Secara administratif bekas Pelabuhan Buleleng terletak di wilayah Kelurahan Kampung Bugis, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng. Kelurahan Kampung Bugis merupakan daerah dataran, relatif dekat dengan laut, sehingga memiliki kontur wilayah yang datar.
Sejarah perkembangan kawasan Pelabuhan Buleleng dapat dibagi menjadi tiga tahap periodisasi, yakni : Periode kerajaan, periode kolonial dan Periode kemerdekaan.
Pada periode kerajaan, kawasan Pelabuhan Buleleng merupakan kawasan yang berada dalam kekuasaan Kerajaan Buleleng (1660-1848 M).
Dalam tata ruang tradisional Bali, kawasan pelabuhan yang berada di daerah pantai utara Buleleng dianggap sebagai kawasan nista (kotor).
Keberadaan pemukiman di kawasan Pelabuhan Buleleng dimulai pada abad ke-17 Masehi, ketika pelaut-pelaut Bugis dari Makasar datang ke tempat ini.
Hubungan yang baik dengan pihak Kerajaan Buleleng dan penduduk pribumi membuat orang-orang Bugis tersebut diberikan lahan bermukim di daerah pantai utara Buleleng yang pada perjalanannya berkembang menjadi Pelabuhan Buleleng. Selain menjadi nelayan, keberadaan orang-orang Bugis di wilayah ini juga dimanfaatkan oleh Raja Buleleng sebagai armada laut karena keahlian mereka melaut.
Perkembangan selanjutnya pada saat pemerintah Hindia Belanda menguasai Pulau Bali pada tahun 1846 dan menjadikan Kota Singaraja sebagai pusat pemerintahan di Bali, maka dibangunlah berbagai fasilitas kota, termasuk diantaranya adalah Pelabuhan Buleleng. Selain membuat pelabuhan Pemerintah Hindia Belanda juga membuat jalan utama baru menuju pelabuhan.
Keberadaan jalan ini telah mempengaruhi tata ruang tradisional Buleleng, yaitu mengubah akses kota yang berpusat pada catus pata (perempatan agung) menjadi kantor Pemerintah Hindia Belanda. Keberadaan tata kota yang baru ini memudahkan Pemerintah Hindia Belanda untuk dapat memantau aktivitas di pelabuhan.
Pelabuhan Buleleng pada masa Pemerintahan Hindia Belanda merupakan pintu gerbang utama Pulau Bali. Berbagai fasilitas pelabuhan dibangun, seperti : dermaga, gedung, terminal, kantor pabean, jembatan yang menyeberangi Sungai Buleleng dibangun di kawasan ini.
Pesatnya pertumbuhan kawasan pelabuhan membuat perkampungan nelayan Bugis bergeser dari kawasan ini, kawasan pelabuhan diutamakan sebagai kawasan pergudangan untuk distribusi barang.
Aktifitas yang ramai di Pelabuhan Buleleng memberi pengaruh pada kawasan di sekitar pelabuhan yang mulai menjadi kawasan perdagangan.
Deretan pertokoan mulai bermunculan di kawasan ini, sebagai sarana jual beli barang distribusi pelabuhan.
Pertokoan ini sebagian besar dimiki oleh kaum dari etnis China, yang memang terkenal sebagai bangsa pedagang.
Semua distribusi barang dari dan keluar Bali melalui pelabuhan ini, sebagian besar hasil ternak dan hasil bumi dari Bali diekspor ke Malaka dan Hongkong melalui Pelabuhan Buleleng.
Banyak kapal-kapal besar berlabuh di dekat Pelabuhan Buleleng sebagai penghubung kota-kota pelabuhan di nusantara, seperti Semarang dan Makasar, serta kota-kota di Sunda Kecil, seperti Ampenan dan Kupang.
Kondisi kedalaman laut di daerah ini yang tidak terlalu dalam sehingga walaupun telah dibuatkan dermaga kapal-kapal besar tidak dapat merapat langsung ke daratan. Kegiatan bongkar muat kapal besar dilakukan dengan bersandar di tengah laut, kemudian dengan menggunakan kapal yang lebih kecil untuk mencapai dermaga.
Pembabakan selanjutnya mengenai keberadaan Pelabuhan Buleleng ini adalah saat masuk dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, dimana kawasan ini merupakan tempat peperangan antara pasukan Belanda dan tentara nasional. Pentingnya pelabuhan ini bagi pihak Belanda membuat kawasan ini dipertahankan mati-matian oleh Belanda. Pertempuran besar pun terjadi pada tanggal 27 Agustus 1945.
Pada masa kemerdekaan Kota Singaraja sempat menjadi Ibukota Kepulauan Sunda Kecil dan Ibukota Provinsi Bali sampai tahun 1958.
Pada masa ini Pelabuhan Buleleng menjadi pusat distribusi barang dari Bali ke NTB dan NTT dan begitu sebaliknya.
Kemudian Ibukota Provinsi Bali dipindahkan ke Denpasar dan diikuti dengan perpindahan pelabuhan utama ke daerah Benoa di Denpasar.
Perpindahan Ibukota dan pelabuhan utama Provinsi Bali ini merupakan awal dari menurunnya fungsi dari Pelabuhan Buleleng.
Kegiatan bongkar muat pelabuhan tidak lagi berlangsung di kawasan ini, dan membuat Pelabuhan Buleleng ini menjadi tidak berfungsi.
Keterpurukan kawasan Pelabuhan Buleleng ini pada puncaknya terjadi pada tahun 1970-an, selain kawasan ini sudah tidak berfungsi, adanya abrasi dan kurang pedulinya masyarakat akan kebersihan lingkungan pelabuhan membuatnya dijuluki pelabuhan sampah.
Lingkungan Pelabuhan Buleleng yang dekat muara Sungai Buleleng, dimana masyarakat pada saat itu sering membuang sampah ke aliran sungai yang pada akhirnya akan mengendap di daerah pelabuhan.
Baru pada tahun 1980-an Bupati Buleleng mencanangkan program revitalisasi kawasan Pelabuhan Buleleng.
Sejak saat itu Pelabuhan Buleleng mulai mendapatkan perhatian serius dan diencanakan menjadi destinasi wisata.
Program ini cukup lama terlaksananya, dan pada akhirnya tahun 2002 terlaksana beberapa program, yang antara lain, perbaikan tepian (pembuatan talud) pantai agar lebih kuat terhadap abrasi dan pembuatan restourant apung yang memanfaatkan dermaga pelabuhan.
Pengembangan terbaru Pelabuhan Buleleng dilaksanakan pada tahun 2010, namun disayangkan pengembangan dan pemanfaatannya berujung pada pembongkaran bangunan gudang yang merupakan bangunan tua bersejarah di kawasan ini.
Sampai saat ini bangunan yang tersisa adalah satu bangunan yang dulunya dimanfaatkan sebagai kantor pabean Pemerintah Hindia Belanda.
Saat ini bangunan kantor pabean ini dimanfaatkan menjadi kantor Kelurahan Kampung Bugis. Melihat perkembangan kawasan bekas Pelabuhan Buleleng sampai saat ini, perlu kiranya juga diperhatikan kelestariannya sebagai satu-satunya pelabuhan kolonial yang ada di Bali.
-----------------------------
Oleh: Bhre Polo
Sumber:
Komentar
Posting Komentar