Sejarah Peradaban Filipina, bisa dikatakan berawal dari kawasan Luzon, yang hari ini dikenal dengan kawasan 'Laguna de Bay'. Secara umum, perkembangan tersebut terbagi menjadi periode Prasejarah, periode kerajaan Hindu-Buddha, periode kerajaan Muslim, periode Kolonial Spanyol dan periode Kolonial Amerika.
Sebelumnya, kawasan Filipina memiliki hubungan perdagangan dengan Kalimantan, Malaya, Jawa, India, Okinawa, Jepang dan Tiongkok, sebelum Spanyol dan akhirnya Amerika menetapkan kekuasaan mereka.
Periode Prasejarah
Bukti pertama dari penggunaan sistematis teknologi Zaman Batu di Filipina diperkirakan berasal dari sekitar 50.000 SM, dan fase dalam perkembangan masyarakat proto-Filipina ini dianggap berakhir dengan munculnya perkakas logam pada sekitar 500 SM, meskipun perkakas batu terus digunakan setelah tanggal tersebut.
Namun, penemuan baru di Luzon, khususnya di Liwan, Kalinga, menemukan perkakas batu yang diberi tanggal melalui uji kalium argon paling lama 920.000 tahun, dan paling sedikit 750.000 tahun.
Sisa-sisa manusia paling awal yang diketahui di Filipina adalah sisa-sisa fosil yang ditemukan pada tahun 2007 oleh Armand Salvador Mijares di Gua Callao, Peñablanca, Cagayan.
Penemuan itu adalah sisa-sisa berusia 67.000 tahun yang mendahului Manusia Tabon, yang ditemukan pada tahun 1962 oleh Robert Bradford Fox.
Secara khusus, temuan itu terdiri dari satu metatarsal 61 milimeter, bila diberi tanggal menggunakan ablasi seri uranium, ditemukan setidaknya berusia sekitar 67.000 tahun.
Jika terbukti secara definitif sebagai sisa-sisa Homo sapiens, karena ada kepastian bahwa Manusia Callao adalah Homo Luzonensis, itu akan mendahului sisa-sisa manusia Tabon yang berusia 47.000 tahun, menjadi sisa-sisa manusia paling awal yang diketahui di Filipina, dan salah satu sisa-sisa manusia tertua di Asia Pasifik.
Teori utama seputar migrasi Callao Man dan orang-orang sezamannya ke Luzon dari apa yang diyakini sebagai Indonesia saat ini adalah bahwa mereka datang dengan rakit.
Perlu dicatat bahwa perkiraan waktu ini terjadi, menurut para ahli, sebelum manusia dianggap mampu melakukan perjalanan jauh melintasi laut. Juga telah dicatat bahwa Callao Man bisa saja menyeberang ke Filipina melalui jembatan darat. Hal tersebut karena pada saat itu, merupakan periode yang dikenal sebagai Zaman Es dan permukaan laut lebih rendah. Karena permukaan laut yang lebih rendah, mungkin ada Tanah Genting antara Filipina dan Asia Tenggara lainnya.
Perlu dipahami, Penambangan di Filipina dimulai sekitar 1000 SM, akan tetapi dengan Penemuan jarum kuningan di Gua Musang, Cagayan, sekitar tahun 2160 SM (perkiraan pembuatan jarum), menunjukkan lain.
Pengrajin logam dari era ini telah mengembangkan versi mentah dari proses metalurgi modern, terutama pengerasan besi lunak melalui karburisasi.
Namun, tidak seperti pola umumnya, tidak ada pergeseran ke alat tembaga atau perunggu sebelum alat besi, dari batu ke besi.
Periode Hindu-Buddha
Sejak abad ke-3, masyarakat Tondo telah mengembangkan budaya yang didominasi oleh masyarakat Hindu dan Budha. Mereka diperintah oleh seorang Lakan (dipilih oleh para datu), yang termasuk kasta dari Maharlika, adalah feodal kelas prajurit, masyarakat Tagalog kuno di Luzon, diterjemahkan dalam bahasa Spanyol sebagai Hidalgo, yang berarti warga kehormatan atau libres (budak atau keturunan yang dibebaskan). Mereka berasal dari kelas bangsawan lebih rendah, yang mirip dengan Timawa dari Visayans.
Namun, dalam bahasa Filipina modern, istilah itu sendiri secara keliru berarti "bangsawan kerajaan", yang sebenarnya terbatas pada kelas Maginoo, secara turun-temurun.
Kerajaan Tondo (900an–1589 M)
Kerajaan Tondo (Filipina: Kaharian ng Tondo; Baybayin: Pre-Kudlit: Templat: Script/Baybayin (Lusu), Post-Kudlit: Templat: Script/Baybayin; Bahasa Kapampangan Indonesia: Kota ning Tundo; Bikol: Kahadean ini Tundo; Ilocano: Pagarian ti Tondo; Hanzi: 東都; Pinyin: dōngdū; Melayu: Kerajaan Tundun), yang juga disebut sebagai Tundo, Tundun, Tundok, Tung-lio, Lusung, atau Tondo Kuno, adalah sebuah mandala yang terletak di kawasan Teluk Manila, khususnya utara Sungai Pasig, di pulau Luzon.
Kerajaan Tondo terdiri dari provinsi Pampanga, Bulacan, Bataan, Zambales, Nueva Ecija, Tarlac dan Pangasinan yang pada dasarnya adalah Dataran Tengah Luzon.
Bukti awal adanya kerajaan Tondo bisa dilihat dalam Prasasti tembaga Laguna (900 M), yang juga menyebutkan salah satunya tentang Tondo. Berikut alih aksara nya:
"...Swasti Syaka warsatita 822 Waisaka masa di(ng) jyotisa. Caturthi Krisnapaksa somawara sana tatkala Dayang Angkatan lawan dengan nya sanak barngaran si Bukah anak da dang Hwan Namwaran dibari waradana wi shuddhapattra ulih sang pamegat senapati di Tundun barja(di) dang Hwan Nayaka tuhan Pailah Jayadewa...".
Alih bahasanya:
"...Swasti. Tahun Syaka 822, bulan Waisakha, menurut penanggalan. Hari keempat setelah bulan mati, Senin. Di saat ini, Dayang Angkatan, dan saudaranya yang bernama si Bukah, anak-anak dari Sang Tuan Namwaran, diberikan sebuah dokumen pengampunan penuh dari Sang Pemegang Pimpinan di Tundun (Tondo sekarang), diwakili oleh Sang Tuan Nayaka dari Pailah (Pila sekarang), Jayadewa...",
Kemudian kalimat kedua dalam alih aksara:
"...Di krama dang Hwan Namwaran dengan dang kayastha shuddha nu diparlappas hutang da walenda Kati 1 Suwarna 8 di hadapan dang Huwan Nayaka tuhan Puliran Kasumuran...",
Dalam alih bahasa:
Atas perintahnya, secara tertulis, Sang Tuan Namwaran telah dimaafkan sepenuhnya dan dibebaskan dari hutang-hutangnya sebanyak satu Katî dan delapan Suwarna di hadapan Sang Tuan Puliran Kasumuran di bawah petunjuk dari Sang Tuan Nayaka di Pailah.
Sedangkan kalimat ketiga dalam alih aksara:
"...dang Hwan Nayaka tuhan Pailah barjadi ganashakti. Dang Hwan Nayaka tuhan Binwangan barjadi bishruta tathapi sadana sanak kapawaris ulih sang pamegat dewata [ba]rjadi sang pamegat Medang dari bhaktinda diparhulun sang pamegat...",
Dalam alih bahasa:
"...Oleh karena kesetiaannya dalam berbakti, Sang Tuan (Yang Terhormat) yang termasyhur dari Binwangan mengakui semua kerabat Namwaran yang masih hidup, yang telah diklaim oleh Sang Penguasa Dewata, yang diwakili oleh Sang Penguasa Medang...".
Terdapat beberapa penjelasan dalam Ketiga kalimat dalam prasasti perunggu Laguna diatas, diantaranya adalah:
a. Berkaitan tentang pemberian dokumen pembebasan hutang anak keturunan Serta keluarga dari Namwaran yang berada di Tundun(Tondo), Filipina sekarang.
b. Pemberian dokumen tersebut dikarenakan jasa-jasa Namwaran terhadap suatu kerajaan yang merujuk terhadap kerajaan Medang(732–1016 M) di Jawa.
c. Pemberi dokumen pembebasan hutang tersebut diwakili oleh Pejabat Nayaka dari Pilah yang bernama Jayadewa. Perlu diketahui bahwa jika Nayaka tersebut merujuk pada sebuah jabatan, maka pada periode Majapahit, jabatan tersebut tugasnya adalah sebagai petugas penarik pajak.
Kerajaan Tondo dibangun pada pusat rute perdagangan regional kuno yang telah lama ada di sepanjang kepulauan tersebut, yang menginisiasikan hubungan diplomatik dan komersial dengan Tiongkok pada masa Dinasti Ming (1368-1644 M) setelah keruntuhan Dinasti Yuan-Mongol.
Kemudian, kerajaan tersebut menjadi sebuah kekuatan perdagangan di seluruh Asia Tenggara dan Asia Timur. (Lihat Luções).
Seperti yang tercatat dalam Ming shilu, yang menyebutkan 22 catatan tentang Luzon, diantaranya tentang utusan Dari Tondo yang datang ke Tiongkok.
Jadi jelaslah bahwa para penguasa Tondo diakui bukan hanya sebagai kepala suku, tetapi sebagai kerajaan.
Hal ini memperkuat dugaan dalam perdagangan di seluruh Asia Tenggara dan Asia Timur pada saat itu.
Bukti paling awal dari perdagangan antara Tondo dan Tiongkok berupa temuan tembikar dan porselen yang berasal dari Dinasti Tang (618-907 M) dan Song (960-1279 M), yang ditemukan di Luzon.
Kerajaan Lupah Sug (sekitar abad ke-12 sampai 1405 M)
Dalam sejarah Filipina, Lupah Sug ( Jawi : سوگ; Sūg ) adalah negara pendahulu sebelum berdirinya Kesultanan Sulu.
Wilayah Sulu waktu itu disebut Lupah Sug dan diperintah oleh Indianised Hindu kerajaan dari Maimbung, dihuni oleh orang Buranun (atau Budanon, secara harfiah berarti 'gunung-penghuni'), pertama kali diperintah oleh seorang tertentu rajah yang diasumsikan judul 'Rajah Sipad' yang Lebih Tua.
Menurut Majul, asal muasal gelar rajah sipad berasal dari Hindu sri pada, yang melambangkan kekuasaan.
Kerajaan dilembagakan dan diatur menggunakan sistem kerajaan. Sipad yang Lebih Tua digantikan oleh Sipad yang Lebih Muda.
Sebelum kesultanan berdiri, orang Tausug hidup dalam komunitas yang disebut banwa.
Setiap banwa dipimpin oleh seorang pemimpin yang dikenal sebagai panglima bersama dengan dukun yang disebut mangungubat.
Panglima biasanya adalah seorang pria dengan kepemimpinan politik dan fisik yang kuat di antara masyarakat.
Seorang penyembuh bisa jadi pria dan wanita, dan mereka mengkhususkan diri dalam menghubungi alam spiritual. Para tabib juga dibebaskan dari mempraktikkan pernikahan tradisional karena mereka sering melakukan hubungan sensual dengan sesama jenis, ciri umum di banyak suku di seluruh kepulauan Filipina dan Kalimantan utara pada masa pra-Islam dan pra-Kristen.
Setiap banwa dianggap sebagai negara merdeka, sama dengan negara kota di kawasan lain di Asia.
Tausug (suku suluk) pada masa itu memiliki hubungan perdagangan dengan tetangga Tausug banwas lainnya, Digap dari Melayu, Yakan dari Basilan, dan Sama- Bajau yang nomaden.
Pada masa pemerintahan Sipad Muda, seorang mistik bernama Tuan Mashā′ikha tiba di Jolo pada tahun 1280 M.
Sedikit yang diketahui tentang asal-usul dan biografi awal Tuan Masya'ikha, kecuali bahwa ia adalah seorang Muslim "yang datang dari negeri asing" sebagai pemimpin armada pedagang Muslim, atau ia dibawa ke menjadi dari tangkai dari bambu dan dianggap sebagai nabi, sehingga dihormati oleh orang-orang.
Menurut tarsila, pada saat kedatangan Tuan Mashā′ikha, masyarakat Maimbung menyembah kuburan dan batu dalam bentuk apa pun.
Setelah mendakwahkan Islam di daerah tersebut, ia menikahi putri Sipad yang Muda, Idda Indira Suga dan melahirkan tiga orang anak: Tuan Hakim, Tuan Pam dan 'Aisha. Tuan Hakim, selanjutnya, melahirkan lima anak.
Dari silsilah Tuan Mashā′ikha, sistem tituler aristokrasi lain yang disebut "tuanship" dimulai di Sulu. Selain Idda Indira Suga, Tuan Mashā′ikha juga menikah dengan "wanita tak dikenal" lainnya dan melahirkan Moumin.
Tuan Mashā′ikha meninggal pada 710 H (setara dengan 1310 M), dan dimakamkan di Bud Dato dekat Jolo, dengan prasasti Tuan Maqbālū.
Kerajaan Caboloan (sekitar 1406–1576 M)
Caboloan (juga dieja Kaboloan ; Pangasinan: Luyag na Caboloan), catatan Cina menyebutnya Feng-chia-hsi-lan (Cina :馮 嘉施蘭; pinyin: Féngjiāshīlán ; Pe̍h-ōe-jī: Pâng-ka- si-LAN), adalah kerajaan berdaulat pra-kolonial Di Filipina. Terletak di wilayah subur Agno, dengan banyak daerah aliran sungai, serta ibukotanya berada di Binalatongan.
Pada abad ke-16, pemukiman pelabuhan Agoo di Pangasinan disebut "Pelabuhan Jepang" oleh Spanyol.
Penduduk setempat mengenakan pakaian khas kelompok etnis maritim Asia Tenggara lainnya selain sutra Jepang dan Tiongkok. Bahkan orang biasa pun dibalut pakaian katun Tiongkok dan Jepang.
Mereka juga menghitamkan gigi dan tidak menyukai gigi putih orang asing, yang disamakan dengan gigi binatang.
Mereka menggunakan gerabah porselen khas rumah tangga Jepang dan Cina. Senjata mesiu ala Jepang juga ditemukan dalam pertempuran laut di daerah tersebut.
Sebagai imbalan atas barang-barang ini, para pedagang dari seluruh Asia datang untuk berdagang terutama untuk emas dan budak, serta kulit rusa, musang, dan produk lokal lainnya.
Selain jaringan perdagangan yang lebih luas dengan Jepang dan Cina, mereka secara budaya mirip dengan kelompok Luzon lainnya di selatan, terutama kelompok Kapampangan.
Periode Islam
Regional Tondo selanjutnya memuncak selama periode perdagangan terkait dengan kesultanan Brunei, Sultan Bolkiah ke-5, dan mengalami puncaknya ketika tahun 1515 Masehi, sultan menyerang Tondo dan mendirikan kota-negara bagian Kota Selurong (istilah Tagalog) di selatan Sungai Pasig sebagai negara bagian Brunei.
Hal ini diriwayatkan melalui orang-orang suku Tausug (suku Sulu) dan sejarah kerajaan Melayu, di mana Seludong, Saludong atau Selurong, merujuk pada kota Manila/Maynila sebelum penjajahan Spanyol.
Kesultanan Sulu (1457-1917 M)
Kesultanan Sulu adalah sebuah pemerintahan Muslim yang pernah suatu masa dahulu menguasai Laut Sulu di Filipina Selatan. Kesultanan ini didirikan pada tahun 1450 Masehi.
Pada zaman kegemilangannya, negeri ini telah meluaskan perbatasannya dari Mindanao hingga bagian timur negeri Sabah (sekarang di mejadi bagian dari Sabah dan Kalimantan Utara).
Wilayah Kesultanan Sulu saat ini pernah berada di bawah pengaruh Kekaisaran Brunei sebelum memperoleh kemerdekaannya sendiri pada tahun 1578 masehi.
Setelah itu, permukiman paling awal yang diketahui di daerah ini segera ditempati oleh kesultanan yang berada di Maimbung, Jolo. Pada waktu ini, Sulu dipanggil dengan nama kerajaan Lupah Sug [en] (sekitar abad ke-12 sampai 1405 M).
Pada tahun 1380 Masehi, seorang ulama keturunan Arab, Karim ul-Makdum memperkenalkan Islam di Kepulauan Sulu. Kemudian tahun 1390 Masehi, Raja Bagindo yang berasal dari Minangkabau melanjutkan penyebaran Islam di wilayah ini. Hingga akhir hayatnya Raja Bagindo telah meng islamkan masyarakat Sulu sampai ke Pulau Sibutu.
Sekitar tahun 1450 Masehi, seorang Arab dari Johor yaitu Sharif ul-Hashim Syed Abu Bakr tiba di Buansa, Sulu, yang kemudian menikah dengan Paramisuli, putri Raja Bagindo. Setelah kematian Raja Bagindo, Abu Bakr melanjutkan pengislaman di wilayah ini.
Pada tahun 1457 Masehi, kesultanan Sulu memproklamirkan berdirinya Kesultanan Sulu dan memakai gelar "Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashim Abu Bakr". Gelar "Paduka" adalah gelar setempat yang berarti tuan, sedangkan "Mahasari" bermaksud Yang Dipertuan.
Pada tahun 1703 Masehi, Kesultanan Brunei meng-anugerahkan bagian timur Sabah kepada Kesultanan Sulu atas bantuan mereka menumpas pemberontakkan di Brunei.
Pada tahun yang sama, Kesultanan Sulu menganugerahkan Pulau Palawan kepada Sultan Qudarat dari Kesultanan Maguindanao sebagai hadiah perkawinan Sultan Qudarat dengan puteri Sulu dan juga sebagai hadiah persekutuan Maguindanao dengan Sulu.
Sultan Qudarat kemudian menyerahkan Palawan kepada Spanyol.
Kesultanan Manila (1500-1571 M)
Kerajaan Manila (juga disebut Kota Seludong) adalah gabungan kerajaan-kerajaan Islam yang pernah memerintah kawasan Manila, Philipina.
Manila saat itu adalah negeri Islam paling utara di Nusantara dan menjalinkan hubungan dekat dengan Kesultanan Brunei, Kesultanan Sulu dan Kesultanan Ternate.
Islam datang di Manila Sekitar tahun 1565 Masehi mengikuti pedagang-pedagang Melayu dari Indonesia.
Pada pertengahan abad ke 16 Masehi, terdapat tiga raja yang memerintah kawasan ini, yaitu:
a. Raja Matanda (1521-1572 M)
Rajah Ache ( Abecedario : Rája Aché diucapkan Aki ), lebih dikenal dengan gelarnya Rajah Matanda atau Rajah Layah (1480–1572 M), adalah salah satu penguasa Manila, sebuah pemerintahan Tagalog India pra-kolonial di sepanjang Sungai Pasig, sekarang Manila, Filipina.
Ache memerintah Manila, bersama dengan Rajah Sulaiman, beserta sepupu mereka, Lakan Dula, yang merupakan penguasa Tondo.
Mereka adalah tiga "penguasa tertinggi" yang berkaitan dengan ekspedisi yang dilakukan oleh López de Legazpi (1502-1572 M) ketika mereka tiba di daerah delta Sungai Pasig pada awal tahun 1570-an Masehi, dan akhirnya membuat pakta perdamaian.
b. Rajah Sulaeman (1571–1575 M)
Rajah Sulaeman, kadang-kadang disebut sebagai Sulaeman III ( Sansekerta : स्ललैअह्, Arab : سليمان, Abecedario : Sulaiman ) (1558-1575 M), adalah rajah dari Manila, negara Tagalog Muslim di bagian selatan dari Sungai Pasig delta, yang tercatat ketika ekspedisi Spanyol tiba pada awal tahun 1570-an Masehi.
Manila sudah dipengaruhi oleh kerajaan tetangga di Asia Tenggara. Daerah itu sudah menjadi tempat perdagangan dari Tiongkok, Siam dan tempat-tempat lain.
Penjelajah Spanyol Miguel López de Legazpi, mencari tempat yang cocok untuk mendirikan ibukotanya setelah pindah dari Cebu ke Panay karena klaim Portugis atas kepulauan tersebut, mengirim Martín de Goiti dan Juan de Salcedo dalam ekspedisi ke utara, yaitu ke Luzon setelah mendengar cerita tentang kerajaan makmur di sana.
Goiti berlabuh di Cavite dan membangun otoritasnya dengan mengirimkan "pesan persahabatan" ke negara bagian di sekitar Sungai Pasig.
Sulaeman, yang telah diberi wewenang atas permukiman ini oleh Rajah Matanda yang sudah tua, bersedia menerima "persahabatan" dari Spanyol. Namun, dia menolak untuk menyerahkan kedaulatannya, dan tidak punya pilihan selain berperang melawan tuntutan para pendatang baru.
Akibatnya, Goíti dan pasukannya menyerbu kerajaan pada bulan Juni 1570 Masehi, menjarah dan membakar kota besar sebelum kembali ke Panay.
Setelah pertempuran sengit, Sulaeman dan anak buahnya terpaksa melarikan diri ke atas bukit. Setelah orang Spanyol pergi, penduduk asli kembali.
Pada tahun 1571 masehi, Spanyol kembali dengan seluruh pasukannya yang terdiri dari 280 orang Spanyol dan 600 sekutu pribumi, kali ini dipimpin oleh Legazpi sendiri.
Melihat orang-orang Spanyol mendekat, penduduk asli membakar kota dan melarikan diri ke Tondo. Mereka menduduki reruntuhan Maynila dan mendirikan pemukiman di sana.
Pada tanggal 19 Mei 1571, Legazpi memberikan gelar "kota" kepada koloni Manila, yang disertifikasi pada tanggal 19 Juni 1572 Masehi.
Seorang pemimpin Kapampangan dari suku Macabebe, yang kemudian diidentifikasi dengan nama Tarik Sulaiman, menolak untuk tunduk kepada orang Spanyol.
Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kepala suku Maynila, Tondo (Lakandula, Matanda), Pada tanggal 3 Juni 1571, Tarik Sulaiman, didukung oleh Rajah Sulaeman, memimpin pasukannya menyusuri Sungai Pampanga dan bertempur di teluk Bangkusay, lepas pelabuhan Tondo.
Kapal-kapal Spanyol yang dipimpin oleh Martin de Goiti diperintahkan untuk diikat dua-dua yang menciptakan formasi massa yang kokoh, dan sepertinya menjadi sasaran empuk. Kapal perang pribumi terpikat oleh tipuan ini dan mereka mengepung Spanyol.
Spanyol, yang dikelilingi oleh perahu-perahu penduduk asli, melepaskan tembakan dan armada asli itu tersebar dan dihancurkan.
Spanyol mencatat bahwa Tarik Sulaiman meninggal selama Pertempuran Bangkusay tahun 1571 Masehi tersebut, yang mengakibatkan mundurnya Macabebe dan kemenangan dipihak Spanyol.
Ketika López de Legazpi meninggal pada tahun 1572 Masehi, penggantinya, Gubernur Jenderal Guido de Lavezaris (1512-1582 M), tidak menghormati kesepakatan Spanyol dengan Rajah Sulaeman dan Lakan Dula. Dia mengasingkan properti kedua raja dan mentolerir kekejaman Spanyol.
Sebagai tanggapan, Rajah Sulaeman dan Lakan Dula memimpin pemberontakan di desa Navotas pada tahun 1574 Masehi, memanfaatkan kebingungan yang ditimbulkan oleh serangan bajak laut Tiongkok, Limahong.
Limahong, seseorang yang berasal dari Korea Selatan dan panglima perang Tiongkok, secara singkat menyerbu pemerintahan setelah kegagalannya dalam Pertempuran Manila (1574 M). Dia kemudian mendirikan wokou (persekutuan bajak laut Jepang dan Cina) di Pangasinan.
Namun demikian, Juan de Salcedo (1549-1576 M) yang lahir di Meksiko dengan pasukannya yang merupakan gabungan dari orang-orang Tagalog, Visayan dan Latino, kemudian menyerang dan menghancurkan kerajaan bajak laut tersebut, membebaskan orang Pangasinan dan kemudian memasukkannya dalam wilayah pemerintahan Spanyol Hindia Timur.
Kembali ke pertempuran yang sering disebut sebagai "Pertempuran Teluk Manila Pertama" tahun 1574 Masehi.
Friar Geronimo Marín dan Juan de Salcedo ditugaskan untuk melakukan pembicaraan damai dengan kerajaan. Dan akhirnya Rajah Sulaeman dan Lakan Dula menyetujui perjanjian damai Salcedo dan aliansi dibentuk antara kedua kelompok.
c. Raja Lakandula (1521-1571 M)
Lakandula ( Baybayin : ᜎᜃᜈ᜔ᜇᜓᜎ , Abecedario : Lácandólá ) adalah nama Pemimpin dari Lakan terakhir (penguasa terpenting), dari Tondo pra-kolonial ketika Spanyol pertama kali menaklukkan tanah di delta Sungai Pasig di Filipina pada tahun 1570-an Masehi.
Catatan dari Notaris Kerajaan Spanyol, Hernando Riquel
mengatakan bahwa ia memperkenalkan dirinya ke dalam bahasa Spanyol sebagai "Sibunao Lacandola", yang menunjukkan kepada sejarawan Filipina kemudian bahwa nama aslinya adalah "Bunao".
Namun, kata Lakan yang dalam bentuk Tagalog saat ini berarti pria, adalah gelar yang setara dengan pangeran yang berarti dia adalah Pangeran Dula. Dia kemudian menjadi Kristen dan dibaptis Carlos Lacandola. Variasi umum lainnya dari nama ini adalah Gat Dula ( atau dieja sebagai satu kata, Gatdula ).
Dia terkadang secara keliru disebut sebagaiRajah Lakandula, tetapi istilah "Rajah" dan "Lakan" memiliki arti yang sama, dan dalam domain ini digunakan gelar asli Lakan, sehingga penggunaan "Rajah" dan "Lakandula" pada saat yang sama menjadi mubazir dan keliru.
Bersama dengan Rajah Matanda dan Rajah Sulaiman, dia adalah salah satu dari tiga penguasa yang memainkan peran penting dalam penaklukan Spanyol atas pemerintahan delta Sungai Pasig selama hari-hari awal masa kolonial Spanyol di Filipina.
Meskipun tidak jelas apakah seluruh nama "Lakandula" mewakili satu nama tituler selama hidupnya sendiri, beberapa keturunannya dalam beberapa generasi pertama setelah kematiannya menyebut diri mereka sebagai "Lakandula Tondo", mengambil nama itu sebagai gelar yang mulia.
Kesultanan Maguindanao (1520-1905 M)
Kesultanan Maguindanao adalah sebuah pemerintahan Melayu Islam yang memerintah sebagian Mindanao di Filipina selatan.
Pada masa keemasannya, kesultanan ini memerintah seluruh Mindanao dan juga pulau-pulau yang berdekatan.
Pada zaman adat, ada dua bersaudara bernama Mamalu dan Tabunaway, yang hidup damai di Mindanao tepatnya di lembah Cotabato.
Ketika Shariff Kabungsuwan mendakwahkan Islam di daerah itu pada abad ke-16, Tabunaway pindah agama, sementara Mamalu memutuskan untuk berpegang teguh pada kepercayaan para tetua mereka.
Saudara-saudara berpisah setelah itu; Tabunaway ke dataran rendah dan Mamalu ke pegunungan, tetapi mereka bersumpah untuk menghormati kekerabatan mereka, dan dengan demikian pakta perdamaian tak tertulis antara Muslim dan masyarakat adat ditempa melalui dua bersaudara.
Shariff Mohammed Kabungsuwan dari Johor memperkenalkan Islam di daerah tersebut, yang sebelumnya dipengaruhi Hindu sejak zaman Sriwijaya, pada akhir abad ke-16 dan menetapkan dirinya sebagai Sultan yang duduk di Malabang-Lanao. Mereka mengasingkan sebagian kaumnya yang menyimpang dari keyakinan Islam ke Cotabato.
Dia kemudian menikah dengan banyak putri lokal dari kelas penguasa keluarga Maguinadanao di Dulawan dan mendirikan Kesultanan Maguindanao yang duduk di Slangan (bagian Barat dari Cotabato sekarang) dan secara virtual sebagai Sultan dari seluruh pulau yang disebut Mindanao. Kesultanan biasanya berpusat di lembah Cotabato.
Asraf Mohamad Samalan Dipatuan Qudratullah Fahar'uddin Nasiruddin, yang lebih dikenal dengan sebutan Qudarat dan pada masa mudanya bernama Ullah Untong, adalah salah satu sultan terbesar yang menguasai Mindanao.
Di tempat perlindungan pulau di Sulu, ia dikenal sebagai Sultan Nasiruddin dan merupakan Sultan di pulau itu yang diakui oleh Sultan Sulu dan makamnya masih berdiri di sana.
Abd al-Rahman, cucunya, terus meningkatkan kekuasaan dan pengaruh Kesultanan.
Kesultanan Maguindanao juga memiliki hubungan yang erat dengan Kesultanan Ternate, Kesultanan berbahasa Papua di wilayah Maluku, Indonesia. Kesultanan Tersebut secara teratur mengirim bala bantuan militer ke Maguindanao selama Perang Spanyol-Moro.
Selama masa penjajahan Spanyol, Kesultanan Maguindanao mampu mempertahankan wilayahnya, mencegah orang Spanyol menjajah seluruh Mindanao dan menyerahkan pulau Palawan kepada pemerintah Spanyol pada tahun 1705 masehi. Biarawan pulau diserahkan kepadanya oleh Sulu Sultan Sahabuddin. Hal ini untuk membantu mencegah perambahan Spanyol ke pulau Maguindanao dan Sulu sendiri.
Gong Tiongkok, kuning sebagai warna bangsawan dan idiom yang berasal dari Tiongkok masuk ke Mindanao.
Royalti dihubungkan dengan warna kuning. Warna kuning digunakan oleh Sultan di Mindanao. Peralatan makan dan gong Tiongkok diekspor ke Moro.
Pedagang Tiongkok dengan tenang tinggal di samping Moro di Maguindanao.
Periode Kolonial Spanyol 1521-1898 M
Sejarah Filipina dari tahun 1521-1898 Masehi, juga dikenal sebagai periode kolonial Spanyol, sebuah periode dengan jangka waktu selama Kapten Jenderal Filipina yang terletak di gugusan Kepulauan di Asia Tenggara dijajah oleh Spanyol yang dikenal sebagai "Las Islas Filipinas", di bawah Spanyol Baru hingga kemerdekaan Meksiko yang mengakibatkan penguasaan langsung Madrid atas daerah tersebut.
Daerah ini juga dikenal sebagai Hindia Timur Spanyol bagi penjajah. Dimulai dengan kedatangan penjelajah Eropa Ferdinand Magellan tahun 1521 Masehi yang berlayar untuk Spanyol, menandai periode ini ketika Filipina menjadi koloni Kekaisaran Spanyol, dan diakhiri dengan pecahnya Revolusi Filipina pada tahun 1898, yang menandai awal era kolonial Amerika dalam sejarah Filipina.
Periode Magellan (1480-1521 M)
Meskipun kepulauan ini mungkin telah dikunjungi sebelumnya oleh Portugis (yang menaklukkan Kota Melaka pada tahun 1511 Masehi dan mencapai Kepulauan Maluku pada tahun 1512 Masehi), ekspedisi bangsa Eropa ke Filipina terawal yang terdokumentasi adalah yang dipimpin oleh Ferdinand Magellan, dalam pengabdian kepada raja Spanyol.
Tetapi sebelum mereka pergi ke Samar dan Leyte, mereka pergi ke Cebu tetapi mereka tidak melintasinya, melihat pegunungan Samar pada waktu fajar tanggal 16 Maret 1521 Masehi, melakukan pendaratan keesokan harinya di pulau kecil yang tidak berpenghuni di Homonhon di muara Teluk Leyte.
Pada Minggu Paskah, 31 Maret 1521 Masehi, di Mazaua (saat ini diyakini sebagai Pulau Limasawa di Leyte Selatan) sebagaimana dinyatakan dalam Primo Viaggio Intorno El Mondo (Pelayaran Pertama Mengelilingi Dunia) dari Antonio Pigafetta, Magellan dengan khidmat menancapkan salib di puncak sebuah bukit yang menghadap ke laut dan menyatakan kepemilikan pulau-pulau yang dilihatnya untuk raja Spanyol, menamai mereka Archipelago of Saint Lazarus (Kepulauan Santo Lazarus).
Magellan menaklukkan dan mencari aliansi di antara penduduk asli yang dimulai dengan Datu Zula, kepala suku Sugbu (kini Cebu), dan memiliki kebanggaan khusus dalam mengalihkan keyakinan agama mereka ke agama Katolik.
Ekspedisi Magellan terlibat dalam persaingan politik antara penduduk asli Cebuano dan mengambil bagian dalam pertempuran melawan Lapu-lapu, kepala suku Pulau Mactan dan musuh bebuyutan Datu Zula pada tahun 1521 Masehi, yang dikenal dengan nama 'Perang Mactan'.
Dan dalam pertempuran tersebut, Magellan sendiri tewas terbunuh oleh Datu Lapulapu, sedangkan delapan belas anggota kru dan armadanya berhasil kembali ke Spanyol pada tahun 1522 Masehi.
Periode Legazpi (1502–1572 Masehi)
Miguel López de Legazpi juga dikenal sebagai El Adelantado (Gubernur) dan El Viejo (Senior), adalah seorang conquistador Basque Spanyol yang mendirikan salah satu pemukiman Eropa pertama di Hindia Timur, dan Kepulauan Pasifik pada 1565 Masehi.
Setelah mengadakan perjanjian perdamaian dengan berbagai suku pribumi, López de Legazpi menjadikan Kepulauan Filipina ibu kota Hindia Timur Spanyol pada 1571 Masehi.
Periode Gubernur Jenderal Guido de Lavezaris (1512-1581 M)
Guido de Lavezaris adalah Gubernur Jenderal Spanyol kedua di Filipina. Ia menggantikan Miguel López de Legazpi pada tahun 1572 Masehi sebagai gubernur, dan digantikan oleh Francisco de Sande pada tanggal 25 Agustus 1575 Masehi.
Selama menjadi gubernur, ia mengarahkan keponakan Legazpi, Juan de Salcedo, untuk pergi ke bagian utara Luzon bersama dengan sekitar 100 tentara Spanyol dan menaklukkan Ilocos yang sekarang dan mendirikan Villa Fernandina.
Lavezaris juga menaklukkan semenanjung Camarines dan memberikan encomiendas yang luas kepada para jenderal setianya.
Pada tahun 1574 Masehi, ia mengalahkan perompak Tiongkok yang terkenal bernama Limahong ketika pembajak tersebut berusaha untuk menjajah Filipina.
Pada tahun 1575 Masehi, biarawan Spanyol Martín de Rada mengajukan pengaduan kepada Raja Philip II dari Spanyol terhadap Lavezaris, yang menyebabkannya dicopot dari jabatannya. Dia dilaporkan menyalahgunakan kekuasaan dan memaksakan upeti yang lebih tinggi kepada penduduk asli.
Periode Francisco de Sande (1540 -1602 M)
Francisco de Sande Picon adalah gubernur Spanyol ketiga dan kapten jenderal untuk Filipina dari 25 Agustus 1575-April 1580 Masehi. Ia mendirikan Royal City of Nueva Cáceres, sekarang dikenal sebagai Kota Naga.
Salah satu tindakan advokasi politik pertamanya adalah membubarkan encomiendas besar-besaran orang Spanyol kaya di Filipina.
Pada tahun 1576 Masehi, Francisco de Sande mengeluarkan dekrit yang melarang semua pejabat yang ditunjuk oleh Kerajaan untuk memiliki encomiendas yang awalnya untuk Indios. Ia juga mendirikan kota Nueva Cáceres, provinsi Camarines Sur, wilayah Bicol, Pulau Luzon, pulau terbesar dari sekitar 7.107 pulau (di bawah Administrasi Spanyol hingga 1898, selama 350–370 tahun), Kepulauan Filipina.
Beberapa tahun kemudian, prelatus Spanyol dan Dominika Domingo de Salazar (1512–1594 M) diminta membuat biara untuk Dominikan; ini diberikan oleh Sande melalui dekrit kerajaan Raja Philip II.
Pada masanya, para pendeta Augustinian yang pertama tiba di Manila pada tanggal 1 Juli 1577, datang dari Acapulco , Meksiko. Selain itu Juga pada tahun 1577 Masehi, Gereja San Agustin didirikan di kota yang sama.
Francisco de Sande juga menugaskan ekspedisi ke Kalimantan pada tahun 1578 Masehi, di mana Kesultanan Jolo (Sulu) menjadi pengikut Spanyol melalui perjanjian damai yang ditandatangani di Río Grande de Mindanao.
Pada tahun yang sama, ia menyerang Kalimantan, dan sultan dari kesultanan itu (sekarang Brunei ) tunduk pada pejabat Spanyol di Manila.
Ia juga menunjukkan keinginan kuat untuk menaklukkan Maluku dari Portugis serta Tiongkok.
Pada 1579 Masehi, Francisco de Sande mengirim ekspedisi lagi, dipimpin oleh Kapten Gabriel de Ribera ke Mindanao dan Jolo , untuk mengamankan penyerahan Moro ke otoritas Spanyol. Dia pergi ke Rio Grande untuk menemukan apa pun kecuali sisa-sisa desa yang ditinggalkan oleh penduduk setempat.
Dia kemudian mendirikan benteng untuk desa-desa dan pergi ke utara untuk menenangkan para pemberontak Butuanons.
Sekembalinya ke Luzon, Ribera bertemu dengan beberapa penduduk asli dari Jolo dengan sedikit penghormatan, mengatakan bahwa mereka tidak memiliki apa-apa untuk diberikan kepada orang Spanyol sejak Estevan Portugis Rodriguez de Figueroa baru-baru ini menyerang pemukiman mereka.
Pada tahun yang sama, ia menyangkal keinginan para Fransiskan, setelah menempuh jarak sekitar 19.000 km. bepergian, untuk masuk ke Tiongkok, menyebarkan agama Katolik. Orang Tiongkok tertegun ketika beberapa dari mereka tidak mematuhi Otoritas Sipil Spanyol Manila dan tiba di kota perdagangan Portugis yang sangat terkontrol di Macao, di mana mereka menemukan bahwa mereka tidak membawa senjata, uang atau barang untuk ditukar.
Tetapi hanya beberapa perangkat liturgi religius untuk mereka gunakan sendiri dan buku-buku Katolik.
Francisco de Sande juga menjadi auditor di Audiencia of Mexico .
Periode Kolonial Amerika 1889
Sejarah Filipina dari tahun 1898 sampai 1946 dimulai dengan pecahnya Perang Spanyol-Amerika pada bulan April 1898, ketika Filipina masih merupakan bagian dari Hindia Timur Spanyol, dan diakhiri ketika Amerika Serikat secara resmi mengakui kemerdekaan Republik Filipina pada tanggal 4 Juli 1946.
Ketika penandatangan Perjanjian Paris pada tanggal 10 Desember 1898, Spanyol menyerahkan Filipina kepada United States.
Perjanjian Paris (10 Desember 1898)
Perjanjian Paris 1898, ditandatangani pada 10 Desember, 1898, mengakhiri Perang Spanyol-Amerika.
Perjanjian kontroversial ini merupakan subyek perdebatan dalam Senat AS selama musim dingin 1898-1899, dan dia disetujui pada 6 Februari, 1899 oleh sebuah pilihan-tunggal dengan selisih 52 banding 27 (Senat harus menyetujui perjanjian dengan dua per tiga mayoritas), hanya dengan 2 Republikan menentang.
Menurut perjanjian tersebut, Amerika Serikat membayar Spanyol AS $20 juta untuk kepemilikan Guam, Puerto Riko, dan Filipina yang telah berpikir untuk membebaskan diri mereka dari pemerintahan kolonial yang kemudian memerangi Amerika Serikat dalam Perang Filipina-Amerika.
Puerto Riko dan Guam juga di bawah kuasa Amerika, dan Spanyol melepas klaimnya terhadap Kuba.
Kekalahan ini menutup Kekaisaran Spanyol di Filipina, dan menandakan awal periode kuasa kolonial Amerika Serikat.
Revolusi Filipina (1899- 1946)
Perang Filipina–Amerika adalah antara Republik Filipina Pertama dan Amerika Serikat yang terjadi antara 1899 sampai paling tidak 1902. Perang ini terjadi karena perjuangan politik Filipina yang menentang pendudukan AS terhadap Filipina, perang ini dimulai pada tanggal 2 Februari 1899.
Meskipun konflik ini diumumkan berakhir pada 1902, pasukan kolonial Amerika tetap melanjutkan permusuhan terhadap sisa-sisa Angkatan Bersenjata Filipina dan kelompok penentang lainnya sampai 1913, dan beberapa sejarawan menganggap perpanjangan ini sebagai bagian dari perang.
Pada 7 Juli 1892, Andrés Bonifacio, seorang penjaga gudang dan juru cata dari Manila, mendirikan Katipunan, sebuah organisasi rahasia yang bertujuan untuk meraih kemerdekaan dari kolonial Spanyol dengan cara revolusi bersenjata. Katipunan menyebar ke banyak provinsi, dan Revolusi Filipina pada 1896 dipimpin oleh para anggotanya.
Meskipun Bonifacio seorang yang berkarisma dan bisa mengambil keputusan, tetapi dia dikalahkan Spanyol dalam pertempuran yang dia pimpin, termasuk pertempuran besar pertama di San Juan del Monte, Manila (sekarang Pinaglabanan).
Pejuang di provinsi Cavite mendapatkan kemenangan awal. Salah satu pemimpin yang berpengaruh dan populer adalah Emilio Aguinaldo, yang menguasai sebagian besar timur Cavite. Akhirnya, Aguinaldo dan faksinya mendapatkan kuasa dalam Katipunan.
Katipunan akhirnya dikuasai oleh pemerintahan yang revolusioner, di mana Aguinaldo dipilih menjadi presiden, dan Bonifacio dieksekusi karena pengkhianatan.
Konflik antara Bonifacio dan Aguinaldo menjadi hal yang kontroversial bagi para sejarawan Filipina.
Nick Joaquin berpendapat bahwa Revolusi 1896 yang dipimpin oleh Cavitenos dibedakan dari pemberontakan Bonifacio yang gagal di Manila.
Sejarawan lainnya seperti Teodoro Agoncillo dan Milagros C. Guerrero mencatat bahwa Bonifacio mengatur Katipunan menjadi sebuah pemerintahan dengan dia sebagai presiden. Pemerintahannya disebut Republika ng Katagalugan.
Sejak tahun 1901, pemerintahan militer digantikan oleh pemeritahan sipil yakni Pemerintahan Insular Kepulauan Filipina, dengan William Howard Taft menjabat sebagai Gubernur Jenderal yang pertama. Dari tahun 1901 sampai 1906 terdapat juga serangkaian pemerintahan revolusioner yang kurang memiliki pengakuan diplomatik international penting.
Setelah pengesahan Akta Kemerdekaan Filipina pada tahun 1934, sebuah pemilihan presiden Filipina diselenggarakan pada tahun 1935. Manuel L. Quezon terpilih dan dilantik menjadi Presiden Filipina yang kedua pada tanggal 15 November 1935. Pemerintahan Insular dibubarkan dan Persemakmuran Filipina terwujud. Persemakmuran Filipina ini dimaksudkan untuk menjadi sebuah pemerintahan transisi sebagai persiapan untuk pencapaian penuh kemerdekaan negara pada tahun 1946.
----------------------
Oleh: Bhre Polo
Sumber:
Komentar
Posting Komentar