Prasasti Kedukan Bukit(605Syaka/683M); Kerajaan Sriwijaya(670–1025M)

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh C.J. Batenburg, pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatra Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. 
Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor D.146.
Pada baris ke-8 terdapat unsur pertanggalan, namun bagian akhir unsur pertanggalan pada prasasti ini telah hilang. Seharusnya bagian tersebut diisi dengan nama bulan. 
Berdasarkan data dari fragmen prasasti No. D.161 yang ditemukan di Situs Telaga Batu, J.G. de Casparis (1956:11-15) dan Boechari (1993: A1-1-4) mengisinya dengan nama bulan Āsāda. Maka lengkaplah pertanggalan prasasti tersebut, yaitu hari kelima paro-terang bulan Āsāda yang bertepatan dengan tanggal 16 Juni 682 Masehi.
Menurut George Cœdès, siddhayatra berarti semacam “ramuan bertuah” (potion magique), tetapi kata ini bisa pula diterjemahkan lain. Menurut kamus Jawa Kuna Zoetmulder (1995): sukses dalam perjalanan. Dengan terjemahan tersebut kalimat di atas dapat diubah: “Sri Baginda naik sampan untuk melakukan penyerangan, sukses dalam perjalanannya".
Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data sebagai berikut: Dapunta Hyang berangkat dari Minanga dan menaklukan kawasan tempat ditemukannya prasasti ini (Sungai Musi, Sumatra Selatan). Karena kesamaan bunyinya, ada yang berpendapat Minanga Tamwan adalah sama dengan Minangkabau, yakni wilayah pegunungan di hulu sungai Batanghari. Ada juga berpendapat Minanga tidak sama dengan Malayu, kedua kawasan itu ditaklukkan oleh Dapunta Hyang, tempat penaklukan Malayu terjadi sebelum menaklukan Minanga dengan menganggap isi prasasti ini menceritakan penaklukan Minanga. 
Sementara itu Soekmono berpendapat bahwa Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (karena tamwan berarti 'temuan'), yakni Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri di Riau, yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. Kemudian ada yang berpendapat Minanga berubah tutur menjadi Binanga, sebuah kawasan yang terdapat pada sehiliran Sungai Barumun (Provinsi Sumatra Utara sekarang). Pendapat lain menduga bahwa armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar Sumatra, yakni dari Semenanjung Malaya.
Kiagus Imran Mahmud dalam bukunya Sejarah Palembang menyatakan bahwa Minanga tidak mungkin Minangkabau, karena istilah tersebut baru muncul setelah masa Sriwijaya. 
Ia berpendapat bahwa Minanga yang dimaksud adalah Minanga di daerah Komering, Sumatra Selatan. Tamwan berarti pertemuan dua sungai (di Minanga), yaitu Sungai Komering dan Lebong. Tulisan Matayap tidak terlalu jelas sehingga mungkin yang dimaksud adalah Lengkayap, sebuah daerah juga di Sumatra Selatan.
Alih Aksara:
svasti śrī śakavaŕşātīta 605 ekādaśī śukla-
klapakşa vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṃ nāyik di
sāmvau mangalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa
vulan jyeşţha ḍapunta hiyaṃ maŕlapas dari minānga
tāmvan mamāva yaṃ vala dua lakşa dangan kośa
duaratus cāra di sāmvau dangan jālan sarivu
tlurātus sapulu dua vañakña dātaṃ di mata jap (mukha upaṃ)
sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vulan... (āsāḍha)
laghu mudita dātaṃ marvuat vanua ...
śrīvijaya jaya siddhayātra subhikşa nityakāla
Berikut Alih Bahasa dari prasasti tersebut:
Selamat ! Tahun Śaka telah lewat 605, pada hari ke sebelas
paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di
sampan mengambil siddhayātra. pada hari ke tujuh paro-terang
bulan Jyestha Dapunta Hiyang berlepas dari Minanga
tamwan membawa bala tentara dua laksa dengan perbekalan
dua ratus cara (peti) di sampan dengan berjalan seribu
tiga ratus dua belas banyaknya datang di mata jap (Mukha Upang)
sukacita pada hari ke lima paro-terang bulan....(Asada)
lega gembira datang membuat wanua....
Śrīwijaya jaya, siddhayātra sempurna...

-----------------------------------------
Oleh: Bhre Polo
Sumber:

Komentar