Prasasti Bebetin(818 çaka/896 M); Kerajaan Bedahulu(883–1347M)

Prasasti Bebetin (atau Bebetin AI) bertarikh 818 çaka (896 M), adalah sebuah prasasti yang ditemukan di desa Bebetin, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, Bali. Prasasti ini berbahasa Bali Kuno. Prasasti ini berisi keterangan tentang suatu desa (banwa) bharu, atau secara lengkapnya kuta di banwa bharu, yang bermakna desa bharu yang berbenteng. Prasasti Bebetin AI ini tidak menyebutkan nama raja yang mengeluarkan prasasti, namun menyebutkan nama kraton, yang dinamakan panglapukan di Singamandawa.
Dalam prasasti diceritakan tentang desa itu yang diserang atau dirusak oleh perampok. Banyak penduduk mati terbunuh atau terluka, serta banyak pula yang mengungsi ke desa-desa tetangga. Setelah keadaan aman, penduduk lalu kembali ke desa bharu. 
Kemudian raja menyuruh pejabat nayakan pradhana, yaitu kumpi ugra dan biksu Widya Ruwana untuk memimpin pembangunan kuil Hyang Api, dengan tujuan untuk melengkapi desa tersebut dalam bidang spiritual, pada batas-batas wilayah yang telah ditentukan. 
Desa bharu diperkirakan terletak di pesisir pantai utara Pulau Bali, dan merupakan salah satu pelabuhan yang ada pada waktu itu. 
Perkiraan ini berdasarkan disebutkannya dalam prasasti itu ketentuan-ketentuan yang mengatur saudagar-saudagar dari luar Bali yang berdagang di sana, serta apa yang harus dilakukan bila perahu-perahu mereka mengalami kerusakan.
Prasasti ini memuat pula aturan-aturan pembagian harta warisan dan ketetapan mengenai tugas atau kewajiban serta hak-hak penduduk yang berdiam di sana.
Hal lainnya yang disebutkan ialah tentang perangkat yang berhubungan musik, yaitu pada lembar 2 b, no 5, yang tertulis pamukul (penabuh gamelan), pagending (pesinden), pabunying (penabuh angklung), papadaha (penabuh kendang), parbhangsi (peniup suling besar), partapukan (perkumpulan topeng), dan parbwayang (dalang).
Sebagian teks prasasti Bebetin AI, sebagaimana terbaca pada lembaran Iib.3-4 bertuliskan sebagai berikut:
"… anada tua banyaga turun ditu, paniken (baca: paneken) di hyangapi, parunggahna, ana mati ya tua banyaga, perduan drbyana prakara, ana cakcak lancangna kajadyan papagerrangen kuta … "(Roelof Goris, 1954a: 55).
Dan berikut alih bahasa:
"…Jika ada saudagar berlabuh (turun) di sana, barang-barang persembahannya supaya dihaturkan kepada kuil Hyang Api, (jika) ada mati (di antara) saudagar itu, segala harta miliknya agar dibagi dua, (jika) perahunya rusak, supaya dijadikan pagar untuk memperkuat benteng, …"

------------------------------------------
Oleh: Bhre Polo
Sumber:

Komentar