggahi pedagang-pedagang dan pelaut dari luar seperti dari Sumatra, Malaka, Sulawesi Selatan, Jawa dan Madura.
Sunda Kelapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tanara dan Cimanuk Menurut laporannya, di Sunda Kelapa banyak diperdagangkan lada, beras, asam, hewan potong, emas, sayuran serta buah-buahan.
Ketika Malaka direbut Portugis pada tahun 1511, maka pada tahun 1522 Gubernur d’Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk mengadakan hubungan persahabatan dengan Kerajaan Sunda, guna mendapatkan izin mendirikan benteng di Sunda Kelapa.
Maksud Portugis itu mendapat sambutan baik dari Kerajaan Sunda, karena kecuali alasan perdagangan, Raja Sunda juga mengharapkan bantuan Portugis untuk melawan orang-orang muslim yang makin banyak jumiahnya di Banten dan Cirebon. Sementara itu Kerajaan Demak sudah menjadi pusat kekuatan politik Islam.
Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat benteng di Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda akan memberikan kepada pihak Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan.
Sebuah batu peringatan atau padrau (baca: Padrong) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrau itu ditemukan ketika pada tahun 1918 orang mulai mendirikan sebuah gudang di sudut Prinsen Straat dan Groene Straat di Jakarta Kota, dan kini disimpan di Museum Pusat. Jalan-jalan itu sekarang bernama Jalan Cengkih dan Jalan Nelayan Timur.
Kerajaan Demak menganggap perjanjian persahabatan Pajajaran-Portugis tersebut suatu ancaman baginya. Maka pada tanggal 22 Juni 1527M, pasukan gabungan Demak-Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) merebut Sunda Kelapa.
Tanggal 22 Juni inilah yang hingga kini selalu dirayakan sebagai hari jadi kota Jakarta. Sejak itu nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta yang berarti kota kemenangan atau kota kejayaan.
Dalam perkembangan berikutnya, pada tanggal 30 Mei 1619, Jayakarta direbut Belanda di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen yang sekaligus memusnahkannya.
Di atas puing-puing Jayakarta ini Coen mendirikan sebuah kota baru, yang olehnya mau diberi nama Nieuw Horn atau Horn Baru, sesuai nama kota kelahirannya di Belanda, tetapi akhirnya dipilih nama Batavia.
Menurut catatan sejarah, pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1610 dibangun dengan kanal sepanjang 810 meter. Pada tahun 1817, pemerintah Belanda memperbesarnya menjadi 1.825 meter. Setelah zaman kemerdekaan, dilakukan rehabilitasi sehingga pelabuhan ini memiliki kanal sepanjang 3.250 meter yang dapat menampung 70 perahu layar dengan sistem susun sirih.
Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan saksi bisu dan cerminan kehebatan kerajaan-kerajaan di Nusantara dalam membangun basis perekonomian dan menjalin hubungan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain. Khususnya bangsa-bangsa yang sudah memiliki peradaban maju seperti kerajaan Belanda dan Portugis di Eropa.
---------------------------------------
Oleh: Bhre Polo
Sumber:
2. ....
Komentar
Posting Komentar