Aksara Bali (sekitar abad 15)

Aksara Bali, juga dikenal sebagai Hanacaraka, adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di Pulau Bali. 
Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa Bali, Sanskerta, dan Kawi, namun dalam perkembangannya juga digunakan untuk menulis beberapa bahasa daerah lainnya seperti bahasa Sasak dan Melayu dengan tambahan dan modifikasi. 
Aksara Bali merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi dan berkerabat dekat dengan aksara Jawa. 
Aksara Bali aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Bali sejak pertengahan abad ke-15 Masehi hingga kini dan masih diajarkan di Bali sebagai bagian dari muatan lokal, meski penerapannya dalam kehidupan sehari-hari telah berkurang.
Aksara Bali adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari sekitar 18 hingga 33 aksara dasar, tergantung dari penggunaan bahasa yang bersangkutan. 
Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. 
Arah penulisan aksara Bali adalah kiri ke kanan. 
Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dengan sejumlah tanda baca.
Dalam masyarakat Bali dan Lombok pra-kemerdekaan, aksara Bali aktif digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat untuk menuliskan sastra dengan cakupan yang luas dan beragam. 
Kebanyakan teks sastra disusun dalam bentuk tembang yang dirancang untuk dilantukan, sehingga teks tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya, namun juga dari irama dan nada pelantunan. 
Sastra Bali juga digubah menggunakan sejumlah bahasa; Sastra umum digubah dengan bahasa Bali halus yang menggunakan banyak kosakata Kawi, sementara sastra klasik dengan derajat yang tinggi, semisal kakawin, digubah sepenuhnya dengan bahasa Kawi dan Sanskerta. 
Dalam perkembangannya, berkembang pula genre sastra seperti gĕguritan yang dapat digubah menggunakan bahasa Bali sehari-hari dan bahkan bahasa Melayu.
Selain itu, sastra Sasak di Lombok juga banyak digubah menggunakan bahasa Jawa halus, dan beberapa digubah dengan bahasa Sasak. Karena banyak karya sastra memiliki bahasa halus yang arkais, teks umum dibaca bersama-sama dengan cara yang umum dikenal sebagai pĕsantian di Bali dan pĕpaosan di Lombok. 
Dalam cara ini, suatu teks dibaca berganti-gantian oleh dua orang pembaca: pembaca pertama melantunkan cuplikan teks dengan nada dan irama yang sesuai tembang, sementara pembaca kedua memberikan terjemahan dan parafrase yang dapat menjelaskan maksud cuplikan teks tersebut kepada para hadirin. Pembaca yang terampil sering kali diundang untuk membacakan cuplikan lontar dengan tema yang sesuai acara untuk meningkatkan kekhidmatan upacara. Semisal di Bali, upacara pernikahan dapat dilengkapi dengan pembacaan adegan pernikahan Arjuna dari Kakawin Arjunawiwāha.
Sementara itu di Lombok, upacara potong rambut bayi (ngurisan) dapat dilengkapi dengan pembacaan adegan pemotongan rambut Nabi Muhammad dari Aparas Nabi.
Pada tingkat dusun, kegiatan ini diwadahi oleh perkumpulan yang bertemu secara berkala untuk membahas (mabasan) isi lontar dan berlatih pĕsantian/pĕpaosan. 
Kegiatan ini terdokumentasi telah dilakukan di kalangan ningrat dan pendeta sejak abad ke-19, namun kemudian menyebar ke masyarakat umum pada awal abad ke-20.
Selain sastra, aksara Bali juga lumrah digunakan dalam surat dan catatan untuk berbagai kegiatan sehari-hari, dari agenda bertani hingga bukti pembayaran pajak. Sejumlah desa di Bali bahkan memiliki sistem administrasi tradisional yang menuliskan berbagai perihal desa, seperti aturan (awig-awig), organisasi masyarakat (sĕkaha), dan koordinasi subak, dalam catatan lontar yang dipertanggung-jawabkan oleh seorang sekretaris (panyarikan). 
Kebanyakan catatan ini ditulis dalam bahasa sehari-hari, namun tidak jarang ditemukan catatan dengan banyak campuran kata-kata Kawi atau bahkan sepenuhnya menggunakan bahasa Kawi, terutama untuk urusan resmi yang melibatkan kaum ningrat.
Bersamaan dengan meningkatnya ketersediaan kertas di Bali pada awal abad ke-20, berkembang pula teknologi cetak aksara Bali yang diprakarsai oleh pemerintahan Hindia Belanda. 
Fon aksara Bali cetak pertama dikembangkan oleh Landsdrukkerij atau Percetakan Negeri di Batavia untuk kamus Kawi-Bali-Belanda karya Herman Neubronner van der Tuuk yang dicetak pada tahun 1897. 
Semenjak itu materi cetak beraksara Bali dihasilkan oleh sejumlah penerbit, utamanya buku-buku pelajaran yang digunakan di sekolah rakyat dan sastra Kawi yang digarap oleh akademisi, setidaknya hingga 1942 ketika Jepang mulai menduduki Indonesia.
Fon cetak ini masih disimpan oleh Percetakan Bali yang dimiliki oleh Pemerintahan Daerah Tingkat I Bali, namun percetakan massal aksara Bali kini mengandalkan fon komputer yang pembuatannya diprakarsai oleh I Made Suatjana pada 1980-an.
Kerabat paling dekat dari aksara Bali adalah aksara Jawa. Sebagai keturunan langsung aksara Kawi, aksara Jawa dan Bali masih memiliki banyak kesamaan dari segi struktur dasar masing-masing huruf. Salah satu perbedaan mencolok antara aksara Jawa dan Bali adalah sistem tata tulis; Tata tulis Jawa sering kali tidak mengindahkan ejaan asli pada kosakata yang memiliki akar Sanskerta dan Kawi, sehingga tata tulis Jawa kontemporer tidak memiliki konsep yang serupa dengan pasang pagĕh. 
Dalam aksara Jawa, sebagian besar aksara yang dikategorikan sebagai śwalalita dalam aksara Bali dialihfungsikan sebagai aksara murda (ꦩꦸꦂꦢ), yakni aksara yang digunakan untuk menuliskan gelar dan nama terhormat.



------------------------------
Ditulis ulang
Oleh: Bhre Polo
Sumber:

Komentar