Perahu Juanga atau Joanga mengacu pada kora-kora atau karakoa berukuran besar. Perahu ini juga digunakan di Filipina Selatan dan Indonesia Timur, dan di Maluku ada versi yang lebih kecil.
Kata juanga dan joanga berasal dari kata "jung", yang mengacu pada beberapa jenis kapal di Asia. Retana dan Pastell menganggap nama itu diambil dari kata Cina, 'chun', yang berarti perahu. Paul Pelliot dan Waruno Mahdi menolak asal kata China untuk kata 'jung'.
Kata jong dapat ditemukan di sejumlah prasasti Jawa kuno yang berasal dari abad ke-9 Masehi. Kata ini pertama kali dicatat dalam bahasa Melayu dan bahasa Cina pada abad ke-15 Masehi, ketika daftar kata Cina mengidentifikasinya sebagai istilah Melayu untuk kapal, dengan demikian secara praktis mengecualikan asal kata Cina tersebut.
Menurut William Henry Scott istilah Joanga berasal dari kapal jong yang besar.
Menurut sebuah manuskrip yang mungkin dibuat oleh António Galvão(1490-1570 M) pada 1544 Masehi, menjelaskan bahwa Perahu Joanga dibuat dengan cara ini: Bentuk di tengah-tengah Perahu menyerupai telur (he ovedo no meio) dan kedua ujungnya melengkung ke atas.
Dengan demikian, kapal dapat berlayar maju maupun mundur. Perahu-perahu ini tidak diberi paku atau dempul. Lunas rusuk, serta linggi depan dan Iinggi belakangnya disesuaikan dan dicat dengan tali ijuk (guamuto, dalam bahasa setempat gomuto) melalui lubang yang dibuat di beberapa tempat tertentu.
Di bagian dalam terdapat bagian yang menonjol yang berbentuk cincin untuk tempat memasukkan tali pengikatnya sehingga dari luar tidak kelihatan sama sekali.
Untuk menyambung papan-papannya mereka menggunakan pena pada ujung papan lainnya dibuat lubang kecil untuk memasukkan pena tersebut. Sebelum menyambung papan-papan ini di sela-selanya diberi pena supaya air tidak dapat masuk: dengan disambung bersama-sama, papan-papan berapit-apit sehingga kelihatan seolah-olah berdiri dari satu bilah saja. Di bagian haluan dimasukkan “kayu (yang diukir) berupa ular dengan kepala naga yang bertanduk seperti kijang”.
Bilamana kapal telah selasai, sepuluh atau dua belas balok yang dikerjakan baik-baik diletakkan melintang dari lambung ke lambung. Balok-balok ini disebut ngaju, berfungsi sebagai penunjang seperti pada kapal galai, diletakkan baik-bailk sampai tidak goyah lagi. Ngaju ini menonjol ke luar di sebelah-menyebelah kapal satu, dua, atau tiga braca (1 braca kira-kira sama dengan 0,3043 meter) menurut besar kapalnya.
Di atas Ngaju ini, sejajar dengan kapal, diikatkan dua atau tiga baris bambu, yang disebut cangalha. Di tempat ini para pandayung duduk (jadi di atas air), terpisah dan pendayung lain yang berada di dalam ruang kapal.
Paling ujung dari ngaju ini terdapat beberapa kayu bercabang, yang disebut pagu, sebagai tempat mengikat bambu lain yang lebih besar dan lebih panjang, bambu ini diberi nama samsah (semah-semah, nama setempat untuk cadik), untuk menunjang jika kapal oleng.
Pada bagian ngaju yang terdapat di kapal, dibuat sebuah lantai darin rotan yang dibelah dua, semacam tingkat atas atau geladak, yang dinamakan baileo.
Apabila mereka mau berbuat jahat terhadap orang yang melayari kapal itu, yakni orang yang bersenjata, mereka dapat menyapu baileo itu bersama ngaju-nya; dan tentara tersebut jatuh ke dalam air dan tenggelam.
“Di Baileo ini dibuatkan bilik-bilik seperti toldo dan conves, yaitu bagian di kapal Portugis dahulu khusus untuk perwira dan berbaring atau duduk di atas aula, dan di sampingnya ada tempat untuk kapten, mentri, dan prajurit bersenjata. Mereka ini disebut “orang baileo”.
Di atas bilik-bilik ini ditutup dengan tikar, yang disebut kakoya, dari haluan sampai ke bagian buritan seperti tenda pada galai (como temdes de geuale) untuk tempat berteduh terhadap panas matahari dan hujan.
Para kolano bersama saudaranya dan para sangaji memakai tanda yang dibuat dari kakoya putih dan yang dinamakan papajangga, bersegi empat.
Pada tiap sudut tenda ini berkibar sebuah bendera dari bulu seperti ekor ayam, selain itu ada dua bendera lainnya di depan hampir setinggi permukaan air laut, masing-masing di kiri dan kanan, dibuat dari kain merah “yang tidak bersegi empat melainkan menyerupai lidah”. Bendera raja dikibarkan dari tiang di tengah kapal.
Selain Menulis tentang deskripsi Perahu Juanga, catatan yang diterbitkan oleh H. Jacobs, S.J. juga menjelaskan gambaran bagaimana masyarakat Maluku (Utara) membangun Perahu nya.
Juanga digunakan oleh Sultan Khairun dari Ternate untuk mengangkut pasukan dalam konflik Ternate-Portugis antara tahun 1530-1570 M.
Setelah pemberontakan di Tidore berakhir pada tahun 1722 Masehi, orang Patani dan Maba yang mengungsi ke Galela sejak tahun 1720 Masehi dipindahkan ke Salawati di kepulauan Raja Ampat dengan menggunakan total 30 juanga.
Pada 4 Juli 1726 Masehi, 17 juanga dan 6 perahu besar sarat dengan orang Papua dan Patani merapat di depan benteng Oranje dan mendarat di pemukiman Melayu di samping benteng. Dari sini masyarakat Papua dan Patani berjalan menuju istana Sultan Ternate untuk melaporkan berbagai perlakuan yang mereka alami dari para petinggi Kesultanan Tidore. VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda) mengirim pejabat untuk berbicara dengan para pembelot. Kepada pejabat VOC orang Papua dan Patani menyatakan keinginannya untuk menjadi bawahan Kesultanan Ternate dan perusahaannya. Mereka juga menuntut diperlakukan sebagai pengungsi dan dijamin keamanannya.
Pangeran Nuku pada 1804 Masehi menggunakan Juanga dalam pemberontakannya melawan Belanda (c. 1780-1810 M), untuk memobilisasi pasukan, menyerang Halmahera Utara.
--------------------
Oleh: Bhre Polo
Sumber:
Komentar
Posting Komentar