Menurut sumber data epigrafi, masyarakat Jawa telah mengenal pengelompokan desa-desa (konfederasi permukiman) yang dikenal dengan pola panatur desa atau panasta desa.
Dalam konfederasi tersebut, terdapat satu desa induk yang dikelilingi oleh empat atau delapan anak-desa (wanua i tpi siring) atau kelipatannya, di tiap penjuru arah mata angin. Konfederasi desa ini juga disebut mancapat.
Data arkeologi memberikan informasi bahwa bentuk permukiman di Jawa yang tertera dalam prasasti-prasasti, khususnya prasasti ihwal pemberian anugerah desa perdikan (sima), adalah ciri pokok dari pola panatur desa atau panasta desa. Sebuah konsep satuan keruangan yang terpola sedemikian rupa: posisi desa induk dan desa-desa cabang berikut elemen-elemen di sekitar desa terkonfederasi secara konsentris.
Sekilas Sejarah Desa
Dalam pola panatur desa atau panasta desa sering dijumpai jumlah/komunitas desa-desa yang mengelilingi sebuah desa induk—yang ditetapkan menjadi sima—merupakan kelipatan empat (atau delapan).
Pada saat satu desa ditetapkan menjadi sima, maka desa-desa di sekeliling yang merupakan bagian dari konfederasi ini, mengirimkan wakil-wakilnya untuk hadir sebagai saksi dalam upacara peresmian.
Data epigrafi sekurangnya mengungkapkan tiga kesatuan teritorial dari pusat hingga daerah, yaitu: rajya, watak dan wanua. Masing-masing kesatuan teritorial ini, kata Boechari, bahkan punya kelompok percandian, yang mungkin sekali dibangun dengan pola lokasi tertentu (Boechari, 2012: hlm. 288-289).
Satuan wilayah terkecil dalam wilayah administrasi kerajaan masa Mataram kuno disebut anaking wanua atau dukuh seperti terdapat dalam prasasti Poh (829 Syaka/907 Masehi).
Istilah anaking wanua di masa Airlangga (990-1049 M) disebut sebagai duwan, sebagaimana terdapat dalam prasasti Baru (952 Syaka/1030 M) (Nastiti, 2018: hlm. 24).
Di atas anakin wanua atau duwan, desa disebut wanua atau karaman. Kendati kata karaman kadang-kadang artinya sama dengan anak–wanua atau anak–thani (penduduk desa).
Di masa Raja Dharmawangsa Teguh (meninggal tahun 1010 Masehi(Locana agni vadane ) atau tahun 1016 Masehi (Sasalancana abdi vadane), mulai dikenal istilah thani, yang artinya sama dengan wanua sebagaimana dapat diihat dalam prasasti Kawambang Wulan ( 913 Syaka/991 M). Istilah thani ini kemudian menjadi umum digunakan dalam prasasti-prasasti sejak era Dharmawangsa hingga era Airlangga. Sementara kata wanua, sudah tidak dipakai, hingga tiba zaman Majapahit, ditemukan penggunaannya lagi (Nastiti, 2018: hlm. 24-25).
Adapun kumpulan dari beberapa wanua disebut watak/watek. Kumpulan dari beberapa wanua/thani ini di masa Airlangga masih disebut watek.
Namun pada masa pertengahan hingga akhir Kadiri, istilah watek berubah menjadi wisaya sebagaimana terungkap dalam prasasti Hantang (1057 Syaka/1035 Masehi) prasasti Padlegan (1038 Syaka/1116 Masehi) juga prasasti Lawadan (1127 Syaka/1205 Masehi) (Nastiti, 2018: hlm. 26).
Ringkasnya, dalam tata administrasi zaman kuno, terdapat wanua (desa) yang dipimpin oleh para rama atau tuha wanua. Sementara para rakai (raka) dan atau pamgat memegang (menguasai) wilayah lungguh (watak/wisaya).
Lungguh, luas wilayahnya serupa dengan wilayah watak. Sebab, seorang rakai atau pamgat kadang-kadang juga punya daerah watak. Meski ada sebagian yang menggunakan gelar tersebut (rakai, pamgat) tanpa dijumpai daerah watak-nya.
Menurut salah satu sumber, anak wanua dan anak thani adalah istilah bagi penduduk desa (yang berbentuk wanua atau thani).
Di Masa Airlangga, wanua telah berubah menjadi thani, sebagaimana juga di Bali masa Gunaprya Dharmapatni dan Dharmmodayana (ibu dan bapak Airlangga), ketika naik takhta, diadakan beberapa perubahan di tingkat desa, yakni munculnya istilah karaman dan thani.
Karaman berasal dari kata rama yang berarti pejabat atau ayah, kira-kira berarti kelompok para rama (pejabat desa); atau desa yang dikuasai para rama. Karaman kelak menjadi kabuyutan.
Adapun thani bisa jadi merupakan istilah baru untuk menunjuk pada komunitas desa pasca disebut wanua, tapi lebih mengarah kepada kelompok masyarakat yang sumber hidupnya bercocok tanam (Ninie Susanti, 2010: hlm.153).
Dari Prasasti Baru juga diketahui bahwa Desa Baru adalah desa induk yang berada di antara beberapa anak-desa ( i tpi siring). Setidaknya terdapat empat buah desa (wanua i tpi siring) yang termasuk dalam komando (konfigurasi) Desa Baru, yakni Dukuh Punasa, Gunung Darat, Depur dan Dukuh Pkan, yang tentu saja menunjukkan adanya sistem permukiman yang terkonfederasi.
Dalam beberapa prasasti “sistem permukiman” ini disebut dengan istilah panatur desa (mancapat) dan atau panasta desa (mancalima).
Kedua istilah ini berarti satu desa induk dikelilingi 4 atau 8 desa yang letaknya di empat penjuru mata angin (Boechari, 1976: hlm. 20; dalam Ade Latifa Soetrisno, 1988: hlm. 71).
Jadi, dari tingkat paling bawah hingga atas sistem administrasi zaman Jawa kuno terdapat wanua/thani (desa), berlanjut ke watak/wisaya (setingkat kecamatan atau kabupaten) hingga tingkat kedatuan/rajya/nagara (negara).
Meski konsep mancapat di masa Mataram Islam didaur ke dalam klasifikasi empat komponen, di antaranya adalah kraton, alun-alun, masjid, dan pasar, tanpa meninggalkan pola dan model konfigurasinya.
Sebagai contoh Kota Yogyakarta dan Surakarta, setelah kota dibelah oleh jalan yang membentang dari timur ke barat. Bagian selatan diperuntukkan bagi alun-alun, kraton, masjid; bagian utara lokasi pasar, kantor pemerintahan, penjara dan lain-lain.
Sementara poros timur dan barat adalah permukiman: timur untuk permukiman orang-orang Cina, Belanda; barat untuk permukiman pegawai-pegawai raja, kampung kauman dan saudagar-saudagar Jawa.
Keterkaitan dengan Pasar
Pasar-pasar di Jawa berlangsung sekali dalam seminggu. Sistem pasar yang bergulir setiap satu minggu sekali itu sebetulnya mengandung banyak fungsi, di antaranya untuk mendistribusikan penghasilan (yang berlebih) dari satu desa ke desa lainnya (tempat pertukaran barang). Selain fungsi kerja sama antara beberapa desa untuk menjaga keamanan.
Di beberapa kecamatan di desa-desa di Jawa terdapat hari pasaran (pancawāra) yang berjumlah 5 dalam sepekan: legi, pahing, pon, wage, kliwon. Urutan perhitungannya adalah legi/umanis (timur), pahing (selatan), pwan (barat), wagai (utara), kaliwuan (tengah). Dan pertukaran barang berlangsung dalam siklus lima hari dalam sepekan ini. Pasar yang kita kenal dalam sepekan itu adalah warisan kebudayaan Indonesia asli. Dengan begitu, seorang pedagang bisa tiap hari menjual barang dagangannya berkeliling di tiap desa atau kecamatan.
Zaman dahulu embrio pasar ini berinisiatif untuk menyatukan anak-desa (airthani/duwan) dengan satu desa-induk (wanua) sebagai pusatnya. Jadi, konsep pasar yang lima itu bertalian dengan model tata-kota dan hunian, yang di Jawa dikenal dengan istilah panatur desa/ mancapat.
Dalam ilmu planologi, kata lain dari hunian atau perkampungan biasa disebut kuarter: suatu permukiman yang didasarkan atas (panduan) komunitas warga. Dalam konsep mancapat di Jawa, sebuah kota terdiri dari konfederasi lima buah perkampungan atau desa. Dengan subuah desa sebagai pusat dan empat desa lain sebagai desa cabang yang mengelilinginya.
Pola-pola permukiman dari embrio perdesaan awal ini, kelak digunakan untuk membangun planologi perkotaan, misalnya di zaman Mataram Islam, hingga polanya masih kita temukan dalam perkotaan-perkotaan Indonesia di masa kiwari.
Lebih jauh, masyarakat Jawa kuno setidaknya mengenal tiga macam hari pasaran, yaitu pancawara seperti di atas, sadwara (yang satu minggunya terdiri dari enam hari), serta saptawara (seminggu sebanyak tujuh hari).
Klasifikasi mengenai hari tersebut, sebetulnya juga berdasarkan prinsip kosmologi. Klasifikasi hari ini didasarkan pada prinsip atau sistem permukiman mancapat atau pañatur desa seperti keterangan di atas (Ninie Susanti, 2010: 118).
Pasar Kliwon (Kaliwuan) diduga adalah pasar yang paling ramai karena terletak di desa induk/pusat. Di pasar induk ini barang-barang dagangan akan ditemukan dalam jumlah dan variasi yang lebih besar dan banyak dari barang-barang yang dijual-belikan di keempat pasar desa-anak yang mengelilinginya.
Itu lah alasan mengapa sumber prasasti dan data etnografi menegaskan bahwa transaksi jual beli paling ramai selalu terjadi di hari pasaran Kaliwuan.
Pancawara sendiri memiliki dua tingkatan, yaitu:
1. berfungsi menyatukan desa-anak dan sebuah desa-induk secara konfederatif;
2. tingkatan kedua untuk menyatukan sejumlah desa-induk ke dalam sistem pasar yang lebih luas (Supratikno Rahardjo, 2011: hlm. 289).
Begitulah kultur dan identitas permukiman lokal dari pola panatur desa (konfederasi desa) dan pancawara (pasar yang berfungsi sebagai pengikat dan pola distribusi kebutuhan), masih memungkinkan dijadikan panduan untuk merancang permukiman-permukiman, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Konsep kuarter khas Nusantara ini menjadi bahan menarik untuk dikembangkan (diduplikasi) dan didesiminasikan melalui, di antaranya ilmu planologi, guna merancang model permukiman berkelanjutan di masa depan.
-------------------------
Ditulis dan disadur
Oleh: Bhre Polo
Sumber:
Komentar
Posting Komentar