Bajak Laut Galela-Tobelo (sekitar abad ke 16 Masehi)

Menurut laporan Portugis, penduduk permukiman Tobelo, Galela terutama Tobaru, adalah pelaku kekejaman dan kekerasan yang menyerang pemukiman orang Moro (Sekarang di kecamatan Galela, terletak pesisir pantai bagian utara pulau Halmahera di Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara) sepanjang abad ke-16 Masehi. 
Sementara orang Tobaru hidup di lembah sungai Ibu, orang Galela tinggal di permukiman dengan nama Galela, di tepi Danau Galela dan berada di bawah pemerintahan penguasa suku Gamkonora di pantai barat utara Halmahera. 
Mereka berulangkali menyerang permukiman orang Moro di Mamuya dan pada tahun 1606 Masehi, dan juga menyerang Tolo (sekarang di Kelara, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan).
Nama Tobelo muncul pertama kali pada tahun 1606 Masehi, ketika orang Moro di Samafo dan Cawa mengungsi ke Tolo untuk menghindari serangan dari penduduk permukiman bernama Tobelo yang letaknya delapan mil di pedalaman. Lima puluh tahun kemudian, dua permukiman Tobelo dicatat yaitu Tobelo-tia dan Tobelo-tai. 
Keduanya terletak di pedalaman, jauh dari jangkauan penguasa Kerajaan Gamkonora dan Kerajaan Ternate. 
Pada tahun 1686 Masehi, Tobelo-tia digambarkan terletak di tepi sebuah danau (diduga sebagai Danau Lina) di pedalaman sebelah utara distrik Kao. 
Permukiman tersebut dibagi dalam delapan wilayah dan merupakan wilayah bawahan dari penguasa Gamkonora yang diwakili oleh seorang "hukum". 
Sumber yang sama menjelaskan bahwa Tobelo-tai terletak satu hari berlayar ke selatan dari Galela. 
Dalam peta yang digambar oleh Isaac de Graaf, hanya tiga permukiman di sepanjang jazirah utara yang dicatat: 
"...Galeta (Galela), Tomueway (di lokasi desa Mawea sekarang ini), dan Tubella (Tobelo) yang terletak di Danau Lina...". Dari sini, dapat direkonstruksi perkembangannya. 
Di akhir abad ke-16 Masehi, hanya ada satu permukiman Tobelo yang terletak delapan mil di pedalaman dari permukiman orang Moro yaitu Samafo dan Cawa. 
Ingatan tentang permukiman tunggal orang Tobelo masih melekat dalam ingatan orang Ternate pada abad ke-19 Masehi. 
Tahun 1858 Masehi, informasi dari dewan Ternate (Ternaten Court) yang menyebutkan bahwa pada zaman dulu ada tujuh negeri kecil (petty states) yang independen di jazirah utara Halmahera yaitu Jailolo, dan Loloda masing-masing di bawah seorang kolano, Sahu, Tobaru, Tolofuo dan Kau di bawah seorang sangaji dan Tobelo dan Galela yang merupakan kampung-kampung yang besar yang memiliki pemerintahan sendiri dan independen dari Gamkonora.
Permukiman orang Tobelo terbagi menjadi dua antara tahun 1606 sampai tahun 1656 Masehi. Kedua komunitas terletak di pedalaman sampai sebelum tahun 1686 Masehi, salah satunya bergerak ke tepi pantai dan menempati tanah tidak bertuan yang dulunya merupakan permukiman orang Moro. 
Disana mereka membangun permukiman, Tobelo-tai dan pada akhir abad ke-17 Masehi, permukiman di pinggir pantai yaitu ditambahkan Mawea. Komunitas yang lain, Tobelo-tia tetap berada di Danau Lina (kemudian tidak ada catatan sejarah tentang Tobelo selama sekitar 150 tahun). 
Baru pada tahun 1855 Masehi, nama Tobelo kembali muncul, saat penduduk "kampong Tobelo" menolak untuk menyerahkan seorang bajak laut bernama Laba kepada komandan kapal perang "Vesuvius". 
Sang komandan kemudian memerintahkan untuk memborbardir kampung tersebut. Di lokasi tersebut, dikenal sebagai "Berera Ma Nguku" (‘kampung terbakar’ dalam bahasa Tobelo) yang saat ini letaknya di desa Gamhoku (‘kampung terbakar’ dalam bahasa Ternate). 
Setelah penghancuran, penduduknya dipindahkan ke lokasi yang berhadapan dengan pulau Kumo, dimana Gubernur Belanda untuk Maluku memerintahkan membangun permukiman baru. 
Kampung ini dikenal sebagai "Berera Ma Hungi" (‘kampung baru’ dari bahasa Tobelo) dan sekarang dikenal dengan nama dari bahasa Ternate yaitu Gamsungi, dengan arti yang sama (kampung baru).
Pada saat itu, permukiman orang Tobelo sudah menyebar di sepanjang pantai daerah Tobelo sekarang dan beberapa bagian pulau Morotai. 
Tahun 1856 Masehi, penduduk Tobelo dikabarkan hidup di sembilan domain (negeri atau hoana) yang mana empat di antaranya dihuni yaitu Liena (Lina), Liebatto (Huboto), Laboewah-lamo (Hibua Lamo) dan Nomo (Momulati). 
Negeri-negeri yang lain ditambahkan pada ke-empat negeri ini dan "tidak lagi menyandang nama negeri". 
Pengurangan dari sembilan ke empat negeri ini kemudian dihubungkan dengan administrasi pemerintah Belanda. 
Campen melaporkan pada tahun 1883 Masehi, bahwa kesembilan negeri (hoana) ini adalah Katana, Mawea, Patja, Jaro, Saboea Lamo, Lina, Sibotto, Momulati dan Mede tetapi "pemerintahan kita (Belanda) membuat pembagian yang sewenang-wenang ke dalam tujuh bagian (hoana), kemudian menjadi lima, dan sekarang...... pembagian ke dalam empat negeri dikembangkan". 
Keempat negeri, yaitu Momulati, Lina, Sibotto, dan Saboea Lamo yang bersama-sama membentuk ibu kota (hoofplast) Tobelo. 
Sebagai tambahan, Campen menyusun daftar dua puluh empat permukiman Tobelo, hampir semuanya dinamai sesuai dengan nama sungai, atau bentukan pantai (tanjung, teluk, atau pulau) di mana mereka tinggal. 
Dan satu abad kemudian, pada awal 1980-an, permukiman ini adalah bentuk yang mana orang Tobelo mengidentifikasi wilayahnya: dua puluh dua permukiman, yang semuanya terletak di pinggir pantai dan dinamai sesuai dengan sungai atau teluk di mana mereka tinggal, dikelompokkan ke dalam empat (atau lima) wilayah domain (ma hoana) yaitu Lina, Huboto, Momulati, dan Hibua Lamo (hoana Hibua Lamo berasal dari hoana Gura dan kemudian menggantikan hoana tersebut). 
Bersama-sama, keempat hoana ini membentuk 'O Tobelohoka manga ngi', (wilayah Tobelo).
Orang Moro di Bumi Halmahera
Ketika Portugis tiba di maluku pada pertengahan abad ke-16 Masehi, mereka menemukan bahwa pantai timur Halmahera, yang disebut Morotia, dan pulau Morotai dihuni oleh orang-orang yang dikenal sebagai "Orang Moro".
Di wilayah yang sekarang ini dihuni oleh orang Tobelo dan Galela, orang Moro banyak membangun perkampungan di pesisir pantai. 
Pada tahun 1556 Masehi, ada 46 atau 47 perkampungan Moro, yang masing-masing kampung berpenduduk sekitar 700 sampai 800 penduduk. 
Di jazirah utara, perkampungan Moro ditemukan dari Tanjung Bisoa di utara sampai Cawa di selatan - dekat kota Tobelo sekarang ini. 
Pulau Morotai dan pulau Rau yang lebih kecil dihuni secara eksklusif oleh orang Moro. 
Pada tahun 1588 Masehi ada sekitar 29 permukiman di sana. Jumlah yang sama dilaporkan pada pada tahun 1608 Masehi.
Populasi orang Moro sangat besar dibandingkan dengan suku-suku di dekatnya, bahkan jika kita mambaca perhitungan dari misionaris Portugis dengan kritis. 
Pertengahan abad ke 16 Masehi, menurut perkiraan yang paling konservatif orang Moro berjumlah sekurang-kurangnya 20.000 orang. 
Jumlah populasi yang signifikan ini adalah bukti dari kenyataan bahwa, setelah orang Moro menghilang pada pertengahan abad ke-17, jumlah populasi penduduk yang tersisa di Halmahera berkurang sangat drastis.
Permukiman orang Moro terletak jauh dari suku tetangga mereka seperti Tobelo, Galela dan Tobaru di satu pihak. Permukiman dari ketiga suku ini terletak jauh di pedalaman dan tidak masuk dalam dalam empat permukiman utama (Tolo, Sugala, Mamuya di Morotia dan Cawo di Morotai) yang merupakan wilayah orang Moro pada tahun 1536 Masehi, dan permukiman Tobelo, Galela, dan Tobaru juga tidak dimasukkan dalam pembagian delapan distrik yang dilakukan tahun 1588 Masehi (Sugala, Sakita, Mamuya, Tolo, Cawa, Sopi, Mira dan Cawo). 
Sangaji yang di tunjuk untuk distrik-distrik Moro ini tidak memiliki otoritas terhadap Tobelo, Galela dan Tobaru.
Negeri Moro memiliki hubungan dalam hal pemberian upeti (tributary relationship) dengan Ternate. Mereka menyediakan persediaan makanan bagi Ternate, dan juga bagi Jailolo dan Tidore dalam jumlah yang lebih kecil. 
Pada tahun 1536 Masehi dilaporkan bahwa;
"...raja-raja Maluku memiliki sebuah negeri yang dibagi-bagi di antara mereka...raja-raja itu tidak memiliki persediaan atau hasil alam untuk menopang kerajaan mereka kecuali yang mereka datangkan dari Moro dimana ada banyak beras dan sagu, daging dan ayam... orang-orang Moro adalah hamba (escravos) dari raja-raja ini".
Dalam pembagian wilayah Moro, Ternate mendapatan bagian terbesar. Tampaknya orang Moro juga berpartisipasi dalam ekspedisi militer Ternate. 
Sekitar 5000 sampai 6000 penduduk Moro di Mamuya dan Tolo dikabarkan mengambil bagian dalam pasukan Ternate yang membantu Gubernur Portugis Tristao de Ataide untuk menaklukkan Jailolo dan mengalahkan pasukan Spanyol pada tahun 1533 Masehi. Portugis kemudian membangun pertahanan yang kuat di Mamuya. 
Hal ini kemudian memulai gangguan bagi "tributary relationship" antara Moro dan Ternate, karena setelah itu para penduduk Moro "menolak untuk memberikan suplai makanan" bagi Ternate.
Tahun 1536 Masehi, Katarabumi, penguasa Jailolo, didukung oleh persekutuan dengan Tidore dan Bacan mengusir Portugis dari Moro dan menaklukkan negeri Moro. Para prajurit Tobaru dari lembah sungai Ibu mengambil bagian aktif. 
Sumber-sumber Portugis mengungkapkan mereka (orang Tobaru) sangat ditakuti karena kemampuan untuk bergerak di dalam hutan tanpa terlihat dan menyerang dengan tiba-tiba. "mereka dikabarkan bisa menghilang (turn themselves invisible)". Pada tahun berikutnya, pasukan Portugis berhasil merebut kembali negeri Moro (kecuali Sugala). 
Tapi pada tahun berikutnya, penduduk Moro di Tolo dan Mamuya menderita terutama oleh serangan Tobaru, dan penduduk Moro di Morotai karena serangan Jailolo.
Sekitar dekade 1540-an Masehi, Jailolo telah menaklukkan permukiman Moro di Tolo, sebuah permukiman yang digambarkan oleh Rebelo sebagai "yang terbesar, yang paling banyak penduduknya, dan terkuat dari antara seluruh pemukiman di kepulauan Moro". 
Pada 1549 Masehi, Sultan Hairun dari Ternate bertolak untuk merebut kembali Moro dengan bantuan Portugis. Sementara melakukan pengepungan, gunung di dekat Tolo meletus. Tolo kembali direbut dan para tentara pendudukan dari Jailolo dikejar ke pegunungan.
Para pemimpin Gamkonora (terletak di pantai barat jazirah utara Halmahera) dan Sultan Ternate terus mengancam keberadaan negeri Moro. 
Pada tahun 1570 Masehi, Pune di dekat Mamuya dan permukiman lainnya diserang dan dihancurkan oleh Sultan Babullah dari Ternate. 
Pada dekade-dekade selanjutnya populasi orang Moro semakin berkurang karena serangan yang berkelanjutan.
Pada tahun 1606 Masehi, ketika Belanda telah mengusir Portugis dari Tidore, sebuah armada Spanyol mendekati Ternate yang disambut dengan tembakan dari sebuah kapal Belanda.
Dengan bantuan Tidore, Spanyol merebut Ternate. Segera setelah pimpinan Spanyol membuang Sultan Ternate ke Filipina, Tidore memperoleh kesempatan untuk sekali lagi menjarahi negeri Moro. Penduduk Moro masih juga diserang dari pedalaman. 
Di Tolo, misalnya, penduduk Samafo dan Cawa mengungsi untuk menyelamatkan diri dari serangan orang-orang Tobelo dan Galela yang bermukim 8 mil di pedalaman. 
Hal ini memaksa Spanyol untuk menempatkan pasukan untuk melindungi "penduduk yang bersahabat dari serangan orang Tobelo dan Galela". 
Mereka kemudian ditarik kembali untuk mempertahankan Tidore dari serangan pasukan gabungan Belanda dan Ternate. Seorang misionaris bernama Simi membujuk penduduk Tolo untuk mengungsi ke Morotai tetapi mereka memilih berangkat ke Bicoli. 
Sementara berkemah di pantai Bicoli,mereka ditangkap oleh pasukan Ternate. Tolo dimusnahkan sama sekali. Tahun 1617 Masehi dikabarkan tempat tersebut diliputi hutan dan tidak menunjukkan tanda-tanda pernah dihuni.
Ketakutan menghadapi nasib yang sama, penduduk Moro di pulau Morotai bersekutu dengan Ternate tetapi tidak ada faedahnya. 
Sesudah pasukan Spanyol ditarik, di bawah pimpinan Sultan Modafar dari Ternate (berkuasa dari 1610-1627 M), penduduk Cawo, Sopi, Mira, dan Sakita dipindahkan ke Dodinga dan Jailolo. 
Di bawah pengganti Modafar, sisa 800 orang Moro dijadikan budak di Ternate. Sebelumnya, sebagian penduduk yang dipindahkan ke Tidore;
"dimana putra mahkota Tidore telah melakukan serangan besar-besaran ...dan memperoleh banyak tawanan, laki-laki, perempuan dan anak-anak, Serta menjadikan mereka budak Tidore".
Kemudian tak ada lagi catatan sejarah tentang Moro.
Canga-Canga I (Bajak Laut Tobelo-Galela)
Pada abad ke-19 Masehi, beberapa perairan penting di Indonesia dihantui oleh perompakan-perompakan yang dilakukan para bajak laut. 
Aksi-aksi para bajak laut ini sangat memusingkan Pemerintah Kolonial Belanda dan angkatan lautnya. 
Perairan-perairan yang menjadi sasaran operasi bajak laut antara lain perairan Manado, Kepulauan Sulawesi Tenggara, pantai timur Sulawesi, Nusa Tenggara, pantai utara Jawa Timur, serta Maluku. Sampai paruh pertama abad ke-19 Masehi ini, pelaku perompakan terutama terdiri dari orang-orang Filipina Selatan, yakni orang Balangigi, Mindanao dan Sulu.
J.A. Muller (19 Masehi) melaporkan bahwa Komandan kapal Willem I, Wolterbeek Muller, mengalami musibah karam kapalnya ketika tengah mengejar bajak laut "Maluku." 
Tetapi, para bajak laut tersebut ternyata orang Mindanao yang perahunya dilengkapi dengan senjata api.
Bajak laut Mindanao yang terkenal ketika itu adalah gerombolan yang dipimpin Syarif Takala. Gerombolan ini beroperasi di sekitar pantai timur Kalimantan dan Sulawesi Utara. 
Pada 1835 Masehi, Syarif Takala tertangkap di Batu Putih oleh kapal perang Heldin, dan bersamanya ikut diringkus anak buahnya yang baru selesai beroperasi di Sungai Berau. 
Ketika ditangkap, Syarif Takala baru saja menikahi puteri Sultan Paji Alam dari Kesultanan Panjang.
Disamping gerombolan Syarif Takala, ada gerombolan bajak laut Filipina terkenal lainnya pimpinan Dato Kaiya, yang juga berhasil diringkus Belanda. Baik Syarif Takala maupun Dato Kaiya diseret ke pengadilan kemudian dihukum.
Setelah tertangkapnya kedua pentolan bajak laut Filipina itu, perompakan di perairan Kalimantan mereda untuk sementara waktu. 
Tetapi, dengan ketatnya patroli angkatan laut di kawasan tersebut, para bajak laut Filipina Selatan memindahkan daerah operasinya ke perairan Nusa Tenggara – Flores, Bima dan sekitarnya – serta Kepulauan Maluku.
Sekitar pertengahan abad ke-19 Masehi, gerombolan perompak Filipina selatan mendapat saingan baru: gerombolan bajak laut Tobelo-Galela. 
Pada 1850 Masehi, angkatan laut Belanda melaporkan bahwa Kepulauan Bawean di pantai utara Jawa Timur diserang oleh tidak kurang dari 15 perahu bajak laut. Perahu-perahu yang digunakan para perompak cukup besar dan dikayuh puluhan orang – tiap perahu memuat sekitar 60 orang – serta dilengkapi meriam, senjata api, dan amunisi.
Perahu-perahu bajak laut itu mendarat di perkampungan ketika kaum lelakinya tengah berlayar untuk berdagang. Rumah-rumah penduduk dibakar setelah harta bendanya dirampok. Sementara perempuan dan anak-anak ditangkap untuk dijadikan budak belian. 
Patroli angkatan laut yang dikirim ke tempat kejadian melaporkan bahwa perompakan dilakukan oleh bajak laut domestik, bukan perompak Filipina Selatan.
Pada 1852 Masehi, angkatan laut juga melaporkan terjadinya serangkaian aksi perompakan di perairan Flores dan Sumbawa. 
Dari para perompak yang berhasil ditangkap, diketahui bahwa para bajak laut itu berasal dari Tobelo, selain sebagiannya berasal dari Filipina Selatan.
Laporan-laporan tahun selanjutnya mengungkapkan bahwa muncul pula bajak laut yang berasal dari Galela. 
Bahkan, secara insidental, ditemukan pula orang-orang Loloda, Patani dan Gebe yang terlibat dalam aksi-aksi perompakan.
Karena aksi-aksi perompakan yang dilakukan para bajak laut asal Tobelo dan Galela begitu meresahkan, Pemerintah Belanda mendekati para sultan Maluku dan meminta bantuan mereka – terutama Sultan Ternate dan Bacan yang kawulanya termasuk orang Tobelo dan Galela – untuk menanggulanginya. 
Tetapi, upaya ini tidak segera menunjukkan hasil. Bahkan, para perompak, selain menyerang daerah-daerah seperti Banggai, Buton, dan Tombuku, beroperasi di depan mata para sultan sendiri, seperti di Bacan, Obi, Sanana dan Seram. 
Pulau-pulau yang berdekatan dengan Tidore dan Ternate, semisal Moti, Makian, dan Mare, tidak luput dari sasaran operasi para bajak laut Tobelo dan Galela.
Salah satu pemimpin bajak laut Tobelo yang sangat ditakuti adalah Laba, yang pada 1855 Masehi tertangkap sedang bersembunyi di kampungnya di Tobelo. Residen Ternate, Stierling, setelah menerima informasi bahwa Laba berada di Gamhoku, Tobelo, segera mengirim kapal perang Visivius dan menuntut penyerahan Laba yang berada dalam perlindungan penduduk Gamhoku.
Tetapi, penduduk kampung ini menolak tuntutan tersebut. Akibatnya, Stierling memerintahkan kapal perangnya menembaki dan membakar kampung Gamhoku. 
Setelah kampung itu rata dengan tanah, penduduknya dipindahkan dari Gamhoku ("kampung yang terbakar") ke Gamsungi ("kampung baru"), yang kemudian menjadi ibu kota Kecamatan Tobelo hingga sekarang.Laba sendiri tertangkap dan diseret ke pengadilan di Ternate, serta dijatuhi hukuman pengasingan ke Bengkulu dan meninggal di tempat pengasingannya itu.
Dari laporan angkatan laut Belanda yang didasarkan pada wawancara dengan para perompak yang tertangkap maupun tawanan para bajak laut yang dibebaskan, diketahui bahwa hampir semua gerombolan bajak laut ketika itu dipimpin oleh orang Tobelo atau Galela.
Gerombolan-gerombolan perompak ini beroperasi dengan menggunakan perahu-perahu yang dapat mengangkut puluhan pendayung dan ratusan pembajak. Disamping itu, perahu-perahunya dipersenjatai dengan meriam dan senjata api. Bila kepergok kapal patroli Belanda, mereka melakukan perlawanan dan sering terjadi tembak-menembak dengan kapal-kapal Belanda itu. Dalam melakukan aksinya, para bajak laut Tobelo-Galela tidak diskriminatif. 
Pada Nopember 1874 Masehi, perahu Sultan Buton dirompak dan sultan sendiri ikut bertempur menghadapi para perompak Galela. 
Para bajak laut Tobelo merompak perahu Sultan Banggai dalam perjalanannya ke Ternate, ketika ia akan beraudiensi dengan Sultan Ternate. 
Semua isi perahu dikuras habis, termasuk sejumlah upeti yang akan dipersembahkan kepada Sultan Ternate. 
Pada tahun yang sama, perompak Tobelo berhasil menguras sebuah kapal niaga di Seram.
Tetapi, dalam perompakan di pantai timur Sulawesi, misalnya, aparat Kesultanan Ternate yang ditempatkan di Banggai juga turut terlibat. 
Utusan Ternate dan Sekretaris Kerajaan Banggai, keduanya orang Ternate, merupakan penadah hasil rompakan. Mereka juga menjadi "sole agent" pembelian budak hasil tangkapan para perompak Tobelo-Galela.
Berkaitan dengan bajak laut Tobelo-Galela ini, A.B. Lapian antara lain mencatat:
"...Bahwa angka-angka yang dilaporkan Pemerintah Belanda mungkin masih berada jauh di bawah angka sesungguhnya, baik dalam jumlah perahu maupun yang menjadi pelakunya, serta yang menjadi korban sebagai budak". Penamaan kampung Gamhoku dan Gamsungi, dengan demikian, muncul belakangan, pasca penembakan dan pembakaran yang dilakukan Belanda. Nama kampung Gamhoku sebelum kebakaran tidak begitu jelas. Daerah operasi para perompak itu sangat luas. Pada masa puncaknya, wilayah yang dijangkau para bajak laut sampai ke Laut Jawa. Bahkan, dengan bekerjasama dengan orang-orang Filipina Selatan, wilayah operasi mereka mungkin lebih luas lagi. 
Atas dasar hal-hal tersebut, orang-orang Tobelo-Galela yang menjadi bajak laut itu menunjukkan kemampuan mereka mengorganisasikan diri dalam suatu kekuatan yang tangguh menghadapi angkatan laut Belanda. 
Kemampuan managemen dan logistik serta kepemimpinan yang piawai dan pengetahuan navigasi serta pelayaran yang luas, dengan demikian, dimiliki para bajak laut Tobelo–Galela.
Untuk menanggulangi ulah bajak laut asal Tobelo-Galela, pada 1878 Masehi, Said Muhammad, seorang keturunan Arab yang bermukim di Makian, mengorganisasi sebuah badan anti bajak laut yang beranggotakan 125 orang. Kelompok ini mengejar dan menangkap para bajak laut yang ditemukannya. 
Pada tahun pertama setelah badan ini berdiri, Said Muhammad dan anak buahnya berhasil menangkap 140 bajak laut Tobelo-Galela, yang langsung digiring ke Ternate.
Keberhasilan kelompok Said Muhammad turut berperan-serta dalam mengurangi aksi-aksi perompakan, terutama di Kepulauan Bacan dan Sanana-Taliabu. Disamping itu, Sultan dan Residen Ternate mengeluarkan peraturan bersama yang mewajibkan semua perahu orang Galela dan Tobelo memiliki pas jalan apabila hendak berlayar. Perahu yang tidak memiliki pas jalan dianggap sebagai perahu bajak laut.
Pada akhir abad ke-19 Masehi, gangguan bajak laut yang dilakukan orang Tobelo-Galela berkurang secara drastis, kemudian berakhir. Menurut van Fraassen, berakhirnya aksi perompakan ini secara alami dikarenakan mulai berkembangnya pelayaran kapal-kapal laut.
Gubernur Jenderal Turun-tangan Membasmi Pembajakan Gubernur jenderal Hindia Belanda, Pahud, mengunjungi Ternate pada Januari tahun 1861 Masehi.
Setiba di Ternate, ia melakukan perundingan dengan Sultan Ternate dan Tidore. Agenda pokok yang dirundingkan adalah usaha-usaha preventif yang harus diambil untuk mencegah kawula kedua kesultanan itu melakukan perompakan, dan bantuan untuk mengatasinya, terutama untuk kasus-kasus pembajakan yang tejadi di Maluku.
Sementara itu, setelah mengetahui bahwa para bajak laut kebanyakan terdiri dari orang Tobelo dan Galela, Pemerintah Hindia-Belanda mencoba mendekati Sultan Ternate untuk mengatasinya, karena Tobelo dan Galela berada dalam wilayah hukum Kesultanan Ternate.
Sultan Muhammad Arsyad berjanji akan mengatasinya, seperti telah disebutkan di atas. 
Bersama Residen Ternate, Sultan kemudian mengeluarkan peraturan bahwa semua perahu orang Tobelo dan Galela yang hendak berlayar harus memiliki surat izin berlayar yang dbubuhi cap Sultan dan Residen. Mereka yang tidak memiliki surat izin atau pas jalan akan diperlakukan sebagai bajak laut dan ditindak tegas.
Keluarnya peraturan tersebut cukup efektif dalam menurunkan angka perompakan yang melibatkan orang Tobelo-Galela. Pada tahun 1862 Masehi, misalnya, hanya ditemukan satu perahu Tobelo yang melakukan perompakan di pulau Buru, dan beberapa tahun berikutnya tidak terdengar lagi adanya pembajakan yang dilakukan orang Tobelo dan Galela. 
Baru pada bulan Februari 1868 Masehi, terjadi pembajakan yang dilakuan orang Tobelo terhadap perahu Binongko di Buano, Seram Barat. Dalam kejadian ini, isi perahu ludes dirampok dan awaknya dibunuh.
Pada 1861 Masehi, Pemerintah Belanda menempatkan satu regu tentara, terdiri dari 6 prajurit pribumi dan seorang kopral Belanda, di Dodinga untuk mengawasi lalu lintas antara Bobaneigo dan Dodinga. 
Lalu lintas di daerah itu mulai ramai sebagai rute perdagangan darat antara Halmahera dan Ternate. 
Detasemen tentara tersebut menempati Benteng Dodinga, yang kini tidak ada bekasnya lagi karena digunakan untuk membangun jalan.
Barangkali atas desakan Belanda, Kesultanan Ternate dalam tahun ini melakukan pemecatan terhadap Sangaji Tobelo, Manis. 
Ia dipecat berkenan dengan maraknya aksi pembajakan di laut yang dilakukan orang Tobelo dan Galela. Demikian pula, Sangaji Galela dipecat dengan alasan yang sama.
Canga-Canga II (Berlayar Di Perairan Berbahaya)
Bajak laut dan perompakan di perairan Asia Tenggara memiliki akar sejarah yang panjang dan belum tergerus oleh waktu. Hingga tahun 1994, ingatan tentang perompak Tobelo dari abad ke-19 Masehi masih dipakai oleh masyarakat di beberapa wilayah Sulawesi Tengah untuk menakuti anak-anak agar patuh.
Orang Tobelo, digambarkan sebagai predator tak kenal belas kasihan, aktif pada abad ke-19 Masehi, adalah satu dari banyak kelompok di mana perompakan merupakan sumber yang penting bagi penghidupan di perairan bagian timur Indonesia. 
Artikel ini menguraikan bagaimana kelompok perompak ini berfungsi sebagai bagian dari sistem politik di Indonesia Timur dan kemudian berakhir dengan ekspansi maritim dari penguasa kolonial pada abad ke sembilan belas.
Kelompok bersenjata yang bersiliweran adalah pemandangan biasa di kepulauan Indonesia bagian timur pada abad ke-17 dan 18 Masehi. 
Mereka aktif bukan saja pada masa perang tetapi juga pada masa-masa yang relatif damai. 
Perompak adalah sebagian dari kelompok yang memiliki mobilitas tinggi dan terkait dengan pembajakan, kegiatan politik, dan perdagangan. 
Kelompok-kelompk ini juga terkait dengan pusat-pusat kekuasaan di berbagai wilayah dan khususnya aktif di batas luar suatu kerajaan dan mereka juga sering menjalin hubungan dengan elit penguasa lokal dan menetap untuk waktu yang lama.
Dua pusat kekuasaan yang utama di Indonesia Timur adalah Ternate dan Bone. Lingkungan pengaruh dari keduanya didasarkan pada aliansi dengan vassal (penguasa bawahan) masing-masing dan dengan para pedagang, bangsawan, masyarakat laut dan perompak. 
Berbeda dengan sistem ideal Belanda yaitu sistem penataan hubungan politik yang terpusat di mana pengusahaan keamanan dan ketertiban serta mediasi merupakan fungsi yang penting, sistem vassal (tributary sistem) terdiri dari rangkain perjanjian perdamaian (non-agression pacts) yang dinegosiasikan secara terpisah antara pusat kekuasaan dengan masing-masing vassal. 
Sebuah pusat kekuasaan tidak bisa mengontrol pergerakan dan tindakan dari kerajaan bawahan tetapi dapat melakukan tindakan militer untuk membalas tantangan atau kelalaian dalam pemberian upeti, yang mana tindakan militer ini melibatkan kelompok perompak dan kerajaan bawahan lainnya. 
Bagi sebuah pusat kekuasan, adalah penting untuk mengatur dengan cara-cara yang menjamin bahwa potensi kekerasan tidak akan diarahkan kepada mereka. Dan agar kerajaan bawahan dan para perompak tidak bersekutu melawan mereka.
Atas alasan ini, adalah penting untuk mengarahkan kekerasan keluar perbatasan dengan mengizinkan kerajaan bawahan dan para bangsawan dengan pengikut bersenjatanya untuk melakukan aktivitas kekerasan jauh dari pusat kekuasaan. 
Pantai timur Sulawesi dengan tiga kerajaan maritimnya yaitu Buton, Tobungku, dan Banggai terletak di antara lingkungan pengaruh Bone dan Ternate.
Sebagai konsekuensi, ketiganya merasakan dampak dari kelompok perompak dari kedua pusat kekuasaan tersebut dan harus mencari perlindungan dari keduanya dengan – dengan hasil yang fluktuatif.
Pada tahun 1743 Masehi, sebuah perjanjian dinegosiasikan oleh Ternate untuk menyelesaikan konflik antara dua vassal yaitu Banggai dan Tobungku, sehingga keduanya bisa berpartisipasi dalam ekspedisi militer yang dipimpin oleh Ternate. 
Ketentuan akhir dari perjanjian ini, menetapkan bahwa Sultan Ternate berhak menerima bagian dari rampasan perang. Dengan perluasan kekuasaan oleh kekuasaan kolonial pada awal abad ke -19 Masehi, perompakan dianggap sebagai tindakan kriminal dan harus dibasmi. 
Belanda harus berurusan tidak hanya dengan perompakan tetapi juga dengan sistem ekonomi dan politik yang melibatkan para perompak. 
Perompakan adalah sebuah cara untuk meningkatkan upeti, meningkatkan kekayaan dan membiayai perang yang terjadi dalam skala besar di timur Nusantara pada era Perang Nuku melawan VOC.
Pada dekade 1820-an dan 1830-an Masehi beberapa usaha yang kemudian gagal dilakukan untuk mengubah kelompok perompak semi-nomadik menjadi masyarakat nelayan dan petani yang menetap dengan jalan negosiasi dan pemberian lahan. 
Usaha terbesar ialah di era pengganti Nuku, raja Jailolo II, Muhammad Asgar yang diberikan tanah di pantai utara Seram.
Disini ribuan pengikut raja Jailolo yang hidup berkelana selama Perang Nuku diharapkan menetap secara permanen. 
Tanah yang kurang subur menyebabkan kekurangan makanan dan juga diduga karena kontak yang terus-menerus dengan para perompak menyebabkan usaha ini berakhir dalam kegagalan.
Dua usaha yang serupa dalam skala yang lebih kecil dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk memukimkan dan menenangkan perompak Tobelo di sekitar Flores, yang juga terdiri dari bekas pengikut Nuku. 
Hal pertama yang dilakukan oleh Daeng Magasing, bangsawan dari Bonerate yang memiliki hubungan dengan para bajak laut. 
Dia menggunakan kearifan lokal dan statusnya untuk berhubungan dengan para perompak dan memukimkan mereka di Tanah Jampea. 
Pulau kecil di Selatan Selayar ini kehabisan penduduk karena serangan yang berkelanjutan. 
Disini para perompak akan dimukimkan dan diharapkan menjadi petani dan hidup dengan damai dalam perlindungan pemerintah Belanda. 
Pada tahun 1830 Masehi, 15 orang pemimpin bajak laut Tobelo menandatangani perjanjian damai yang diperkuat dengan sumpah dengan Daeng Magasing. 
Tiga tahun kemudian usaha ini gagal karena terbukti bahwa Daeng Magasing sendiri terlibat dalam aksi pembajakan dengan menggunakan suplai yang diberikan oleh Belanda.
Usaha kedua untuk ‘menjinakkan’ orang Tobelo dilakukan oleh petualang Belanda, Jan Nicholas Vosmaer, yang membangun pos perdagangan di pantai timur Sulawesi. Dia didukung oleh pemerintah Belanda. Vosmaer melakukan negosiasi dengan banyak pemimpin perompak Tobelo, sama seperti yang pernah dilakukan Daeng Magasing, tetapi kematiannya membuat usaha ini harus terhenti di tengah jalan. Seandainya pun dia tetap hidup diragukan jika dia bisa menjinakkan para perompak karena keamanannya sendiri tergantung kepada seorang pemimpin yang terkait dengan bajak laut. 
Usaha awal untuk mengubah dan memukimkan bajak laut gagal selama Belanda hanya memiliki kontrol yang terbatas di perairan timur dan tidak memiliki daya untuk mencegah kerja sama antara pembajak dan elit politik lokal. 
Pemberantasan bajak laut merupakan salah satu pembenaran utama bagi ekspansi penguasa kolonial di perairan timur Indonesia di paruh kedua abad ke-19 Masehi.
Efek samping yang tidak diharapkan dari operasi pemberantasan bajak laut di sekitar Flores adalah peningkatan perompakan di pantai timur Sulawesi.
Tahun 1846 Masehi, tiga pemimpin bajak laut Tobelo dan para pengikutnya tiba di Banggai di mana mereka disambut sebagai sekutu oleh para bangsawan Ternate yang sedang menghadapi pemberontakan oleh penguasa lokal (era ini, Banggai diperintah oleh Raja yang beragama.
Karena keterlibatan para bajak laut Tobelo, maka perang untuk memadamkan pemberontakan tersebut dinamakan "Perang Tobelo". 
Tahun berikutnya perang dimenangkan oleh Ternate yang bersekutu dengan para bajak laut orang Tobelo kemudian merompak di sepanjang pantai wilayah tersebut. Mereka berbagi hasil jarahan dengan para bangsawan Ternate yang menjadi pelindung mereka terhadap Belanda. 
Para bangsawan Ternate juga menjadi penadah bagi budak hasil tangkapan para bajak laut Tobelo.
Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan sekutu mereka. 
Tahun 1853 Masehi, sultan Ternate mengeluarkan dekrit yang menyerukan orang Tobelo untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak laut oleh Belanda. 
Banyak orang Tobelo yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke wakil Ternate tetapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung di angkut dan dipulangkan ke Ternate. 
Pada tahun 1870-an dan 1880-an Masehi, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan kapal-kapal Eropa tetapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. 
Para penguasa lokal dan para bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut Tobelo dan perompak lainnya. Perompak Tobelo terakhir di angkut dari timur Sulawesi pada tahun 1880-an Masehi. 
Sebagai dampak langsungnya, terjadi permukiman kembali di pesisir pantai Sulawesi, kebangkitan perdagangan lokal, dan booming dalam produksi kopra. Perairan timur Sulawesi akhirnya ditenangkan bagi penguasa kolonial.
Artikel di IIAS Newsletter edisi 36 Maret 2005 Didasarkan pada disertasi Phd Esther Velthoen di Murdoch University tahun 2002 dengan judul "Contested Coastlines: Diaspora,Trade and Colonial Expansion in Eastern Sulawesi 1680-1905"
Canga-Canga III
Bajak laut dan perompakan di perairan Asia Tenggara memiliki akar sejarah yang panjang dan belum tergerus oleh waktu. Hingga tahun 1994, ingatan tentang perompak Tobelo dari abad ke-19 Masehi masih dipakai oleh masyarakat di beberapa wilayah Sulawesi Tengah untuk menakuti anak-anak agar patuh.
Orang Tobelo, digambarkan sebagai predator tak kenal belas kasihan, aktif pada abad ke-19 Masehi, adalah satu dari banyak kelompok di mana perompakan merupakan sumber yang penting bagi penghidupan di perairan bagian timur Indonesia. 
Artikel ini menguraikan bagaimana kelompok perompak ini berfungsi sebagai bagian dari sistem politik di Indonesia Timur dan kemudian berakhir dengan ekspansi maritim dari penguasa kolonial pada abad ke-19 Masehi.
Kelompok bersenjata yang bersiliweran adalah pemandangan biasa di kepulauan Indonesia bagian timur pada abad 17 dan 18 Masehi. Mereka aktif bukan saja pada masa perang tetapi juga pada masa-masa yang relatif damai. 
Perompak adalah sebagian dari kelompok yang memiliki mobilitas tinggi dan terkait dengan pembajakan, kegiatan politik, dan perdagangan. Kelompok-kelompok ini juga terkait dengan pusat-pusat kekuasaan di berbagai wilayah, khususnya aktif di batas luar suatu kerajaan dan mereka juga sering menjalin hubungan dengan elit penguasa lokal dan menetap untuk waktu yang lama.
Dua pusat kekuasaan yang utama di Indonesia Timur adalah Ternate dan Bone. Lingkungan pengaruh dari keduanya didasarkan pada aliansi dengan vassal (penguasa bawahan) masing-masing dan dengan para pedagang, bangsawan, masyarakat laut dan perompak. 
Berbeda dengan sistem ideal Belanda yaitu sistem penataan hubungan politik yang terpusat di mana pengusahaan keamanan dan ketertiban serta mediasi merupakan fungsi yang penting, sistem vassal (tributary sistem) terdiri dari rangkain perjanjian perdamaian (non-agression pacts) yang dinegosiasikan secara terpisah antara pusat kekuasaan dengan masing-masing vassal. 
Sebuah pusat kekuasaan tidak bisa mengontrol pergerakan dan tindakan dari kerajaan bawahan tetapi dapat melakukan tindakan militer untuk membalas tantangan atau kelalaian dalam pemberian upeti, yang mana tindakan militer ini melibatkan kelompok perompak dan kerajaan bawahan lainnya. 
Bagi sebuah pusat kekuasan, adalah penting untuk mengatur dengan cara-cara yang menjamin bahwa potensi kekerasan tidak akan diarahkan kepada mereka, agar kerajaan bawahan dan para perompak tidak bersekutu melawan mereka.
Atas alasan ini, adalah penting untuk mengarahkan kekerasan keluar perbatasan dengan mengizinkan kerajaan bawahan dan para bangsawan dengan pengikut bersenjatanya untuk melakukan aktivitas kekerasan jauh dari pusat kekuasaan. 
Pantai timur Sulawesi dengan tiga kerajaan maritimnya yaitu Buton, Tobungku, dan Banggai terletak di antara lingkungan pengaruh Bone dan Ternate. Sebagai konsekuensi, ketiganya merasakan dampak dari kelompok perompak dari kedua pusat kekuasaan tersebut dan harus mencari perlindungan dari keduanya dengan hasil yang fluktuatif.
Pada tahun 1743 Masehi, sebuah perjanjian dinegosiasikan oleh Ternate untuk menyelesaikan konflik antara dua vassal yaitu Banggai dan Tobungku, sehingga keduanya bisa berpartisipasi dalam ekspedisi militer yang dipimpin oleh Ternate. 
Ketentuan akhir dari perjanjian ini, menetapkan bahwa Sultan Ternate berhak menerima bagian dari rampasan perang.
Dengan perluasan kekuasaan oleh kolonial pada awal abad ke -19 Masehi, perompakan dianggap sebagai tindakan kriminal dan harus dibasmi. Belanda harus berurusan tidak hanya dengan perompakan tetapi juga dengan sistem ekonomi dan politik yang melibatkan para perompak. 
Perompakan adalah sebuah cara untuk meningkatkan upeti, meningkatkan kekayaan dan membiayai perang yang terjadi dalam skala besar di timur Nusantara pada era Perang Nuku melawan VOC.
Pada dekade antara 1820-an Sampai 1830-an Masehi, beberapa beberapa usaha yang kemudian gagal dilakukan untuk mengubah kelompok perompak semi-nomadik menjadi masyarakat nelayan dan petani yang menetap dengan jalan negosiasi dan pemberian lahan. Usaha terbesar ialah di era pengganti Nuku, raja Jailolo II, Muhammad Asgar yang diberikan tanah di pantai utara Seram. 
Disini ribuan pengikut raja Jailolo yang hidup berkelana selama Perang Nuku diharapkan menetap secara permanen. 
Tanah yang kurang subur menyebabkan kekurangan makanan dan juga diduga karena kontak yang terus-menerus dengan para perompak menyebabkan usaha ini berakhir dalam kegagalan.
Dua usaha yang serupa dalam skala yang lebih kecil dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk memukimkan dan menenangkan perompak Tobelo di sekitar Flores, yang juga terdiri dari bekas pengikut Nuku, Yaitu, yang pertama dilakukan oleh Daeng Magasing, bangsawan dari Bonerate yang memiliki hubungan dengan para bajak laut. 
Dia menggunakan kearifan lokal dan statusnya untuk berhubungan dengan para perompak dan memukimkan mereka di Tanah Jampea. Pulau kecil di Selatan Selayar ini kehabisan penduduk karena serangan yang berkelanjutan. 
Disini para perompak akan dimukimkan dan diharapkan menjadi petani dan hidup dengan damai dalam perlindungan pemerintah Belanda. 
Pada tahun 1830 Masehi, 15 orang pemimpin bajak laut Tobelo menandatangani perjanjian damai yang diperkuat dengan sumpah dengan Daeng Magasing. 
Tiga tahun kemudian usaha ini gagal karena terbukti bahwa Daeng Magasing sendiri terlibat dalam aksi pembajakan dengan menggunakan suplai yang diberikan oleh Belanda.
Usaha kedua untuk ‘menjinakkan’ orang Tobelo dilakukan oleh petualang Belanda, Jan Nicholas Vosmaer, yang membangun pos perdagangan di pantai timur Sulawesi.
Dia didukung oleh pemerintah Belanda. Vosmaer melakukan negosiasi dengan banyak pemimpin perompak Tobelo sama seperti yang pernah dilakukan Daeng Magasing, tetapi kematiannya membuat usaha ini harus terhenti di tengah jalan.
Seandainya pun dia tetap hidup diragukan jika dia bisa menjinakkan para perompak karena keamanannya sendiri tergantung kepada seorang pemimpin yang terkait dengan bajak laut.
Usaha awal untuk mengubah dan memukimkan bajak laut gagal selama Belanda hanya memiliki kontrol yang terbatas di perairan timur dan tidak memiliki daya untuk mencegah kerja sama antara pembajak dan elit politik lokal. 
Pemberantasan bajak laut merupakan salah satu pembenaran utama bagi ekspansi penguasa kolonial di perairan timur Indonesia di paruh kedua abad ke-19 Masehi.
Efek samping yang tidak diharapkan dari operasi pemberantasan bajak laut di sekitar Flores adalah peningkatan perompakan di pantai timur Sulawesi.
Tahun 1846 Masehi, tiga pemimpin bajak laut Tobelo dan para pengikutnya tiba di Banggai di mana mereka disambut sebagai sekutu oleh para bangsawan Ternate yang sedang menghadapi pemberontakan oleh penguasa lokal (era ini Banggai diperintah oleh Raja Agama, Karena keterlibatan para bajak laut Tobelo, maka perang untuk memadamkan pemberontakan tersebut dinamakan "Perang Tobelo"). 
Tahun berikutnya perang dimenangkan oleh Ternate dan para bajak laut, dan orang Tobelo kemudian merompak di sepanjang pantai wilayah tersebut dan berbagi hasil jarahan dengan para bangsawan Ternate yang menjadi pelindung mereka terhadap Belanda. 
Para bangsawan Ternate juga menjadi penadah bagi budak hasil tangkapan para bajak laut Tobelo.
Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan sekutu mereka. 
Tahun 1853 Masehi, sultan Ternate mengeluarkan dekrit yang menyerukan orang Tobelo untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak laut oleh Belanda. 
Banyak orang Tobelo yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke wakil Ternate tetapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung di angkut dan dipulangkan ke Ternate. 
Pada tahun 1870-an dan 1880-an Masehi, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan kapal-kapal Eropa tetapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. 
Para penguasa lokal dan para bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut Tobelo dan perompak lainnya. Perompak Tobelo terakhirdi angkut dari timur Sulawesi pada tahun 1880-an Masehi. 
Sebagai dampak langsungnya, terjadi permukiman kembali di pesisir pantai Sulawesi, kebangkitan perdagangan lokal, dan booming dalam produksi kopra. Perairan timur Sulawesi akhirnya ditenangkan bagi penguasa kolonial.



----------------------------------
Ditulis ulang
Oleh: Bhre Polo
Sumber: 

Komentar