Keris tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Jawa. Bahkan, sebagaimana pernah dinyatakan oleh W.H. Rassers, masyarakat Jawa tanpa keris tidaklah lengkap ‘kejawaannya’.
Dalam pandangan hidup orang Jawa, keris atau curiga merupakan salah satu pusaka kelengkapan budaya, terlebih-lebih bagi sebuah kerajaan (keraton).
Keris termasuk jenis senjata tradisional produk budaya adiluhung yang banyak dipakai dalam upacara-upacara adat. Seakan-akan keris mewarnai berbagai kehidupan adat dan budaya Jawa sejak jaman kuna sampai pada zaman sekarang.
Oleh karena keris di dalam budaya Jawa termasuk benda-benda yang dihormati, maka keris termasuk dalam kelompok benda-benda wesi aji atau tosan aji.
Pengertian Keris berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah senjata tajam bersarung, berujung tajam, dan bermata dua (bilahnya ada yang lurus, ada yang berkeluk- keluk).
Sedangkan secara umum, pengertian keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah.
Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, sering kali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak diantaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada helai bilah.
Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik. Senjata tikam lain asli Nusantara adalah kerambit.
Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan, sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian.
Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.
Di Jawa, keris disebut dengan dhuwung atau curiga, Minangkabau menyebutnya Kerieh, Lampung dengan sebutan Terapang atau Punduk, Sulawesi dengan sebutan Sale atau Kreh, dan di Bali disebut Kadutan.
Filipina yang juga mengenal budaya keris menyebut dengan nama Sundang. Creese (Bahasa Inggris) yang dikenal secara internasional merupakan kata serapan dari bahasa Indonesia yaitu keris.
1) Sulawesi
Budaya keris ditemukan di daerah-daerah yang kini termasuk wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara. Keris Sulawesi memiliki bilah yang khas yakni mucuk bung, tanpa pinggang.
Bentuk bilah keris tidak ada yang memakai Lis-lisan, Gusen dan Kruwingan. Bahan pamor berasal dari luwu.
Bentuk gaya pembuatan Sulawesi terutama Bugis, sangat terpengaruh pada keris-keris buatan Bima dan Dampu di Nusa Tenggara Barat.
Bagi masyarakat Makasar, Bugis, Gowa dan Bone keris juga merupakan salah satu kelengkapan adat, terutama bagi golongan bangsawan.
Kalangan rakyat biasa menggunakan keris padasaat upacara-upacara tertentu atau keperluan khusus.
Keris Sulawesi juga memiliki beberapa nama lain yaitu Tappi, Selle, Gajang. Kegiatan pembuatan keris masih aktif pada akhir abad ke-19, namun merosot tajam pada tahun 1930-an ketika dunia di landa krisis moneter.
Orang Bugis, Makasar dan Gowa menyebut luk pada sebilah keris dengan istilah lamba.
2) Palembang
Palembang merupakan daerah Sumatera pertama yang menerima penyebaran budaya keris dari Pulau Jawa.
Keris Palembang dengan keris Jawa mempunyai perbedaan yaitu pesi Palembang lebih pendek dan lebih gemuk dibandingkan dengan pesi Jawa, selain mutu bilahnya yang menonjol, keris Palembang juga ditandai dengan keindahan sarung dan hulu kerisnya.
Warangka/sarung keris terbuat Keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan dari kayu trembolo dan kayu kemuning sedangkan hulu keris mengambil model Jawa demam.
3) Madura
Keris Madura memiliki ciri sendiri, bukan saja gaya penampilan bilahnya melainkan juga model warangkanya. Pulau Madura mempunyai riwayat pertumbuhan yang paling panjang dibandingkan dengan sentra-sentra produksi keris yang pernah ada di Indonesia.
Keris Madura sudah ada sejak sebelum zaman kerajaan Majapahit sampai sekarang. Empu Madura yang tenar di luar daerah kelahirannya yaitu Empu Brajaguna.
Desa Aengtong-Tong merupakan sebuah desa yang masih tetap menghasilkan keris dan merupakan desa yang memproduksi keris secara besar-besaran untuk komoditi eksport.
Aengtong-Tong mulai memprodusi keris mulai tahun 1983. Empu-empu yang masih tetap menggeluti di bidang perkerisan adalah Hoji, Jaknal, Jemhar, Jalal dan Nasit. Ukiran atau hulu keris di Pulau Madura disebut landeyan.
4) Bali
Keris di Bali sering disebut Kadutan. Ciri keris Bali adalah bilahnya panjang, lebar dan tebal dibandingkan dengan keris Jawa.
Keris Bali mempunyai warangka dan hulu keris yang khas Bali. Hulu keris disebut dengan danganan banyak sekali ragam bentuknya misal tupukan, kocet-kocetan dan rangda.
Warangka Bali lebih kreatif mulai dari penentuan ukuran mengubah sedikit bentuk untuk menyesuaikan dengan keadaan kayu dan membuat sunggingan yang disebut pradan.
Warangka terbuat dari kayu timaha atau purnama sadda, trembalo dan cendana. Hampir semua bilah mucuk bung.
Empu yang ada di Bali yang masih tetap membuat keris adalah Wayan Tika di Banjar Pande, Bangli dan Ketut Sandi.
Wayan Tika sudah lama menjadi langganan istana negara karena keris Bali sering menjadi cinderamata presiden kepada para tamu agung.
5) Surakarta
Keris di Surakarta disebut curiga atau duwung. Tahun 1978 Empu yang terkenal yaitu Ki Parman Wignyo Sukatgo mulai memproduksi menempa keris, atas dukungan Bawa Rasa Tosan Aji dan PKJT Surakarta.
Kemudian muncul Ki Fauzan Pusposukatgo yang mulai memproduksi keris pada tahun 1980. Tahun 1984 muncul bengkel kerja ASKI Surakarta, yang kemudian menjadi STSI Surakarta yang mulai memproduksi keris tahun 1984. Perbedaan yang paling menonjol antara keris Surakarta dan Yogyakarta adalah warangka dan hulu atau pegangan keris.
Warangka di Surakarta ada 2 jenis yaitu warangka gayaman dan warangka ladrang. Ciri warangka gayaman lebih panjang dan besar, sisi atas membentuk bibir di depan dan di ujung belakang melengkung ke atas.
Warangka ladrang pada bagian angkup dan godhongan sangat melengkung. Hulu atau pegangan keris Surakarta pada bagian kepala lebih besar dan melengkung ke depan.
Keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia sejak 2005.
Asal usul Keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15 Masehi, meskipun penyebutan istilah "keris" telah tercantum pada prasasti dari abad ke-9 Masehi.
Di dalam Prasasti Rukam (829 Śyaka/907 Masehi) disebut kata kris bersama-sama dengan alat-alat dari logam besi yang berfungsi untuk benda sesaji upacara penetapan tanah sima atau tanah perdikan, antara lain kapak, kapak perimbas, beliung, sabit, linggis, tatah, tajak, tombak, pisau, ketam, dan jarum.
Dalam prasasti yang lain, yakni Prasasti Wukajana (?M, sekitar abad ke-9 Masehi), juga disebut-sebut tentang keris sebagai salah satu dari kelompok ’wsi wsi prakura’ sebagai kelengkapan sesaji.
Hal tersebut sejalan dengan keterangan lain dalam prasasti-prasasti Jawa kuna bahwa pada abad ke-9 Masehi telah ada berbagai pande logam seperti: pande wsi (pande besi), pande mas (pande emas), pande tamra (pande tembaga), pande kangsa (pande perunggu) serta penyebutan pande sisinghen yang berarti tukang pembuat senjata tajam.
Namun diperkirakan asal mula penyebutan kata "keris" merupakan singkatan bahasa Jawa dari "Mlungker-mlungker kang bisa ngiris", dalam bahasa Indonesia berarti "(Benda) berliku-liku yang bisa mengiris/membelah (sesuatu)".
Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di relief candi atau patung.
Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.
Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuno dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan "jembatan" masuknya pengaruh kebudayaan Tiongkok ke Nusantara. Sejumlah keris masa kini untuk keperluan sesajian memiliki gagang berbentuk manusia (tidak distilir seperti keris modern), sama dengan belati Dongson, dan menyatu dengan bilahnya.
Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme. Prasasti Dakawu atau biasa dikenal dengan prasasti Tuk Mas (sekitar abad ke-6 Masehi) menunjukkan ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti trisula, kudhi, arit, dan keris sombro.
Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-Singasari dikenal sebagai "keris Buda", yang berbentuk pendek dan tidak berluk (lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal (prototipe) keris.
Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan dengan keris Budha dan keris sajen. Keris sajen memiliki bagian pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah keris. Dalam bahasa Jawa, "buda" artinya kuno.
Pahatan arca megalitik dan relief candi dari masa megalitikum sampai abad 10-11 Masehi, kebanyakan menampilkan bentuk-bentuk senjata tikam dan "wesi aji" lainnya yang mirip senjata dari Dongson maupun India. Bentuk senjata tikam yang diduga merupakan prototipe keris tersebut bilahnya belum memiliki kecondongan terhadap ganja sehingga bilah terkesan simetris, selain itu pada umumnya menunjukan hulu/deder/ukiran yang merupakan satu kesatuan dengan bilah (deder iras).
Yang paling menyerupai keris adalah peninggalan megalitikum dari lembah Besemah, Lahat, Sumatra Selatan dari abad 10-5 SM yang menggambarkan kesatria sedang menunggang gajah dengan membawa senjata tikam (belati) sejenis dengan keris hanya saja kecondongan bilah bukan terhadap ganja tetapi terdapat kecondongan (derajat kemiringan) terhadap hulunya. Selain itu satu panel relief Candi Borobudur (abad ke-9 Masehi) yang memperlihatkan seseorang memegang benda serupa keris tetapi belum memiliki derajat kecondongan dan hulu/deder nya masih menyatu dengan bilah.
Dari abad yang sama, prasasti Karangtengah (824 Masehi) menyebut istilah "keris" dalam suatu daftar peralatan. Prasasti Poh (904 Masehi) menyebut "keris" sebagai bagian dari sesaji yang perlu dipersembahkan. Walaupun demikian, tidak diketahui apakah "keris" itu mengacu pada benda seperti yang dikenal sekarang.
Dalam pengetahuan perkerisan Jawa (padhuwungan), keris dari masa pra-Kadiri-Singasari dikenal sebagai "keris Buda" atau "keris sombro". Keris-keris ini tidak berpamor dan sederhana. Keris Buda dianggap sebagai bentuk pengawal keris modern. Contoh bentuk keris Buda yang kerap dikutip adalah keris keluarga Knaud dari Batavia yang didapat Charles Knaud, seorang Belanda peminat mistisisme Jawa, dari Sri Paku Alam V. Keris ini memiliki relief tokoh epik Ramayana pada permukaan bilahnya dan mencantumkan angka tahun Syaka 1264 (1342 Masehi), se jaman dengan Candi Penataran, meskipun ada yang meragukan penanggalannya.
Keris Buda memiliki kemiripan bentuk dengan berbagai gambaran belati yang terlihat pada candi-candi di Jawa sebelum abad ke-11 Masehi.
Belati pada candi-candi ini masih memperlihatkan ciri-ciri senjata India, belum mengalami "pemribumian" (indigenisasi). Adanya berbagai penggambaran berbagai "wesi aji" sebagai komponen ikon-ikon dewa Hindu telah membawa sikap penghargaan terhadap berbagai senjata, termasuk keris kelak.
Meskipun demikian, tidak ada bukti autentik mengenai evolusi perubahan dari belati gaya India menuju keris buda ini.
Kajian ikonografi bangunan dan gaya ukiran pada masa Kadiri-Singasari (abad ke-13 sampai ke-14 Masehi) menunjukkan kecenderungan pemribumian dari murni India menuju gaya Jawa, tidak terkecuali dengan bentuk keris.
Salah satu patung Siwa dari periode Singasari (abad ke-13 Masehi awal) memegang "wesi aji" yang mirip keris, berbeda dari penggambaran masa sebelumnya.
Salah satu relief rendah (bas-relief) di dinding Candi Penataran juga menunjukkan penggunaan senjata tikam serupa keris. Candi Penataran (abad ke-11 sampai ke-13 Masehi) dari masa akhir Kerajaan Kadiri di Blitar, Jawa Timur.
Keris modern yang dikenal saat ini diyakini para pemerhati keris memperoleh bentuknya pada masa Majapahit (abad ke-14 Masehi) tetapi sesungguhnya relief di Candi Bahal peninggalan Kerajaan Panai/Pane (abad ke-11 Masehi), sebagai bagian dari kerajaan Sriwijaya, di Portibi Sumatra Utara, menunjukan bahwa pada abad 10-11M keris modern sebagaimana yang dikenal sekarang sudah menemukan bentuknya.
Selain itu uji karbon pada keris temuan yang berasal dari Malang Jawa Timur yang ditemukan utuh beserta hulu/dedernya yang terbuat dari tulang sehingga terhadap dedernya dapat dilakukan analisis karbon, menunjukan hasil bahwa keris tersebut berasal dari abad 10 Masehi.
Berdasarkan relief keris modern paling awal pada candi Bahal Sumatra Utara dan penemuan keris budha dari Jawa Timur yang sama- sama menunjukan usia dari abad 10 Masehi dapatlah diperkirakan bahwa pada sekitar abad 10 Masehi mulai tercipta keris dalam bentuk nya yang modern yang asimetris.
Dari abad ke-15 Masehi, salah satu relief di Candi Sukuh, yang merupakan tempat pemujaan dari masa akhir Majapahit, dengan gamblang menunjukkan seorang empu tengah membuat keris. Relief ini pada sebelah kiri menggambarkan Bhima sebagai personifikasi empu tengah menempa besi, Ganesha di tengah, dan Arjuna tengah memompa tabung peniup udara untuk tungku pembakaran. Dinding di belakang empu menampilkan berbagai benda logam hasil tempaan, termasuk keris.
Catatan Ma Huan dari tahun 1416 Masehi, anggota ekspedisi Cheng Ho, dalam "Ying-yai Sheng-lan" menyebutkan bahwa orang-orang Majapahit selalu mengenakan 'pu-la-t'ou', yang diselipkan pada ikat pinggang. Mengenai kata Pu-la-t'ou ini, meskipun hanya berdasarkan kemiripan bunyi, banyak yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah "belati", dan karena keris adalah senjata tikam sebagaimana belati maka dianggap 'pu-la-t'ou' menggambarkan keris.
Tampaknya masih harus dilakukan penelitian apakah betul pada masa majapahit keris disebut "belati" tetapi terdapat deskripsi yang menggambarkan bahwa "belati" ini adalah keris dan teknik pembuatan pamor telah berkembang baik.
Bisa jadi yang dimaksud oleh Ma Huan dengan 'Pulat'ou' adalah "Beladau". Kata 'beladau' lebih menyerupai 'Pu- La-T'ou' daripada 'belati'. Kalau benar yang dimaksud Ma Huan adalah beladau pada maka gambaran Ma Huan tentang senjata yang banyak digunakan di Majapahit ini bukan keris tetapi senjata tradisional sejenis Badik yang sekarang banyak digunakan di Sumatra yang bentuknya melengkung mirip Jambiya, meskipun senjata ini memiliki kecondongan tetapi tidak memiliki ganja dan gandik sehingga tidak dapat digolongkan sebgai keris. Anggapan bahwa yang dimaksud dengan 'Pu-La-T'ou' adalah Beladau pun masih memerlukan penelitian apakah memang pada masa majapahit masyarakat banyak memakai beladau/sejenis badik sebagai senjata.
Keris disebutkan dalam naskah Sunda dari tahun 1440 Syaka (1518 Masehi), Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII, yang menyebutkan bahwa keris adalah senjata Prabu, (raja, golongan ksatriya).
Naskah ini membagi senjata dalam masyarakat Kerajaan Sunda (932–1579 M) ke dalam tiga golongan; senjata untuk prabu (raja, menak, atau golongan ksatriya) adalah pedang, pecut, pamuk, golok, peso teundeut, dan keris; senjata untuk kaum petani adalah kujang, baliung, patik, kored, dan pisau sadap; sementara senjata kaum pendeta adalah kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, dan pakisi.
Tome Pires, penjelajah Portugis dari abad ke-16 Masehi, menyinggung tentang kebiasaan penggunaan keris oleh laki-laki Jawa. Deskripsinya tidak jauh berbeda dari yang disebutkan Ma Huan seabad sebelumnya.
Berita-berita Portugis dan Prancis dari abad ke-17 Masehi telah menunjukkan penggunaan meluas pamor dan pemakaian pegangan keris dari kayu, tanduk, atau gading di berbagai tempat di Nusantara.
Pembuatan Keris
Dalam pembuatan Keris, Logam dasar yang digunakan dalam pembuatan keris ada dua macam, yaitu logam besi dan logam pamor, sedangkan pesi keris terbuat dari baja.
Besi sebagai bahan baku pembuatan keris oleh para empu dianggap memiliki sifat dan khasiat tertentu sesuai dengan jenisnya. Jenis besi yang bersifat dan berkhasiat baik antara lain:
- Karangkijang, yang berwarna hijau kebiru-biruan seperti warna air laut, berserat halus. Besi ini dipercaya berkhasiat sabar, bijaksana, berwibawa, bagi pemiliknya;
- Purasani, berwarna hijau mengkilap seperti samberlilen, berserat halus, dan dipercaya memiliki khasiat tenteram, banyak rezeki, dihormati, dan dapat berfungsi sebagai penolak bala;
- Mangangkang lanang, berwarna hitam agak ungu, yang dipercaya memiliki khasiat yang ampuh sekali, ditakuti lawan, dicintai teman.
Sedangkan terdapat jenis besi yang dianggap berkhasiat tidak baik, diantaranya adalah:
- Randhet, berwarna putih dan keruh, kadang poleng atau belang, kalau diraba halus, namun berkhasiat membuat permusuhan, perselisihan, memecah belah pergaulan;
- Kaleman, berwarna hitam dan kasab seperti berlumut. Besi jenis ini dipercaya memiliki khasiat pemilikmya bersifat pasif, malas.
Untuk membuatnya ringan para Empu selalu memadukan bahan dasar ini dengan logam lain. Keris masa kini (nèm-nèman, dibuat sejak abad ke-20) biasanya memakai logam pamor nikel. Keris masa lalu (keris kuna) yang baik memiliki logam pamor dari batu meteorit yang diketahui memiliki kandungan titanium yang tinggi, di samping nikel, kobal, perak, timah putih, kromium, antimonium, dan tembaga. Batu meteorit yang terkenal adalah meteorit Prambanan, yang pernah jatuh pada abad ke-19 Masehi di kompleks percandian Prambanan.
Pembuatan keris bervariasi dari satu empu ke empu lainnya, tetapi terdapat prosedur yang biasanya bermiripan. Berikut adalah proses secara ringkas menurut salah satu pustaka. Bilah besi sebagai bahan dasar diwasuh atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa berulang-ulang untuk membuang pengotor (misalnya karbon serta berbagai oksida).
Setelah bersih, bilah dilipat seperti huruf U untuk disisipkan lempengan bahan pamor di dalamnya. Selanjutnya lipatan ini kembali dipanaskan dan ditempa. Setelah menempel dan memanjang, campuran ini dilipat dan ditempa kembali berulang-ulang. Cara, kekuatan, dan posisi menempa, serta banyaknya lipatan akan memengaruhi pamor yang muncul nantinya. Proses ini disebut saton.
Bentuk akhirnya adalah lempengan memanjang. Lempengan ini lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut kodhokan. Satu lempengan baja lalu ditempatkan di antara kedua kodhokan seperti roti sandwich, diikat lalu dipijarkan dan ditempa untuk menyatukan. Ujung kodhokan lalu dibuat agak memanjang untuk dipotong dan dijadikan ganja.
Tahap berikutnya adalah membentuk pesi, bengkek (calon gandhik), dan terakhir membentuk bilah apakah berluk atau lurus. Pembuatan luk dilakukan dengan pemanasan.
Tahap selanjutnya adalah pembuatan ornamen-ornamen (ricikan) dengan menggarap bagian-bagian tertentu menggunakan kikir, gerinda, serta bor, sesuai dengan dhapur keris yang akan dibuat. Silak waja dilakukan dengan mengikir bilah untuk melihat pamor yang terbentuk. Ganja dibuat mengikuti bagian dasar bilah. Ukuran lubang disesuaikan dengan diameter pesi.
Tahap terakhir, yaitu penyepuhan, dilakukan agar logam keris menjadi logam besi baja. Pada keris Filipina tidak dilakukan proses ini. Penyepuhan ("menuakan logam") dilakukan dengan memasukkan bilah ke dalam campuran belerang, garam, dan perasan jeruk nipis (disebut kamalan). Penyepuhan juga dapat dilakukan dengan memijarkan keris lalu dicelupkan ke dalam cairan (air, air garam, atau minyak kelapa, tergantung pengalaman Empu yang membuat). Tindakan penyepuhan harus dilakukan dengan hati-hati karena bila salah dapat membuat bilah keris retak.
Selain cara Penyepuhan yang lazim seperti diatas dalam penyepuhan Keris dikenal pula Sepuh jilat yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dijilati dengan lidah, Sepuh Akep yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dikulum dengan bibir beberapa kali dan Sepuh Saru yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dijepit dengan alat Sepuh Saru [kelamin wanita (Vagina)], dan yang terkenal adalah Nyi Sombro, bentuk kerisnya tidak besar tapi disesuaikan.
Pemberian warangan dan minyak pewangi dilakukan sebagaimana perawatan keris pada umumnya. Perawatan keris dalam tradisi Jawa dilakukan setiap tahun, biasanya pada bulan Muharram/Sura, meskipun hal ini bukan keharusan. Istilah perawatan keris adalah "memandikan" keris, meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minyak pewangi lama dan karat pada bilah keris, biasanya dengan cairan asam (secara tradisional menggunakan air buah kelapa, hancuran buah mengkudu, atau perasan jeruk nipis). Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi warangan bila perlu untuk mempertegas pamor, dibersihkan kembali, dan kemudian diberi minyak pewangi untuk melindungi bilah keris dari karat baru. Minyak pewangi ini secara tradisional menggunakan minyak melati atau minyak cendana yang diencerkan pada minyak kelapa.
--------------------------------------------------------------------
ditulis dan disadur
oleh: Bhre Polo
sumber:
Komentar
Posting Komentar