Prasasti Katiden I dituliskan pada suatu lempeng tembaga berukuran 35,7 cm x 9,7 cm. Aksara dan bahasanya Jawa Kuno. Di bagian depan bertuliskan 5 baris dan bagian belakang 1 baris.
Prasasti ini dikeluarkan pada bulan kesembilan atau bulan Caitra tahun 1314 Syaka.
Menurut perhitungan L. Ch. Damais jatuh antara tanggal 24 Maret dan 22 April 1392 M (Damais, 1955: 237).
Sekarang menjadi koleksi Museum Nasional dengan nomor inventaris E65.
Prasasti Katiden I dialih-aksarakan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh W.F. Stutterheim dalam JBG 1937 (Stutterheim 1937b).
Dibaca kembali oleh Boechari dan Wibowo dalam Prasasti Koleksi Museum Nasional (1985).
1a.
1. //iku wruhane si para same saluraḥ katiḍen. makaṅūni para waddhaṇa ring lumpang. ye
2. n andikaninong . dene si para same ri katiḍen. i rehane wnangṅā hanumbaka buro
3. n tan dosaha yen amaṅan tanĕm tuwuhe hawalĕra sabhumī ri katiḍen hi ṅong
4. hamagĕhakĕn handikanira sira sang mokta ri kŗttabhuwana wnang hanumbaka yen amanan tanĕ
5. m tuwuhe. sawarṇnani buron tan dosaha. karājamūdra yen wus kawaca kagughona
1.b.
1. dene si para same ri katiḍen pihagĕmane. titi ka 9. śyaka. 1314. //0//
Terjemahan:
1a.
1. Itu supaya diketahui penduduk di kelurahan Katiḍen, demikian pula para waddhana di Lumpang.
2. Demikian perintahku kepada penduduk di Katiḍen. Oleh karena diperbolehkan menombak (binatang) buruan
3. (dan) tidak (merupakan suatu) dosa jika (binatang tersebut) memakan tanaman larangan yang tumbuh di seluruh bumi Katiḍen. Aku
4. meneguhkan perintahnya yang moksa di Kŗttabhuwana (yang berbunyi: penduduk Katiḍen dan para waddhana di Lumpang) diperbolehkan menombak (binatang buruan) jika (binatang tersebut) memakan tanaman.
5. (yang) tumbuh. (menombak) berbagai macam (binatang) buruan bukan (merupakan suatu) dosa. Keputusan raja jika telah dibaca dipatuhi hendaknya
1.b.
1. oleh penduduk di Katiḍen (dan) dipegang teguh. (Keputusan ini dikeluarkan pada) bulan ke-9 tahun Śyaka 1314.
Ada dua prasasti dari zaman Majapahit yang disebut dengan Prasasti Katiḍen, pertama Prasasti Katiden I berangka tahun 1314 Śyaka dan Prasasti Katiden II berangka tahun 1317 Śyaka. Kedua prasasti tidak menyebut nama raja.
Dalam Prasasti Katiden I hanya menyebutkan sira sang mokta ri kŗttabhuwana (ia yang meninggal di Kŗttabhuwana). Tokoh ini adalah Raden Kudamerta yang menjadi raja bawahan Majapahit di Wengker. Ia pun dikenal sebagai Bhre Parameśwara yang berkedudukan di Pamotan dengan nama abhiseka Śrī Wijayarājasa. Dalam Prasasti Kuśmala yang berangka tahun 1272 Śyaka (14 Desember 1350 M), ia bergelar Pāduka Bhatāra Matahun Śrī Wijayarājasāntawikramottunggadewa.
Bhre Wĕngkĕr, Śrī Wijayarājasa menikah dengan putri Tribhūwanattunggadewi (Bhre Kahuripan) yang bernama Rājadewi Mahārājasa(Bhre Daha). Dari Rājadewi Mahārājasa ia mempunyai anak perempuan yang menjadi Bhre Lasem I, yaitu Rājasa duhita indudewī.
Dari istrinya yang lain, ia mempunyai anak yang bernama Pāduka Sorī, yang kemudian menjadi permaisuri raja Hayam Wuruk(1350-1389M).
Dengan demikian Śrī Wijayarājasa masih merupakan keluarga dekat raja, yaitu sebagai paman sekaligus mertua dari raja Hayam Wuruk(1350-1389M).
Śrī Wijayarājasa meninggal pada tahun 1310 Śyaka (1388 M) dan di dharmakan di Mañar yang dikenal juga dengan sebutan Wiṣṇubhawanapura.
Prasasti Katiden I maupun Katiden II dikeluarkan pada masa pemerintahan Wikramawarddhana atau Bhra Hyang Wiśesa (1389-1429 M).
Isi kedua prasasti tersebut merupakan peneguhan kembali apa yang telah dikukuhkan oleh Bhre Wĕngkĕr Śrī Wijayarājasa, kakek dari permaisuri Wikramawarddhana (Kusumawarddhanī).
Dari Prasasti Katiden diketahui bahwa Bhre Wĕngkĕr Śrī Wijayarājasa sangat memperhatikan lingkungan.
Hal ini sesuai dengan keterangan Nagarakretagama yang menyebutkan Bhre Wĕngkĕr mengajak para pembesar lainnya untuk memperhatikan lingkungan dan mencintai rakyat.
Walaupun kedua prasasti Katiden tidak dikeluarkan langsung oleh Bhre Wĕngkĕr, Śrī Wijayarājasa, akan tetapi maklumat yang terdapat dalam kedua prasasti tersebut merupakan perintahnya yang diteguhkan kembali pada masa pemerintahan Wikramawarddhana. Dengan demikian, walaupun Śrī Wijayarājasa sudah meninggal, perintahnya itu masih ditaati oleh penduduk di wilayah Katiden.
Katiden yang disebut di dalam Prasasti, adalah nama wilayah (desa), sekarang ini masih dapat dijumpai sebagai Desa Ketindan yang terletak di sebelah barat kota Lawang.
--------------------------------------
Oleh: Bhre Polo
Sumber:
Komentar
Posting Komentar