Kora-kora adalah perahu tradisional Kepulauan Maluku, Indonesia. Perahu ini biasa digunakan untuk perdagangan maupun peperangan, namun pada umumnya adalah sebagai perahu angkatan laut untuk membawa orang-orang dalam perompakan untuk dijarah atau untuk budak.
Di kepulauan Nusantara, mengambil budak adalah cara terhormat untuk mencari nafkah, dan kora kora dibutuhkan untuk pertahanan dari serangan serta untuk perampokan. Kora-kora besar disebut juanga atau joanga.
Panjangnya kira-kira 10 meter dan sangat sempit, biasanya terbuka, sangat rendah, dengan berat kira-kira 4 ton. Ia memiliki cadik bambu sekitar lima kaki (1,5 m) dari setiap sisi, yang mendukung sebuah panggung bambu yang memanjang sepanjang panjang kapal.
Di bagian luar duduk dua puluh pendayung (secara keseluruhan dibutuhkan 40 pendayung), sementara di bagian dalam bisa dilewati dari depan sampai belakang. Bagian tengah perahu ditutupi dengan atap ilalang, di mana ada barang dan penumpang. Deknya tidak lebih dari satu kaki (30 cm) di atas air, karena berat bagian atas dan berat bagian samping yang besar.
Menurut Robert Dick-Read, setiap pemimpin di daerah Maluku memiliki kapal sendiri, status sang pemimpin tergantung dari jumlah budak, yang berasal dari pulau yang jauh, yang ditangkap dan dikumpulkannya.
Setiap kapal didayung oleh 300 pendayung, didukung prajurit bersenjata tombak, sumpit, panah, dan pedang yang berada di tempat yang lebih tinggi (disebut 'balai').
Kapal memiliki 2 buah kemudi di bagian samping, batang tinggi di buritan dan haluan dihiasi pita-pita. Pada masa lalu, batang ini dihiasi kepala-kepala musuh yang ditaklukkan.
Perahu ini digunakan untuk perdagangan dan peperangan. Kora-kora yang lebih besar digunakan sebagai kapal perang selama perang dengan Belanda di Kepulauan Banda selama abad ke-17. Sejak zaman dahulu para pengemudi dan pendayung perahu dayung tradisional Maluku ini berteriak 'Mena Muria', untuk menyesuaikan tolakan dayung mereka saat ekspedisi di pantai.
Hal ini berarti 'maju - mundur', tetapi juga dapat diterjemahkan menjadi 'Aku pergi - kami mengikuti' atau 'satu untuk semua - semua untuk satu'.
Beberapa perahu dayung yang lebih besar bisa memiliki lebih dari 100 pendayung dan ketika digunakan untuk perang maritim, misalnya pada pelayaran hongi atau "hongitocht" (ekspedisi perang VOC selama abad ke-17), datangnya kora kora membuat ketakutan penduduk dari desa pantai yang diserang.
---------------------------------------
Oleh: Bhre Polo
Sumber:
Komentar
Posting Komentar