Brunei Darussalam atau Brunei adalah negara berdaulat di Asia Tenggara yang berbentuk Monarki Absolut Islam, dan dipimpin oleh seorang Sultan.
Para peneliti sejarah telah mempercayai terdapat sebuah kerajaan lain sebelum berdirinya Kesultanan Brunei kini, yang disebut orang Tiongkok sebagai Po ni atau Bo ni.
Catatan orang Tiongkok dan orang Arab menunjukkan bahwa kerajaan perdagangan kuno ini ada di muara Sungai Brunei awal abad ke-7 atau ke-8.
Kerajaan itu memiliki wilayah yang cukup luas meliputi Sabah, Brunei dan Sarawak yang berpusat di Brunei.
Bo ni dalam teks Tiongkok kemungkinan merujuk pada seluruh Borneo, dan diklaim oleh pemerintah lokal sebagai Brunei. Hubungan diplomatik awal antara Borneo (Bo ni 渤泥) dan Tiongkok dicatat dalam Taiping huanyu Ji 太平環宇記 (978 Masehi), yang ditulis oleh seorang sarjana yang bernama Yue Shi 樂史(930-1007), mencatat tentang sistem politik serta geografi pada periode dinasti Tang (618–907 M).
Catatan awal yang merujuk Bo ni dalam sumber Bahasa Mandarin kemungkinan besar mengacu pada Kalimantan bagian barat, juga diklaim oleh otoritas lokal untuk menyebut Brunei. Sementara Po li 婆利, mungkin terletak di Sumatera.
Kerajaan awal ini pernah ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Sumatra pada awal abad ke-9 Masehi dan seterusnya menguasai Borneo utara dan gugusan kepulauan Filipina.
Kerajaan ini juga pernah menjadi taklukan (vazal) Kerajaan Majapahit yang berpusat di pulau Jawa. Sampai pada abad ke-14 masehi, Brunei tampaknya tunduk pada Pulau Jawa.
Hal ini terlihat didalam naskah Jawa Negarakrtagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi, menyebutkan kata "Burune(ng)/Barune" yang merujuk pada Kerajaan Brunei sebagai negara Melayu yang telah tunduk dengan Majapahit, seperti pada pupuh 14(1) berikut;
Alih aksara:
"...Kadaɳdanan i landa len ri samdaɳ tirm tan kasah, ri sedu buruneɳ ri kalka saluduɳ ri solot / pasir, baritw i sawaku muwah ri tabaluɳ ri tuñjuɳ kute, lawan ri malano makapramukha ta ri tañjuɳpuri...".
Alih bahasa:
"...Kadandangan, Landa Samadang dan Tirem tak terlupakan Sedu, Burune (ng), Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei, Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura...".
Selain itu, Sumber lain juga menyebutkan bahwa asal mula nama Brunei
berasal dari bahasa sansekerta “Varunai” yang semula diambil dari kata
sansekerta “Varunadvipa” yang berarti Pulau Kalimantan.
Kekuasaan Majapahit tidaklah lama karena setelah Hayam Wuruk (1350-1389 M) wafat, Brunei membebaskan diri dan kembali sebagai sebuah negeri yang merdeka dan menjadi pusat perdagangan penting.
Karena tidak ada sumber lokal mengenai bukti keberadaan Kerajaan Brunei, catatan dari Tiongkok telah digunakan untuk melihat sejarah awal Brunei.
Kerajaan ini awalnya dikuasai oleh raja Hindu yang kemudian berpindah keyakinan menjadi Muslim.
Periode Islam
Catatan awal
Memahami sejarah Kerajaan Brunei, cukup sulit karena hampir tidak disebutkan dalam sumber-sumber kontemporer pada masanya, serta kurangnya bukti tentang sifat dan sistem pemerintahan nya. Tidak ada sumber lokal atau asli yang memberikan bukti untuk semua ini.
Catatan awal mengenai Borneo yang merujuk pada Brunei, dibuat oleh seorang Italia yang bernama Ludovico Di Varthema (1470-1517 M), dalam buku "Itinerario de Ludouico de Varthema Bolognese", yang diterbitkan di Roma, 1510 Masehi. Dia memberikan sedikit penjelasan ketika sekitar tahun 1505 Masehi, dia berganti kapal di Borneo yang merujuk pada Muara, Brunei, setelah perjalanan nya dari Maluku, untuk menuju ke Jawa.
Menyusul kehadiran Portugis setelah jatuhnya kerajaan Malaka (sekitar 1511 Masehi), para pedagang Portugis berdagang secara teratur dengan Brunei dari tahun 1530 Masehi dan melalui Tome Pires menggambarkan ibu kota Brunei yang dikelilingi oleh tembok batu.
Tome Pires dalam catatannya “The Suma Oriental of Tome Pires” menyebut, perjalanan perdagangan Islam menyebar dari Malaka ke Tiongkok, kemudian ke Maluku, setelah itu ke Jawa, dan kembali ke Malaka.
Pusat-pusat perdagangan berada di Makassar, Gresik, Demak, Banten, dan kota-kota lain di sebelah barat.
Kemudian, saat angin di Laut Cina Selatan bertiup ke utara di setiap bulan Juni hingga Agustus, para pedagang pun berlayar ke Ayuthia, Muangthai (saat ini Thailand), Tiongkok, dan negeri-negeri di utara.
Dengan tersebarnya para pedagang Malaka, tersebar pula ajaran Islam. Di pusat-pusat perdagangan, muncul kerajaan-kerajaan Islam baru yang kemudian berperan besar dalam Islamisasi di wilayah-wilayah lain hingga ke kawasan terpencil.
“Puncak Islamisasi terjadi abad ke-15 sampai 18 Masehi". Justru, ketika Malaka lumpuh, muncul Aceh, Banten, Makassar, dan Cirebon.
Selain di Kepulauan Indonesia, Islam pun menyebar lewat jalur perdagangan ke beberapa negara Asia Tenggara. Islam memantapkan diri di Brunei Darussalam saat pedagang terusir oleh monopoli Portugis yang menyerang kawasan pusat perdagangan di Semenanjung Malaya.
Mereka memasuki Kepulauan Indonesia kemudian sebagian di antaranya mendatangi kawasan pantai utara Kalimantan.
Diperkirakan, penguasa lokal Brunei memeluk Islam pada 1514-1521 M. Abad ke-15 Masehi, di Brunei berdiri kesultanan Islam yang memiliki kota pelabuhan penting bagi pedagang Tiongkok, India, dan Arab.
Raja Brunei saat itu diperkirakan memiliki hubungan kerabat dengan Kesultanan Johor, pewaris Malaka.
Identitas Melayu tumbuh kuat di sana. Kesultanan Brunei pun mengambil peran dalam penyebaran Islam ke wilayah lain, terutama Filipina.
Di Abad ke-15 Masehi, Kesultanan Brunei mencakup wilayah pantai utara Kalimantan hingga Filipina, termasuk Sabah, Sarawak (sekarang milik Malaysia), serta Sulu dan Luzon (Filipina).
Periode Sultan Muhammad Shah (1363-1402 M)
Sultan Muhammad Shah (k. 1363-1402 M) ialah seorang raja Islam Brunei yang pertama, yang sebelumnya bernama Awang Alak Betatar, dengan gelar Sang Aji (raja). Ia menikah dengan seorang puteri dari kerajaan Johor, Puteri Dayang Pinggai. Ia mewarisi Naubat, Nakara, Ganta, dan Minangkabau, Negeri Andalas.
Puteri dari perkawinannya, bernama Puteri Ratna Dewi menikah dengan Ong Sum Ping (kemudian dikenal dengan nama Pengeran Maharaja Lela), seorang keturunan bangsawan Tiongkok.
Pada tahun 1371 Masehi, ia mengirimkan utusan ke Kekaisaran Dinasti Ming, di mana catatan Tiongkok menyebutnya dengan nama Ma-ha-mo-sha.
Sultan Muhammad Shah wafat pada tahun 1402 Masehi.
Abdul Majid Hassan (1380–1408 M)
Abdul Majid Hassan (1380–1408 M), yang juga dikenal sebagai Maharaja Karna, diduga adalah Sultan Brunei kedua. Kemungkinan, dia naik tahta pada tahun 1402 Masehi.
Ada catatan lain di Tiongkok, berkaitan dengan utusan dari Bo ni. Negara yang namanya tercatat pada pencatatan awal Dinasti Ming sebagai "Bo ni" itu merupakan sebuah negara bagian di Pulau Kalimantan.
Pada saat kedatangan raja mereka ke Nanjing, "Bo ni" memiliki sejarah kontak yang panjang dengan Tiongkok, setelah mengirim utusan selama dinasti Song Utara(Hanzi: 北宋, 960–1127 M).
Pada tahun ketiga, pemerintahan kaisar Hongwu atau dikenal pula Zhu Yuanzhang (1328-1398 M), Dinasti Ming (1368-1644 M), mengirim Pejabat kekaisaran Zhang Jingzhi dan pejabat Fujian, Shen Zhi ke Bo ni dalam misi diplomatik.
Sekembalinya ke Tiongkok, Raja Bo ni mengirimkan utusannya bersama dengan dua pejabat Tiongkok tersebut.
Maharaja Karna naik takhta pada 1402 Masehi, dan mengirim utusannya ke Tiongkok untuk memberi penghormatan kepada Kaisar Yongle (1402-1424 M) pada 1405 Masehi.
Sebagai imbalannya, Kaisar memberikan mandat dan segel kekaisaran kepada Raja, dan sangat senang, serta memutuskan untuk mengucapkan terima kasih yang tulus secara langsung.
Maka ia tiba di provinsi Fujian melalui laut, bersama dengan istri, anak laki-laki dan beberapa kerabat lainnya, dan mereka mendapat sambutan hangat dari pejabat lokal yang diutus oleh pemerintah pusat.
Pada Agustus 1408 Masehi, Maharaja Karna dan rombongannya mencapai ibu kota Kerajaan Ming, Nanjing, untuk Bertamu ke istana kekaisaran.
Akan tetapi, dia jatuh sakit setelah tinggal di Nanjing selama lebih dari sebulan, Dan kemudian meninggal, dalam usia 28 tahun di kediamannya pada bulan lunar kesepuluh tahun itu.
Kaisar Yongle menangguhkan pengadilan di kerajaan nya selama tiga hari, kemudian mengirim pejabat untuk menyampaikan rasa duka yang mendalam atas meninggalnya Raja Bo ni, dan menganugerahkan gelar anumerta "Tangguh" padanya.
Penguasa Bo ni tersebut dimakamkan di luar Andemen di Shizigang, yang berada di bagian selatan Nanjing, dengan prosesi pemakaman mengikuti adat tradisional Tiongkok.
Periode Sultan Ahmad (1408-1425 M)
Ahmad dari Brunei (juga dikenal sebagai Awang Pateh Berbai atau Pateh Berbai ) adalah Sultan Brunei kedua. Dia adalah saudara dari sultan pertama, Muhammad Shah dari Brunei.
Dia naik tahta pada 1408 Masehi dan mengubah namanya menjadi Ahmad.
Dia adalah Pengeran Bendahara (Wazir) pertama di Brunei, dan kemudian diberi gelar Pengeran Bendahara Seri Maharaja Permaisuara.
Dia menikah dengan adik perempuan Ong Sum Ping (juga dikenal sebagai Pengeran Maharaja Lela).
Sultan Ahmad wafat pada 1425 Masehi, sementara putranya, Sayyid Nakhoda Perkasa Angging (Maharaja Addin) adalah Maharaja Brunei di Sulu.
Maka, ia digantikan oleh menantunya, Sultan Seri Ali atau Sharif Ali, Sufi Berkat yang agung.
Periode Sultan Sharif Ali (1425-1432 M)
Sharif 'Alī ibn ' Ajlan bin Rumaithah bin Muhammad ( Arab : الشريف علي ابن عجلان ابن رميثة ابن محمد ) (juga dikenal sebagai Barkat Ali atau Berbahagialah Ali ) adalah Sultan ketiga dari Brunei, dan anak dari Sultan kedua dari Brunei, Sultan Ahmad. Ia juga seorang sarjana keturunan Arab, berasal dari Ta'if, di Hijaz.
Sultan Sharif Ali adalah keturunan Imam Hassan ibn Ali.
Selain itu, Sharif Ali menjabat sebagai Emir/Syarif Mekah, dan bergelar "Al-Amir Sharif 'Alī bin Sharif' Ajlan bin Sharif Rumaithah bin Sharif Muhammad Abu Numā'ī Al-Awwal" ( bahasa Arab : الأمير الشريف علي بن الشريف عجلان بن الـشـريـف رمـيـثـة بـن الـشـريـف مـحـمـد أبـو نـمـائي الأول ), pada periode 1375–1394 M, ketika Abbasiyah kedua memerintah.
Sultan Sharif Ali adalah nenek moyang keluarga kerajaan Brunei dan Sulu.
Syarif Ali naik tahta pada tahun 1425 M, setelah Sultan Ahmad wafat tanpa meninggalkan keturunan laki-laki.
Namun, pengukuhan Syarif 'Ali tak melulu datang dari keluarga kerajaan Sultan Ahmad.
Baik warga Brunei maupun penasehat kerajaan sepakat bahwa Syarif Ali menjadi Sultan, karena pengetahuannya yang mendalam tentang Islam.
Jasanya dalam menyebarkan Islam terkait dengan posisinya sebagai seorang raja 'ālim ( bahasa Arab : عَـالِـم ,' sarjana ') di Brunei, pada masa pemerintahan Sultan Ahmad.
Oleh karena itu, pernikahannya dengan Puteri Ratna Kesuma, putri Sultan Ahmad, bertujuan untuk memperkuat posisinya sebagai sultan dan ulama.
Dia adalah Sultan Brunei pertama yang tidak memiliki hubungan silsilah dengan mantan Sultan Kerajaan.
Syarif Ali memerintah Brunei menurut prinsip-prinsip Islam, dan karena itu dianggap sebagai penguasa yang sangat saleh.
Karena popularitasnya, ia dijuluki "Sultan Berkat". Dia adalah sultan pertama yang membangun Masjid, dan membentengi pertahanan Brunei dengan memerintahkan rakyatnya untuk membangun benteng dan kota Batu.
Setelah kematiannya pada tahun 1432 Masehi, ia digantikan oleh putranya Sulaiman .
Periode Sultan Sulaiman (1432-1485 M)
Sultan Sulaiman ibn 'Ali ibn' Ajlan ( bahasa Arab : الـسـلـطـان سـلـيـمـان ابـن عـلي ابـن عـجـلان ) adalah Sultan Brunei keempat menurut Silsilah Raja-Raja Berunai.
Dia menggantikan ayahnya pada 1432 Masehi dan memerintah sampai turun takhta pada 1485 Masehi, untuk mengizinkan putranya Bolkiah menjadi Sultan.
Pada masa pemerintahannya, ia meneruskan warisan ayahnya dalam memperkuat penyebaran Islam dan pembangunan Kota Batu. Dia juga dikenal sebagai Raja Tua. Menurut tradisi lisan, umur sultan dikatakan lebih dari 100 tahun.
Dalam Boxer Codex, dia dikenal sebagai Soliman oleh orang Spanyol.
Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1511 Masehi. Batu nisannya terletak di Jalan Subok, Brunei. Prasasti batu nisan Sultan Sulaiman menyebutkan nama sultan dan tanggal wafatnya.
Periode Sultan Bolkiah ke-5 (1485-1524 M)
Bolkiah adalah Sultan Brunei ke-5. Naik tahta setelah ayahnya, Sultan Sulaiman turun tahta, dan memerintah Brunei dari tahun 1485-1524 M.
Pemerintahannya menandai Zaman Keemasan Brunei dan menjadikan Kesultanan tersebut menjadi negara adidaya di kepulauan Melayu.
Bolkiah sering bepergian ke luar negeri untuk mendapatkan ide-ide baru bagi perkembangan negara, serta mencari saran dari berbagai kepala suku. Dikatakan bahwa namanya disimpan oleh ayahnya setelah marga Ba 'Alawi Sayyid Ba-Awalqhiyyah yang telah menguasai sebagian besar kerajaan Hadhramaut di Yaman.
Selama pemerintahan Bolkiah, Sultan ke-5 ini, memegang kendali atas wilayah pesisir barat laut Kalimantan (sekarang Brunei, Sarawak dan Sabah) dan mencapai Kesultanan Tondo(1450-1589 M), Kesultanan Maynila [(Seludong); 1500–1571 M], Kesultanan Sulu (1457–1917 M) termasuk bagian dari pulau Mindanao.
Kemenangan Sultan Bolkiah atas Seludong ( Manila modern ), dengan mengalahkan Rajah Suko dari Tondo, Luzon dan juga pernikahannya dengan Laila Menchanai, putri Sultan Amir Ul-Ombra Yang merujuk Sultan Kamal Ud-Din(1480 - 1505 M), Sehingga memperluas pengaruh Kesultanan Brunei di Filipina.
Pada abad ke-16, pengaruh Kesultanan Brunei meluas sampai ke delta Sungai Kapuas di Kalimantan Barat.
Kesultanan Sambas di Kalimantan Barat dan Kesultanan Sulu di Filipina Selatan secara khusus mengembangkan hubungan dinasti dengan keluarga Kesultanan Brunei.
Sultan Melayu lainnya dari Pontianak, Samarinda sampai Banjarmasin, memperlakukan Sultan Brunei sebagai pemimpin mereka.
Sifat asli hubungan Brunei dengan Kesultanan Melayu lainnya di pesisir Kalimantan dan kepulauan Sulu masih menjadi bahan kajian, apakah itu negara bawahan, aliansi, atau hanya hubungan seremonial. Pemerintahan daerah lain juga menjalankan pengaruhnya atas kesultanan ini.
Kesultanan Banjar (sekarang Banjarmasin) misalnya, juga berada di bawah pengaruh Kesultanan Demak di Jawa.
Kemunduran Kerajaan Brunei
Pada akhir abad ke-17, Brunei memasuki masa kemunduran yang disebabkan oleh perselisihan internal atas suksesi kerajaan, ekspansi kekuatan kolonial Eropa, dan pembajakan atau perompakan.
Kesultanan Brunei kehilangan sebagian besar wilayahnya karena kedatangan kekuatan barat seperti Spanyol di Filipina, Belanda di Kalimantan Selatan dan Inggris di Labuan, Sarawak, dan Kalimantan Utara.
Pada Tahun 1839, James Brooke dari Inggris datang ke Serawak dan menjadi raja di sana serta menyerang Brunei, sehingga Brunei kehilangan kekuasaannya atas Serawak. Sebagai balasan, ia dilantik menjadi gubernur dan kemudian "Rajah" Sarawak di Barat Laut Borneo sebelum meluaskan kawasan di bawah pemerintahannya. Pada tanggal 19 Desember 1846, pulau Labuan dan sekitarnya diserahkan kepada James Brooke. Sedikit demi sedikit wilayah Brunei jatuh ke tangan Inggris melalui perusahaan-perusahaan dagang dan pemerintahnya sampai wilayah Brunei kelak berdiri sendiri di bawah protektorat Inggris sampai berdiri sendiri tahun 1984.
Pada masa yang sama, Persekutuan Borneo Utara Britania sedang meluaskan penguasaannya di Timur Laut Borneo. Pada tahun 1888, Brunei menjadi sebuah negeri di bawah perlindungan kerajaan Britania dengan mengekalkan kedaulatan dalam negerinya, tetapi dengan urusan luar negara tetap diawasi Britania. Pada tahun 1906, Brunei menerima suatu lagi langkah perluasan kekuasaan Britania saat kekuasaan eksekutif dipindahkan kepada seorang residen Britania, yang menasihati baginda Sultan dalam semua perkara, kecuali yang bersangkut-paut dengan adat istiadat setempat dan agama.
Pada tahun 1959, Brunei mendeklarasikan kerajaan baru yang berkuasa memerintah kecuali dalam isu hubungan luar negeri, keamanan dan pertahanan di mana isu-isu ini menjadi tanggung jawab Britania. Percobaan untuk membentuk sebuah badan perundangan pada tahun 1962 terpaksa dilupakan karena terjadi pemberontakan oleh partai oposisi yaitu Partai Rakyat Brunei yang ingin menyatukan negara Brunei, Sarawak dan North Borneo menjadi Negara Kesatuan Borneo Utara, tetapi dengan bantuan Britania, pemberontakan ini berhasil diberantas. Pada akhir 1950 dan awal 1960, kerajaan Brunei ketika itu menolak rencana (walaupun pada awalnya menunjukkan minat) untuk bergabung dengan Singapura, Sabah, Sarawak, dan Tanah Melayu untuk membentuk Malaysia dan akhirnya Sultan Brunei ketika itu berkehendak untuk membentuk sebuah negara yang merdeka.
Pada 1967, Omar Ali Saifuddin III telah turun dari takhta dan melantik putra sulungnya Hassanal Bolkiah, menjadi Sultan Brunei ke-29. Baginda juga berkenan menjadi Menteri Pertahanan setelah Brunei mencapai kemmerdekaan penuh dan disandangkan gelar Paduka Seri Begawan Sultan.
Pada tahun 1970, pusat pemerintahan negeri Brunei Town, telah diubah namanya menjadi Bandar Seri Begawan untuk mengenang jasa baginda. Baginda mangkat pada tahun 1986.
Pada 4 Januari 1979, Brunei dan Britania Raya telah menandatangani Perjanjian Kerjasama dan Persahabatan.
Pada 1 Januari 1984, Brunei Darussalam telah berhasil mencapai kemerdekaan sepenuhnya.
Saat ini Brunei memiliki wilayah yang lebih kecil daripada masa lalu, dengan berbatasan dengan Serawak dari sebelah barat sampai timur wilayah itu, serta sebelah utara berbatasan dengan Laut Tiongkok Selatan.
--------------------------
Oleh: Bhre Polo
Sumber:
Komentar
Posting Komentar