Salah satu teori dalam penelusuran nenek moyang Bangsa Indonesia, adalah “Out of Taiwan Theory”, yang menyatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Taiwan. Teori ini didasarkan pada bukti Genetika, Linguistik, dan Arkeologi.
Awal teori ini, dungkapkan oleh seorang ahli Arkeologi, Linguistik dan Biologi berkebangsaan Inggris bernama Peter Stafford Bellwood. Didalam "First Islander: Prehistory and Human Migration in Island South East Asia", yang diterbitkan pertama kali tahun 2017, menjelaskan tentang penutur bahasa Austronesia yang menyebar di Asia Tenggara hingga ke kepulauan Pasifik dan Madagaskar, berasal dari Taiwan atau pulau Formosa.
Pendapat tersebut, juga didukung oleh seorang ahli Sejarah Linguistik, Leksikografi, dan Etnologi asal Amerika Serikat yang bernama Robert Blust. Dalam sebuah wawancara di tahun 2021, Blust mengatakan bahwa Ekspansi bangsa Austronesia dari Taiwan hingga lebih dari separuh dunia, melintasi 206 derajat garis bujur ke Madagaskar dan Pulau Paskah atau Rapanui. Mereka menyeberangi ribuan mil lautan terbuka, ribuan tahun yang lalu. Pengetahuan navigasi dan kano cadik mereka telah membawa mereka hingga sejauh Fuji, Tonga, dan Samoa, sekitar 1.000 SM. Kemudian, ada jeda panjang selama dua ribu tahun hingga tanda arkeologi pertama muncul di Polinesia Timur. Hal Ini adalah prestasi yang menakjubkan, sebuah pencapaian manusia. Hal ini membuat kagum orang Eropa pertama yang tiba, yaitu ekspedisi Cook antara tahun 1768 dan 1779. Oleh sebab itu, “Out of Taiwan Theory” ini, juga dikenal sebagai pemodelan Bellwood-Blust.
Sebelum memberikan hipotesa tentang hubungan “Out of Taiwan Theory” dengan asal-usul nenek-moyang Bangsa Indonesia, ada beberapa unsur didalam “Out of Taiwan Theory”, diantaranya adalah berkaitan dengan Negara Taiwan dan Austronesia yang akan kita uraikan dalam pembahasan berikut;
2. Taiwan

a. Geografi dan Geologi
Awal teori ini, dungkapkan oleh seorang ahli Arkeologi, Linguistik dan Biologi berkebangsaan Inggris bernama Peter Stafford Bellwood. Didalam "First Islander: Prehistory and Human Migration in Island South East Asia", yang diterbitkan pertama kali tahun 2017, menjelaskan tentang penutur bahasa Austronesia yang menyebar di Asia Tenggara hingga ke kepulauan Pasifik dan Madagaskar, berasal dari Taiwan atau pulau Formosa.
Pendapat tersebut, juga didukung oleh seorang ahli Sejarah Linguistik, Leksikografi, dan Etnologi asal Amerika Serikat yang bernama Robert Blust. Dalam sebuah wawancara di tahun 2021, Blust mengatakan bahwa Ekspansi bangsa Austronesia dari Taiwan hingga lebih dari separuh dunia, melintasi 206 derajat garis bujur ke Madagaskar dan Pulau Paskah atau Rapanui. Mereka menyeberangi ribuan mil lautan terbuka, ribuan tahun yang lalu. Pengetahuan navigasi dan kano cadik mereka telah membawa mereka hingga sejauh Fuji, Tonga, dan Samoa, sekitar 1.000 SM. Kemudian, ada jeda panjang selama dua ribu tahun hingga tanda arkeologi pertama muncul di Polinesia Timur. Hal Ini adalah prestasi yang menakjubkan, sebuah pencapaian manusia. Hal ini membuat kagum orang Eropa pertama yang tiba, yaitu ekspedisi Cook antara tahun 1768 dan 1779. Oleh sebab itu, “Out of Taiwan Theory” ini, juga dikenal sebagai pemodelan Bellwood-Blust.
Sebelum memberikan hipotesa tentang hubungan “Out of Taiwan Theory” dengan asal-usul nenek-moyang Bangsa Indonesia, ada beberapa unsur didalam “Out of Taiwan Theory”, diantaranya adalah berkaitan dengan Negara Taiwan dan Austronesia yang akan kita uraikan dalam pembahasan berikut;
2. Taiwan

a. Geografi dan Geologi
Taiwan terletak di Benua Asia bagian Tenggara, serta termasuk dalam busur kepulauan Asia Timur dan Tenggara Lautan Pasifik, oleh sebab itu, Taiwan disebut sebagai jantung Asia.
Taiwan merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau utama, sering juga disebut pulau Formosa, dan sejumlah pulau-pulau kecil di sekitarnya, yang terdiri dari Kepulauan Penghu, Kabupaten Kinmen, Kepulauan Lienchiang dan Kepulauan Matsu.
Pulau Taiwan terbentuk sekitar 4 sampai 5 juta tahun yang lalu dalam suatu batas konvergen yang kompleks antara lempeng benua Eurasia dan lempeng samudera Laut Filipina. Batasnya berlanjut ke arah selatan di Busur Vulkanis Luzon, sebuah rantai pulau antara Taiwan dan pulau Filipina, termasuk Green Island (Ludao) dan Orchid Island (Lanyu). Dari bagian utara pulau, kelanjutan batas tersebut ke arah timur ditandai dengan rantai pulau vulkanik Ryukyu. Pulau ini dipisahkan dari pantai Fujian di sebelah barat oleh Selat Taiwan, yang memiliki lebar 130 km pada titik tersempit.
Pulau yang paling penting di selat ini adalah Pulau Penghu berjarak 45 km dari pantai barat daya dari Taiwan dan 140 km dari Tiongkok daratan. Sebagai bagian dari landas kontinen, selat ini memiliki kedalaman tidak lebih dari 100 m, dan telah menjadi jembatan darat selama periode glasial.
Taiwan merupakan suatu blok patahan miring, dengan pegunungan longitudinal keras membentuk sebagian besar bagian timur pulau dan dua pertiga dari keseluruhan pulau Taiwan, Sisi barat pulau melandai turun ke dataran pantai yang subur.
Taiwan memiliki lebih dari dua ratus puncak gunung dengan ketinggian lebih dari 3.000 mdpl (9.843 kaki). Gunung tertinggi di Taiwan adalah Gunung Jade dengan puncak utama mencapai ketinggian 3.952 meter (12.966 kaki).
Beberapa gunung berapi di Taiwan, diantaranya adalah Kelompok Gunung Berapi Tatun 15 km di utara Taipei Terdiri dari sekitar 20 gunung berapi, termasuk kubah lava andesit Terbentuk akibat vulkanisme episodik antara 2,8 dan 0,2 juta tahun lalu. Puncak tertinggi gunung berapi Tatun adalah Chihsingshan dengan ketinggian 1.120 mdpl. Pada tahun 2005, Gunung tersebut mengalami aktivitas panas bumi dan fumarol gas aktif di antara gunung berapi ini.
Selain itu, terdapat pula Gunung berapi Pulau Guishan, yang merupakan gunung berapi kerucut andesit yang masih aktif di Taiwan. Pulau ini terletak di lepas pantai timur laut Yilan, Taiwan. Pulau ini dilewati Garis balik utara, dan memiliki iklim subtropis lembab. Vegetasi asli membentang dari hutan hujan tropis di dataran rendah sampai hutan beriklim sedang, Taiga, dan tumbuhan Alpen seiring dengan bertambahnya ketinggian.
b. Paleontologi
Bukti terawal mengenai pemukiman manusia di Taiwan, barasal dari 20.000 sampai 30.000 tahun yang lalu. Selama periode glasial pada Pleistosen Akhir, permukaan laut di wilayah Taiwan, kira-kira 140 m lebih rendah daripada saat ini. Akibatnya, dasar Selat Taiwan terekspos menjadi jembatan darat yang luas, dilintasi fauna daratan sampai awal Holosen 10.000 tahun yang lalu.
Sekitar 5.000 tahun yang lalu petani dari pantai Tiongkok tenggara mendiami pulau ini, dan diyakini merupakan penutur bahasa Austronesia, tersebar dari Taiwan, menyeberang ke kepulauan Pasifik dan Samudra Hindia. Penduduk asli Taiwan sekarang diyakini merupakan keturunan mereka.
Sebuah konsentrasi fosil vertebrata telah ditemukan di kanal antara Kepulauan Penghu dan Taiwan, termasuk tulang rahang parsial yang disebut Penghu 1, kelihatannya milik spesies yang sebelumnya tidak diketahui dari genus Homo.
Fosil penghu 1, terdiri dari rahang bawah kanan yang hampir lengkap dengan empat gigi, termasuk molar dan premolar yang aus . Mandibula memiliki indeks kekokohan yang tinggi, torus lateral yang kuat, molar besar, dan dengan bantuan rekonstruksi 3D terungkap memiliki lebar bikondilaris yang besar. Fitur-fitur ini membantu memastikan bahwa fosil tersebut berasal dari era Pleistosen tengah-akhir. Alveoli dari empat gigi seri dan gigi taring kanannya telah diawetkan juga yang menunjukkan panjangnya yang luar biasa. Spesimen tersebut dimasukkan ke dalam genus Homo berdasarkan morfologi rahang dan giginya. Mandibula menunjukkan permukaan anterior yang surut dan tidak memiliki dagu yang menonjol yang telah membantu membedakannya dari spesies Homo sapiens.
Namun, fosil tersebut menunjukkan sifat turunan yang mirip dengan Homo habilis awal termasuk rahangnya yang pendek dan lebar. Karakteristik ini dan karakteristik lainnya seperti agenesis molar M3 telah menjadi bukti yang cukup untuk mengklasifikasikan spesimen genus Homo.
Wu & Bae (2024), menyebutkan bahwa, Penghu 1 ke spesies baru Homo juluensis , sebagai hominin Xujiayao, mandibula Xiahe dan Denisovans.
c. Sosio_Masyarakat
Berikutnya dalam Sosio_Masyarakat, merupakan pembahasan yang berkaitan dengan Penduduk Asli Taiwan yang biasa disebut Taiwanese aborigines adalah penduduk asli dengan subkelompok yang diakui secara nasional. Taiwan secara resmi mengakui kelompok masyarakat tertentu di antara masyarakat adat berdasarkan kualifikasi yang dibuat oleh The Council of Indigenous Peoples (CIP) atau Dewan Masyarakat Adat, semenjak awal pembentukan nya, yaitu tahun 2002.
Dalam "Taiwan Y-chromosomal DNA variation and its relationship with Island Southeast Asia; (2014)”, Masyarakat adat Taiwan adalah orang Austronesia, dengan ikatan linguistik, genetik dan budaya dengan masyarakat Austronesia lainnya. Penelitian mengenai polimorfisme DNA mitokondria (mtDNA) menunjukkan migrasi kuno dua garis keturunan dari berbagai suku ke Taiwan terjadi sekitar 11.000-26.000 tahun yang lalu. Meski begitu, orang modern sangat akrab dengan imigran Han Tiongkok.
Taiwan adalah asal dan tanah air linguistik dari ekspansi Austronesia oseanik, dengan kelompok keturunannya saat ini, yang mencakup mayoritas kelompok etnis di seluruh banyak bagian Asia Timur dan Tenggara, serta Oseania dan bahkan Afrika. Hal ini meliputi Filipina, Brunei , Timor Timur , Indonesia , Malaysia , Madagaskar, Mikronesia , Kepulauan Melanesia dan Polinesia.
Daftar lengkap kelompok etnis yang diakui oleh The Council of Indigenous Peoples (CIP), diantaranya adalah:
3. Rumpun Bangsa Austronesia
Setelah pembahasan tentang Geologi dan Geografi, Paleontologi serta Sosio_masyarakt Taiwan, dalam pembahasan berikutnya tentang “Out of Taiwan Theory” adalah tentang Austronesia, yang akan diuraikan sebagaimana berikut:
a. Pengertian;
Suku Bangsa Austronesia, atau suku-suku yang merujuk pada penutur bahasa Austronesia adalah sekumpulan etnolinguistik atau gabungan berbagai etnis besar di benua Asia (khususnya Asia Tenggara), sebagian Oseania dan sebagian kecil Afrika yang memakai bahasa-bahasa dari keluarga Austronesia.
Secara Etimologi, Austronesia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kemendikbud, memiliki 2 arti, yaitu:
Konsensus luas tentang asal usul bangsa Austronesia adalah "model dua lapis" di mana populasi
asli Paleolitik di Asia Tenggara Kepulauan melebur dalam berbagai tingkat dengan para pendatang
Neolitik berbahasa Austronesia dari Taiwan dan Fujian di selatan Tiongkok sekitar 4.000 SM.
Suku bangsa Austronesia bercampur dengan populasi lain yang sudah ada sebelumnya serta
populasi pendatang yang tiba di kemudian hari di tempat tinggal mereka, menghasilkan keragaman
genetik lebih lanjut. Yang paling terkenal adalah orang-orang berbahasa Austroasia di bagian barat
Asia Tenggara Kepulauan (Semenanjung Melayu, Sumatra, Kalimantan, dan Jawa), suku Bantu di
Madagaskar dan Komoro; serta pedagang dan imigran Jepang, India, Tionghoa, dan Arab pada
dewasa ini.
1) Periode Paleolithikum
Asia Tenggara Kepulauan mulai dihuni oleh manusia modern sejak era Paleolitikum mengikuti rute migrasi pesisir, mungkin dimulai sebelum 70.000 SM, jauh sebelum berkembangnya budaya Austronesia. Populasi ini memiliki ciri khas berkulit gelap, berambut keriting, dan perawakan pendek, membuat orang Eropa percaya bahwa mereka terkait dengan orang Pigmi Afrika dalam kajian biologi ras di abad ke-19. Namun, terlepas dari perbedaan fisik ini, penelitian genetika menunjukkan bahwa mereka lebih dengan populasi Eurasia lainnya ketimbang populasi Afrika.
Kelompok populasi pertama ini awalnya tidak mengenal teknologi perahu, dan dengan demikian hanya dapat menyeberangi laut antarpulau yang sempit dengan pelampung atau rakit sederhana (mungkin rakit bambu atau kayu gelondongan) atau secara tidak sengaja. Khususnya di perairan sekitar Garis Wallace, Garis Weber, dan Garis Lydekker serta pulau-pulau yang terputus dari Asia Daratan. Mereka berpindah dari Asia Daratan ke pulau-pulau yang ada sekarang sebagian besar melalui jalur darat ketika daratan Sundaland dan Sahul belum tergenang air.
Manusia mencapai pulau-pulau di Wallacea serta daratan Sahul (Australia dan Papua) sekitar 53.000 SM (beberapa bahkan mengusulkan waktu yang lebih tua hingga 65.000 SM).
Pada 45.400 tahun yang lalu, manusia telah mencapai Kepulauan Bismarck di Oseania Dekat. Mereka juga tiba di Fujian, Tiongkok Daratan dan Taiwan, tetapi populasi mereka kini telah punah atau melebur. Fosil manusia modern tertua yang terkonfirmasi di Filipina berasal dari Gua Tabon di Palawan, berumur sekitar 47.000 SM. Sebelumnya, diyakini bahwa manusia modern tertua di Asia Tenggara berasal dari Gua Callao di utara Luzon di Filipina yang berasal dari 67.000 SM. Namun, pada 2019, fosil itu diidentifikasi sebagai milik spesies baru manusia purba Homo luzonensis.
Orang-orang ini dikenal sebagai "Australo-Melanesia". Keturunan mereka yang belum bercampur dengan pendatang Austronesia dapat dijumpai di pedalaman Papua dan Australia.
2) Periode Neolithikum Tiongkok
Pendapat yang paling populer mengenai urheimat (tanah air) bahasa Austronesia serta masyarakat Austronesia awal Neolitikum adalah di Taiwan, serta Kepulauan Penghu. Mereka dipercaya sebagai keturunan dari populasi di pesisir Fujian, di daratan Tiongkok, yang umumnya disebut sebagai "pra-Austronesia". Melalui populasi pra-Austronesia ini, orang-orang Austronesia juga berbagi nenek moyang yang sama dengan suku-suku tetangga di selatan Tiongkok.
Populasi neolitikum pra-Austronesia ini mulai hijrah dari Fujian ke Taiwan sekitar 10.000–6000 SM. Penelitian lain menunjukkan bahwa menurut penanggalan radiokarbon, orang Austronesia mungkin telah pindah dari Fujian ke Taiwan hingga akhir 4000 SM (kebudayaan Dapenkeng). Mereka terus mempertahankan kontak reguler dengan Asia Daratan sampai 1500 SM.
Identitas budaya Neolitikum pra-Austronesia di Fujian masih diperdebatkan. Menelusuri jejak Austronesia prasejarah di Fujian dan Taiwan menjadi sulit karena ekspansi Dinasti Han ke selatan (abad ke-2 SM), dan aneksasi terbaru oleh Dinasti Qing (1683 M).
Dewasa ini, satu-satunya bahasa Austronesia yang tersisa di Tiongkok Selatan adalah bahasa Tsat di Hainan. Politisasi arkeologi juga menjadi masalah, khususnya rekonstruksi yang tidak tepat oleh beberapa arkeolog Tiongkok terhadap situs non-Tionghoa yang dianggap sebagai peninggalan orang Han. Beberapa penulis, yang menyukai model "Keluar dari Sundaland" seperti William Meacham, menolak jika populasi pra-Austronesia berasal dari Tiongkok Daratan.
Namun demikian, berdasarkan bukti linguistik, arkeologi, dan genetik, orang Austronesia diduga kuat terkait dengan kebudayaan pertanian di lembah Sungai Panjang (Batas Selatan Tiongkok) yang mulai bercocok tanam padi sejak 13.500 hingga 8.200 SM.
Mereka menampilkan ciri khas Austronesia, seperti pencabutan gigi, penghitaman gigi, ukiran giok, seni rajah, rumah panggung, teknologi pembuatan perahu yang mutakhir, pertanian lahan basah, dan domestikasi anjing, babi, dan ayam. Hal ini termasuk diantaranya ialah kebudayaan-kebudayaan Kuahuqiao, Hemudu, Majiabang, Songze, Liangzhu, dan Dapenkeng yang berkembang di daerah pesisir antara delta Sungai Panjang dan delta Sungai Min.
Taiwan merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau utama, sering juga disebut pulau Formosa, dan sejumlah pulau-pulau kecil di sekitarnya, yang terdiri dari Kepulauan Penghu, Kabupaten Kinmen, Kepulauan Lienchiang dan Kepulauan Matsu.
Pulau Taiwan terbentuk sekitar 4 sampai 5 juta tahun yang lalu dalam suatu batas konvergen yang kompleks antara lempeng benua Eurasia dan lempeng samudera Laut Filipina. Batasnya berlanjut ke arah selatan di Busur Vulkanis Luzon, sebuah rantai pulau antara Taiwan dan pulau Filipina, termasuk Green Island (Ludao) dan Orchid Island (Lanyu). Dari bagian utara pulau, kelanjutan batas tersebut ke arah timur ditandai dengan rantai pulau vulkanik Ryukyu. Pulau ini dipisahkan dari pantai Fujian di sebelah barat oleh Selat Taiwan, yang memiliki lebar 130 km pada titik tersempit.
Pulau yang paling penting di selat ini adalah Pulau Penghu berjarak 45 km dari pantai barat daya dari Taiwan dan 140 km dari Tiongkok daratan. Sebagai bagian dari landas kontinen, selat ini memiliki kedalaman tidak lebih dari 100 m, dan telah menjadi jembatan darat selama periode glasial.
Taiwan merupakan suatu blok patahan miring, dengan pegunungan longitudinal keras membentuk sebagian besar bagian timur pulau dan dua pertiga dari keseluruhan pulau Taiwan, Sisi barat pulau melandai turun ke dataran pantai yang subur.
Taiwan memiliki lebih dari dua ratus puncak gunung dengan ketinggian lebih dari 3.000 mdpl (9.843 kaki). Gunung tertinggi di Taiwan adalah Gunung Jade dengan puncak utama mencapai ketinggian 3.952 meter (12.966 kaki).
Beberapa gunung berapi di Taiwan, diantaranya adalah Kelompok Gunung Berapi Tatun 15 km di utara Taipei Terdiri dari sekitar 20 gunung berapi, termasuk kubah lava andesit Terbentuk akibat vulkanisme episodik antara 2,8 dan 0,2 juta tahun lalu. Puncak tertinggi gunung berapi Tatun adalah Chihsingshan dengan ketinggian 1.120 mdpl. Pada tahun 2005, Gunung tersebut mengalami aktivitas panas bumi dan fumarol gas aktif di antara gunung berapi ini.
Selain itu, terdapat pula Gunung berapi Pulau Guishan, yang merupakan gunung berapi kerucut andesit yang masih aktif di Taiwan. Pulau ini terletak di lepas pantai timur laut Yilan, Taiwan. Pulau ini dilewati Garis balik utara, dan memiliki iklim subtropis lembab. Vegetasi asli membentang dari hutan hujan tropis di dataran rendah sampai hutan beriklim sedang, Taiga, dan tumbuhan Alpen seiring dengan bertambahnya ketinggian.
b. Paleontologi
Bukti terawal mengenai pemukiman manusia di Taiwan, barasal dari 20.000 sampai 30.000 tahun yang lalu. Selama periode glasial pada Pleistosen Akhir, permukaan laut di wilayah Taiwan, kira-kira 140 m lebih rendah daripada saat ini. Akibatnya, dasar Selat Taiwan terekspos menjadi jembatan darat yang luas, dilintasi fauna daratan sampai awal Holosen 10.000 tahun yang lalu.
Sekitar 5.000 tahun yang lalu petani dari pantai Tiongkok tenggara mendiami pulau ini, dan diyakini merupakan penutur bahasa Austronesia, tersebar dari Taiwan, menyeberang ke kepulauan Pasifik dan Samudra Hindia. Penduduk asli Taiwan sekarang diyakini merupakan keturunan mereka.
Sebuah konsentrasi fosil vertebrata telah ditemukan di kanal antara Kepulauan Penghu dan Taiwan, termasuk tulang rahang parsial yang disebut Penghu 1, kelihatannya milik spesies yang sebelumnya tidak diketahui dari genus Homo.
Fosil penghu 1, terdiri dari rahang bawah kanan yang hampir lengkap dengan empat gigi, termasuk molar dan premolar yang aus . Mandibula memiliki indeks kekokohan yang tinggi, torus lateral yang kuat, molar besar, dan dengan bantuan rekonstruksi 3D terungkap memiliki lebar bikondilaris yang besar. Fitur-fitur ini membantu memastikan bahwa fosil tersebut berasal dari era Pleistosen tengah-akhir. Alveoli dari empat gigi seri dan gigi taring kanannya telah diawetkan juga yang menunjukkan panjangnya yang luar biasa. Spesimen tersebut dimasukkan ke dalam genus Homo berdasarkan morfologi rahang dan giginya. Mandibula menunjukkan permukaan anterior yang surut dan tidak memiliki dagu yang menonjol yang telah membantu membedakannya dari spesies Homo sapiens.
Namun, fosil tersebut menunjukkan sifat turunan yang mirip dengan Homo habilis awal termasuk rahangnya yang pendek dan lebar. Karakteristik ini dan karakteristik lainnya seperti agenesis molar M3 telah menjadi bukti yang cukup untuk mengklasifikasikan spesimen genus Homo.
Wu & Bae (2024), menyebutkan bahwa, Penghu 1 ke spesies baru Homo juluensis , sebagai hominin Xujiayao, mandibula Xiahe dan Denisovans.
c. Sosio_Masyarakat
Berikutnya dalam Sosio_Masyarakat, merupakan pembahasan yang berkaitan dengan Penduduk Asli Taiwan yang biasa disebut Taiwanese aborigines adalah penduduk asli dengan subkelompok yang diakui secara nasional. Taiwan secara resmi mengakui kelompok masyarakat tertentu di antara masyarakat adat berdasarkan kualifikasi yang dibuat oleh The Council of Indigenous Peoples (CIP) atau Dewan Masyarakat Adat, semenjak awal pembentukan nya, yaitu tahun 2002.
Dalam "Taiwan Y-chromosomal DNA variation and its relationship with Island Southeast Asia; (2014)”, Masyarakat adat Taiwan adalah orang Austronesia, dengan ikatan linguistik, genetik dan budaya dengan masyarakat Austronesia lainnya. Penelitian mengenai polimorfisme DNA mitokondria (mtDNA) menunjukkan migrasi kuno dua garis keturunan dari berbagai suku ke Taiwan terjadi sekitar 11.000-26.000 tahun yang lalu. Meski begitu, orang modern sangat akrab dengan imigran Han Tiongkok.
Taiwan adalah asal dan tanah air linguistik dari ekspansi Austronesia oseanik, dengan kelompok keturunannya saat ini, yang mencakup mayoritas kelompok etnis di seluruh banyak bagian Asia Timur dan Tenggara, serta Oseania dan bahkan Afrika. Hal ini meliputi Filipina, Brunei , Timor Timur , Indonesia , Malaysia , Madagaskar, Mikronesia , Kepulauan Melanesia dan Polinesia.
Daftar lengkap kelompok etnis yang diakui oleh The Council of Indigenous Peoples (CIP), diantaranya adalah:
- Suku Amis; Suku Amis, atau juga disebut suku Ami atau Pangcah adalah penduduk asli Taiwan. Secara bahasa, kata amis, yang artinya "utara." Tidak ada konsensus dalam lingkaran akademik tentang bagaimana "Amis" digunakan untuk merujuk ke Pangcah. Salah satu suposisi yang menyatakan bahwa kata tersebut aslinya digunakan oleh Puyuma untuk menyebut Pangcah, karena Pangcah tinggal di utara mereka. Suposisi lainnya menyatakan bahwa orang-orang yang tinggal di Daratan Taitung menyebut diri mereka "Amis" karena leluhur mereka berasal dari utara. Eksplanasi selanjutnya tercatat dalam Banzoku Chōsa Hōkokusho, yang mengindikasikan bahwa mereka berasal dari yang saat ini diklasifikasikan oleh para antropolog sebagai Falangaw Amis, yaitu kelompok Amis yang berada di Chenggong pada masa sekarang dan Daratan Taitung. Genetik mereka memiliki hubungan dengan orang Filipina. Suku Amis berbicara dalam bahasa Amis, sebuah bahasa Austronesia, dan merupakan salah satu dari empat belas suku penduduk asli Taiwan yang diakui secara resmi. Saat ini, bahasa Amis menjadi bahasa terbesar dari rumpun bahasa Formosa, yang dituturkan dari Hualien di utara sampai Taitung di selatan, dengan populasi lain berada di dekat ujung selatan pulau, meskipun ragam utara dianggap sebagai bahasa terpisah. Wilayah tradisional meliputi lembah yang panjang antara Pegunungan Tengah dan Pegunungan Pesisir (Lembah Huatung), timur wilayah pesisir Pasifik sampai Pegunungan Pesisir dan Semenanjung Hengchun.
- Suku Atayal; Suku Atayal, juga dikenal sebagai Tayal dan Tayan, adalah kelompok pribumi dari penduduk asli Taiwan. Pada tahun 2014, Suku ini memiliki persentase sebesar 15,9% dari total penduduk asli Taiwan, menjadikan suku Atayal sebagai kelompok penduduk asli terbesar ketiga. Suku Atayal menuturkan Bahasa Atayal (juga dieja Tayal), yang merupakan suatu bahasa Austronesia. Bahasa Atayal terbagi menjadi dua dialek utama: Squliq dan C’uli’ (Ts’ole’). Bahasa ini adalah salah satu sumber untuk pembentukan bahasa kreol Jepang Yilan. Catatan pertama mengenai penghunian suku Atayal ditemukan di dekat hulu Sungai Zhuoshui. Namun, pada akhir abad ke-17, suku Atayal melintasi Pegunungan Tengah hingga ke padang gurun di timur. Suku ini kemudian menetap di lembah Sungai Liwu. Suku Atayal diyakini telah bermigrasi ke Taiwan dari Tiongkok Selatan atau Asia Tenggara. Penelitian genetika juga menemukan kesamaan antara suku Atayal dengan suku lain di Filipina dan Thailand, dan pada tingkat kesamaan yang lebih rendah dengan Tiongkok Selatan dan Vietnam. Penelitian DNA terbaru menunjukkan bahwa suku Lapita dan Polinesia modern memiliki nenek moyang yang sama dengan suku Atayal dan suku Kankanaey di Filipina utara.
- Suku Bunun; Suku Bunun adalah suku asli Taiwan yang tinggal di Pegunungan Tengah, Pulau Farmosa. Mereka merupakan kelompok penduduk asli terbesar keempat di Taiwan. Tanah adat Suku Bunun terletak di selatan kawasan Lembangan Puli timur Banjaran Tengah pulau Taiwan. Selain itu, juga dibatasi dengan sungai Zhoushui/Qalavang di barat ke sungai Siwkolan di timur. Suku Bunun menggunakan Bahasa Bunun yang merupakan salah satu bahasa Austronesia juga. Bahasa ini terbagi menjadi lima dialek, yaitu: dialek Isbukun, Takbunuaz, Takivatan, Takibaka, dan Takituduh. Menurut Li (1988), dialek-dialek dapat dibagi menjadi tiga cabang utama — Bunun Utara, Tengah, dan Isbukun (juga disebut sebagai Bunun Selatan). Ada pula dialek Takipulan, yang merupakan dialek keenam, telah punah sejak dasawarsa 1970-an. Isbukun merupakan dialek yang sering dijadikan acuan, juga merupakan dialek yang paling berbeda. Dialek yang paling konservatif adalah dialek utara.
- Suku Thao; Suku Thao atau disebut juga suku Ngan adalah salah satu suku asli Taiwan yang tinggal di dekat Danau Sun Moon, dan mereka merupakan pemukim pertama di wilayah tersebut. Suku Thao memiliki bahasa mereka sendiri, yaitu bahasa Thao, yang hampir punah dan hanya dituturkan oleh beberapa orang (kebanyakan orang tua).
- Suku Tsou; Suku Tsou adalah penduduk asli Taiwan selatan bagian tengah. Mereka tersebar di tiga satuan administratif Republik China, yaitu County Nantou, County Chiayi, dan Kota Kaohsiung. Kadang-kadang mereka disamakan dengan suku Thao dari Danau Sunmoon. Pada tahun 2000, suku Tsou berjumlah sekitar 1,6% penduduk asli Taiwan, sehingga menjadikan mereka kelompok suku terbesar ketujuh di Taiwan. Suku Tsou berbahasa Tsou, yang juga merupakan bagian dari bahasa Austronesia yang berbeda diucapkan oleh orang-orang Tsou di Taiwan. Bahasa Tsou adalah bahasa yang terancam; Namun, status ini tidak pasti, dibutuhkan kajian lebih mendalam. Penutur Bahasa Tsou tinggal di pegunungan tengah barat tenggara dari Chiayi dan Alishan di Taiwan. Bahasa ini tidak ditulis, sehingga hanya bisa dipelajari dari lagu-lagu rakyat dan cerita rakyat.
- Suku Hla'alua; Suku Saaroa atau Suku Hla'alua adalah penduduk asli Taiwan bagian tengah selatan. Mereka tinggal di dua desa, yaitu Taoyuan dan Kaochung di Distrik Taoyuan, Kaohsiung, dan Desa Maya di Distrik Namasia, Kaohsiung. Kelompok ini memperoleh pengakuan resmi dari pemerintah Taiwan pada tanggal 26 Juni 2014 dengan nama Hla'alua sebagai penduduk asli Taiwan yang ke-15. Sebelumnya, kelompok ini dianggap sebagai subkelompok dari suku Tsou. Suku Saaroa atau suku Lhaʼalua juga memiliki bahasanya sendiri, yang merupakan bahasa Tsouik Selatan yang dituturkan oleh suku Saaroa (Hla'alua), penduduk asli Taiwan. Bahasa ini merupakan bahasa Formosa dari keluarga Austronesia. Suku Saaroa tinggal di dua desa, Taoyuan dan Kaochung di Distrik Taoyuan (Kotapraja Taoyuan), Kota Kaohsiung, Taiwan (Zeitoun & Teng 2014).
- Suku Kanakanavu; Suku Kanakanavu adalah penduduk asli Taiwan bagian tengah selatan. Mereka tinggal di dua desa, Manga dan Takanua di Distrik Namasia, Kota Kaohsiung, Taiwan. Penutur asli bahasa Kanakanavu adalah penduduk asli Taiwan yang tinggal di pulau-pulau tersebut. Setelah Masa Kolonial Belanda pada abad ke-17, imigrasi suku Han-Tionghoa mulai mendominasi populasi pulau tersebut. Desa Takanua adalah desa yang dibentuk oleh para penguasa Jepang untuk merelokasi berbagai kelompok penduduk asli guna membangun kekuasaan yang lebih mudah atas kelompok-kelompok tersebut. Pada tanggal 26 Juni 2014, pemerintah mengakui Kanakanavu sebagai kelompok ke-16 penduduk asli Taiwan.
- Suku Kavalan; Suku Kavalan adalah salah satu suku pribumi di Taiwan. Mereka juga dikenal dengan nama Kuvalan. Kata Kavalan berarti"masyarakat yang tinggal di dataran". Sebagian besar dari mereka pindah ke daerah pesisir Kabupaten Hualien dan Kabupaten Taitung pada abad ke-19 karena perambahan oleh para pemukim Han . Bahasa mereka juga dikenal sebagai Kavalan . Saat ini, pemukiman terbesar di Kavalan adalah Desa Xinshe ( Kavalan : pateRongan ) di Kotapraja Fengbin , Kabupaten Hualien. Bahasa Kavalan (juga dikenal sebagai Kvalan, Kebalan, atau Kbalan) sebelumnya dituturkan di wilayah pesisir Timur Laut Taiwan oleh suku Kavalan. Bahasa ini merupakan bahasa Formosa Timur dari rumpun bahasa Austronesia.
- Suku Paiwan; Suku Paiwan adalah penduduk asli Taiwan yang menuturkan bahasa Paiwan. Pada tahun 2014, diperkirakan terdapat sekitar lebih dari 17,8% total populasi penduduk asli Taiwan, sehingga menjadikan mereka kelompok suku asli terbesar kedua di Taiwan. Sebagian besar orang Paiwan hidup di bagian selatan pegunungan tengah, atau lebih tepatnya dari Gunung Damumu dan hulu sungai Wuluo di utara hingga Semenanjung Hengchun di selatan. Suku Paiwan terbagi menjadi dua subkelompok, yaitu Raval dan Butsul.
- Suku Puyuma; Suku Puyuma, yang juga dikenal sebagai Pinuyumayan, Peinan, atau Beinan, adalah salah satu kelompok pribumi dari suku Aborigin Taiwan. Suku ini secara umum terbagi menjadi kelompok Chihpen dan Nanwang, keduanya bermukim di Kabupaten Taitung di pesisir timur Taiwan. Kata "Puyuma" berarti "kesatuan" atau "kerukunan" dan awalnya merupakan nama asli dari penutur dialek Nanwang. Zeitoun dan Cauquelin (2006) juga mencatat bahwa kata Puyuma dapat dianalisis sebagai pu'-uma, yang berarti "mengirim ke ladang". Pada tahun 2000, suku Puyuma berjumlah sekitar 2,4% dari total populasi pribumi Taiwan, dan menjadikan mereka kelompok pribumi terbesar keenam. Suku Puyuma berbicara dalam bahasa Puyuma, serta bahasa Mandarin dan bahasa Hokkien Taiwan. Bahasa Puyuma atau Pinuyumayan, adalah bahasa Formosa yang berbeda dari rumpun Austronesia. Sebagian besar penuturnya adalah orang dewasa yang lebih tua. Bahasa Puyuma adalah salah satu bahasa Austronesia yang paling berbeda dan berada di luar rekonstruksi Proto-Austronesia. Klasifikasi internal dialek Bahasa Puyuma berasal dari Ting (1978). Nanwang Puyuma dianggap sebagai bahasa yang relatif konservatif secara fonologis tetapi inovatif secara tata bahasa, karena bahasa ini mempertahankan plosif bersuara proto-Puyuma tetapi menyinkronkan penggunaan kasus miring dan genitif.
- Suku Rukai; Suku Rukai adalah salah satu suku aborigin Taiwan. Dulunya Masyarakat Rukai disebut Tsarisen, yang berarti "orang yang tinggal di gunung". Mereka terdiri dari enam sub kelompok yang berada di selatan Taiwan, yaitu Budai, Labuan, Maga, Mantauran, Tanan, dan Tona, dan masing-masing sub kelompok tersebut memiliki dialek sendiri dalam menuturkan Bahasa Rukai, yang juga merupakan rumpun bahasa Austronesia. Pada tahun 2014, masyarakat Rukai menjadi terbesar ketujuh dari empat belas kelompok yang resmi diakui oleh Taiwan.
- Suku Saisiyat; Suku Saisiyat, yang secara harfiah berarti 'orang asli'; juga dieja Saisiat, adalah penduduk asli Taiwan. Pada tahun 2000, suku Saisiyat yang jumlahnya sekitar 1,3% dari total penduduk asli Taiwan, menjadikan mereka, menjadi salah satu kelompok penduduk asli terkecil di negara tersebut. Suku Saisiyat mendiami Taiwan Barat, yang berbatasan dengan Kabupaten Hsinchu dan Kabupaten Miaoli. Mereka terbagi menjadi Cabang Utara (Wufong di daerah pegunungan Hsinchu) dan Cabang Selatan (Nanzhuang dan Shitan di dataran tinggi Miaoli), yang juga menggunakan bahasa Saisiyat, dengan dialeknya masing-masing.
- Suku Tao; Suku Tao (Yami: Tao no pongso) adalah kelompok etnis Austronesia yang berasal dari Pulau Anggrek kecil di Taiwan. Mereka memiliki budaya maritim, dengan ritual dan makna spiritual yang besar yang dikaitkan dengan pembuatan perahu dan penangkapan ikan. Suku Tao terkait dengan masyarakat adat Taiwan lainnya dan penduduk asli Filipina Batan. Suku ini lebih sering tercatat dengan sebutan "suku Yami" oleh dokumen resmi dan literatur akademis, setelah antropolog Jepang Torii Ryuzo menciptakan nama tersebut pada tahun 1897. Tidak seperti kelompok masyarakat adat Taiwan lainnya, Suku Tao berbicara dalam bahasa Melayu-Polinesia Barat dan dianggap lebih dekat hubungannya dengan kelompok etnis Filipina, khususnya masyarakat Ivatan. Sebuah teori umum yang menelusuri asal usul mereka menyatakan bahwa nenek moyang mereka meninggalkan Kepulauan Batanes di Filipina, dan menetap di Pulau Orchid sekitar 800 tahun yang lalu. Alasan ini terutama didasarkan pada kesamaan bahasa antara masyarakat Ivatan dan masyarakat Tao. Selain itu, tampaknya kedua kelompok ini berdagang kambing, babi, senjata, dan emas hingga sekitar 300 tahun yang lalu karena peperangan yang terus-menerus. Sebuah studi genetika tahun 2011 menemukan bahwa suku Tao secara genetik lebih dekat hubungannya dengan suku asli Taiwan lainnya di daratan Taiwan daripada dengan suku Ivatan di Filipina. Akan tetapi, suku Tao dan Ivatan sama-sama berbicara dalam bahasa Melayu-Polinesia Barat yang sangat erat hubungannya dan ada bukti aliran gen yang terbatas di antara kedua kelompok tersebut. Para penulis menyimpulkan bahwa Pulau Orchid dihuni secara independen dari Taiwan selama periode awal ekspansi Austronesia (sekitar 4000 SM), dan bukan dari Kepulauan Batanes seperti yang diyakini sebelumnya. Kontak perdagangan jangka panjang dan perkawinan campuran yang terbatas menghasilkan pertukaran budaya dan bahasa yang kuat antara kedua kelompok tersebut pada milenium berikutnya.
- Suku Taroko; Suku Taroko, juga dikenal sebagai suku Truku, adalah suku asli Taiwan. Taroko juga merupakan nama pegunungan di Taiwan tempat suku Taroko tinggal, yang hari ini berubah status sebagai Taman Nasional. Eksekutif Yuan, Republik Tiongkok, telah secara resmi mengakui suku Taroko sejak 15 Januari 2004. Suku ini adalah kelompok penduduk asli ke-12 di Taiwan yang menerima pengakuan tersebut. Sebelumnya, suku Taroko dan suku Seediq yang terkait diklasifikasikan dalam kelompok Atayal. Suku Taroko menuntut status terpisah untuk diri mereka sendiri dalam kampanye "pembetulan nama".
- Suku Sediq; Suku Seediq (terkadang dieja Sediq, Sedziq, atau Seedziq, adalah salah satu suku pribumi Taiwan yang sebagian besar tinggal di Kabupaten Nantou dan Kabupaten Hualien. Suku ini berbicara bahasa Seediq, yang juga dikenal sebagai Bahasa Taroko, adalah suatu bahasa Austronesia yang dituturkan di pegunungan utara di Taiwan oleh suku Seediq dan Taroko. Seediq merupakan suku asli ke-14 yang diakui oleh pemerintah Taiwan pada tanggal 23 April 2008. Sebelumnya, Seediq bersama dengan suku Truku yang berkerabat dekat, digolongkan sebagai bagian suku Atayal.
- Suku Sakizaya; Suku Sakizaya, kadang juga dieja Sakiraya atau Sakidaya adalah penduduk asli Taiwan yang berpusat di wilayah Hualien (Taiwan bagian Timur). Suku ini menuturkan bahasa Sakizaya yang digolongkan sebagai dialek bahasa Ami Nataora, yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Austronesia. Namun, Universitas Nasional Chengchi memperdebatkan penggolongan ini karena bahasa Sakizaya memiliki 60-70% perbedaan dengan bahasa Ami walaupun mereka hidup beriringan.
3. Rumpun Bangsa Austronesia
Setelah pembahasan tentang Geologi dan Geografi, Paleontologi serta Sosio_masyarakt Taiwan, dalam pembahasan berikutnya tentang “Out of Taiwan Theory” adalah tentang Austronesia, yang akan diuraikan sebagaimana berikut:
a. Pengertian;
Suku Bangsa Austronesia, atau suku-suku yang merujuk pada penutur bahasa Austronesia adalah sekumpulan etnolinguistik atau gabungan berbagai etnis besar di benua Asia (khususnya Asia Tenggara), sebagian Oseania dan sebagian kecil Afrika yang memakai bahasa-bahasa dari keluarga Austronesia.
Secara Etimologi, Austronesia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kemendikbud, memiliki 2 arti, yaitu:
- n wilayah geografis yang berada di kepulauan selatan, mencakup Pulau Formosa, Kepulauan Nusantara, Mikronesia, Melanesia, Polinesia dan Pulau Madagaskar
- n rumpun bahasa yang dituturkan di wilayah yang terbentang dari Madagaskar ke arah timur melalui Asia Tenggara Maritim hingga Taiwan, Hawaii, dan Pulau Paskah, mencakup hampir semua bahasa asli kepulauan Pasifik, kecuali bahasa-bahasa Australia dan Papua:
- Publikasi resmi pertama tentang hubungan bahasa Malagasi, Melayu, dan Polinesia, adalah pada tahun 1708 oleh orientalis Belanda Adriaan Reland, yang mengakui "bahasa umum" yang tersebar dari Madagaskar hingga Polinesia,
- Naturalis Jerman Johann Reinhold Forster (1729–1798), yang melakukan perjalanan bersama James Cook (1728 –1779), pada pelayaran keduanya, juga mengamati kesamaan bahasa di Polinesia dengan bahasa di Asia Tenggara Maritim. Dalam bukunya Observations Made During a Voyage Round the World (1778), ia mengemukakan bahwa orang Polinesia mungkin berasal dari kawasan dataran rendah Filipina dan tiba di pulau-pulau itu melalui pelayaran jarak jauh. Namun, Observations Made During a Voyage Round the World (1778) karya Johann Reinhold dan A Voyage Round the World (1777) milik Georg Forster (1754-1794) justru menjadi pemicu munculnya sentimen rasisme modern.
- Filolog Spanyol, Lorenzo Hervás (1735-1809) dalam karyanya yang berjudul Idea dell'universo (1778-1787) mengusulkan sebuah rumpun bahasa yang menghubungkan Semenanjung Malaka, Maladewa, Madagaskar, Kepulauan Sunda, Maluku, Filipina, Oseania, hingga Pulau Paskah.
- Johann Friedrich Blumenbach (1752 – 1840) menambahkan bahwa bangsa Austronesia sebagai ras manusia kelima dalam edisi kedua De Generis Humani Varietate Nativa (1781). Meskipun karya Blumenbach kemudian digunakan dalam rasisme ilmiah, namun dia adalah seorang monogenis dan menolak anggapan jika "ras" tertentu lebih rendah dari ras yang lain. Dia mengelompokkan manusia berdasarkan geografi dan dengan demikian menyebut orang Austronesia sebagai "orang-orang dari dunia selatan". Dalam edisi ketiga yang diterbitkan pada tahun 1795, ia menyebut orang Austronesia sebagai "ras Melayu" atau "ras coklat", setelah berkonsultasi dengan Joseph Banks (1743–1820) yang turut serta dalam pelayaran pertama James Cook. Blumenbach menggunakan istilah "Melayu" karena keyakinannya bahwa kebanyakan orang Austronesia berbicara "idiom Melayu" (yaitu bahasa Austronesia), meskipun ia secara tidak sengaja menimbulkan kerancuan dengan suku Melayu. Ras lain yang diidentifikasi Blumenbach adalah "Kaukasia" (putih), "Mongolia" (kuning), "Etiopia" (hitam), dan "Amerika" (merah). Definisi Blumenbach tentang ras Melayu sebagian besar identik dengan distribusi masyarakat Austronesia modern, yang tidak hanya meliputi Asia Tenggara Kepulauan, tetapi juga Madagaskar dan Kepulauan Pasifik.
- Naturalis Inggris James Cowles Prichard (1786–1848), awalnya mendukung Blumenbach dengan menyebut penduduk asli Papua dan Australia berbagi keturunan yang sama dengan orang Austronesia. Tetapi pada edisi ketiga Researches into the Physical History of Man (1836–1847), karyanya menjadi lebih rasialis karena terpengaruh poligenisme. Dia menggolongkan orang Austronesia menjadi dua golongan: a) "Melayu-Polinesia" (kira-kira setara dengan bangsa Austronesia); b) "Kelænonesia" (kira-kira setara dengan Australo-Melanesia). Dia selanjutnya membagi Kelænonesia menjadi "Alfourous" (juga "Haraforas" atau "Alfoërs", penduduk asli Australia), dan "Pelagia atau Negro Oseanik" (Melanesia dan barat Polinesia). Meskipun demikian, ia mengakui bahwa "orang Melayu-Polinesia" dan "Negro Pelagia" memiliki "kesamaan karakter yang luar biasa", terutama dalam hal bahasa dan kraniometri.
- Robert Henry Codrington menciptakan dan menggunakan istilah rumpun bahasa "Osean" bukannya "Melayu-Polinesia" pada tahun 1891, dengan menyertakan bahasa Melanesia dan Mikronesia. Hal ini juga didukung oleh Ray yang mendefinisikan rumpun bahasa "Oseanik" yang mencakup bahasa-bahasa di Asia Tenggara, Madagaskar, Mikronesia, Melanesia, dan Polinesia.
Konsensus luas tentang asal usul bangsa Austronesia adalah "model dua lapis" di mana populasi
asli Paleolitik di Asia Tenggara Kepulauan melebur dalam berbagai tingkat dengan para pendatang
Neolitik berbahasa Austronesia dari Taiwan dan Fujian di selatan Tiongkok sekitar 4.000 SM.
Suku bangsa Austronesia bercampur dengan populasi lain yang sudah ada sebelumnya serta
populasi pendatang yang tiba di kemudian hari di tempat tinggal mereka, menghasilkan keragaman
genetik lebih lanjut. Yang paling terkenal adalah orang-orang berbahasa Austroasia di bagian barat
Asia Tenggara Kepulauan (Semenanjung Melayu, Sumatra, Kalimantan, dan Jawa), suku Bantu di
Madagaskar dan Komoro; serta pedagang dan imigran Jepang, India, Tionghoa, dan Arab pada
dewasa ini.
1) Periode Paleolithikum
Asia Tenggara Kepulauan mulai dihuni oleh manusia modern sejak era Paleolitikum mengikuti rute migrasi pesisir, mungkin dimulai sebelum 70.000 SM, jauh sebelum berkembangnya budaya Austronesia. Populasi ini memiliki ciri khas berkulit gelap, berambut keriting, dan perawakan pendek, membuat orang Eropa percaya bahwa mereka terkait dengan orang Pigmi Afrika dalam kajian biologi ras di abad ke-19. Namun, terlepas dari perbedaan fisik ini, penelitian genetika menunjukkan bahwa mereka lebih dengan populasi Eurasia lainnya ketimbang populasi Afrika.
Kelompok populasi pertama ini awalnya tidak mengenal teknologi perahu, dan dengan demikian hanya dapat menyeberangi laut antarpulau yang sempit dengan pelampung atau rakit sederhana (mungkin rakit bambu atau kayu gelondongan) atau secara tidak sengaja. Khususnya di perairan sekitar Garis Wallace, Garis Weber, dan Garis Lydekker serta pulau-pulau yang terputus dari Asia Daratan. Mereka berpindah dari Asia Daratan ke pulau-pulau yang ada sekarang sebagian besar melalui jalur darat ketika daratan Sundaland dan Sahul belum tergenang air.
Manusia mencapai pulau-pulau di Wallacea serta daratan Sahul (Australia dan Papua) sekitar 53.000 SM (beberapa bahkan mengusulkan waktu yang lebih tua hingga 65.000 SM).
Pada 45.400 tahun yang lalu, manusia telah mencapai Kepulauan Bismarck di Oseania Dekat. Mereka juga tiba di Fujian, Tiongkok Daratan dan Taiwan, tetapi populasi mereka kini telah punah atau melebur. Fosil manusia modern tertua yang terkonfirmasi di Filipina berasal dari Gua Tabon di Palawan, berumur sekitar 47.000 SM. Sebelumnya, diyakini bahwa manusia modern tertua di Asia Tenggara berasal dari Gua Callao di utara Luzon di Filipina yang berasal dari 67.000 SM. Namun, pada 2019, fosil itu diidentifikasi sebagai milik spesies baru manusia purba Homo luzonensis.
Orang-orang ini dikenal sebagai "Australo-Melanesia". Keturunan mereka yang belum bercampur dengan pendatang Austronesia dapat dijumpai di pedalaman Papua dan Australia.
2) Periode Neolithikum Tiongkok
Pendapat yang paling populer mengenai urheimat (tanah air) bahasa Austronesia serta masyarakat Austronesia awal Neolitikum adalah di Taiwan, serta Kepulauan Penghu. Mereka dipercaya sebagai keturunan dari populasi di pesisir Fujian, di daratan Tiongkok, yang umumnya disebut sebagai "pra-Austronesia". Melalui populasi pra-Austronesia ini, orang-orang Austronesia juga berbagi nenek moyang yang sama dengan suku-suku tetangga di selatan Tiongkok.
Populasi neolitikum pra-Austronesia ini mulai hijrah dari Fujian ke Taiwan sekitar 10.000–6000 SM. Penelitian lain menunjukkan bahwa menurut penanggalan radiokarbon, orang Austronesia mungkin telah pindah dari Fujian ke Taiwan hingga akhir 4000 SM (kebudayaan Dapenkeng). Mereka terus mempertahankan kontak reguler dengan Asia Daratan sampai 1500 SM.
Identitas budaya Neolitikum pra-Austronesia di Fujian masih diperdebatkan. Menelusuri jejak Austronesia prasejarah di Fujian dan Taiwan menjadi sulit karena ekspansi Dinasti Han ke selatan (abad ke-2 SM), dan aneksasi terbaru oleh Dinasti Qing (1683 M).
Dewasa ini, satu-satunya bahasa Austronesia yang tersisa di Tiongkok Selatan adalah bahasa Tsat di Hainan. Politisasi arkeologi juga menjadi masalah, khususnya rekonstruksi yang tidak tepat oleh beberapa arkeolog Tiongkok terhadap situs non-Tionghoa yang dianggap sebagai peninggalan orang Han. Beberapa penulis, yang menyukai model "Keluar dari Sundaland" seperti William Meacham, menolak jika populasi pra-Austronesia berasal dari Tiongkok Daratan.
Namun demikian, berdasarkan bukti linguistik, arkeologi, dan genetik, orang Austronesia diduga kuat terkait dengan kebudayaan pertanian di lembah Sungai Panjang (Batas Selatan Tiongkok) yang mulai bercocok tanam padi sejak 13.500 hingga 8.200 SM.
Mereka menampilkan ciri khas Austronesia, seperti pencabutan gigi, penghitaman gigi, ukiran giok, seni rajah, rumah panggung, teknologi pembuatan perahu yang mutakhir, pertanian lahan basah, dan domestikasi anjing, babi, dan ayam. Hal ini termasuk diantaranya ialah kebudayaan-kebudayaan Kuahuqiao, Hemudu, Majiabang, Songze, Liangzhu, dan Dapenkeng yang berkembang di daerah pesisir antara delta Sungai Panjang dan delta Sungai Min.
d. Daftar Suku Bangsa Austronesia
Bangsa Austronesia terdiri dari beberapa kelompok sebagai berikut:
- Formosa: Taiwan (e.g., Amis, Atayal, Paiwan, Tao) Adalah penduduk asli taiwan yang umumnya ditujukan kepada suku bangsa pribumi di Taiwan. Para pemakai bahasa Austronesia di Taiwan awalnya tersebar di sebagian besar wilayah pegunungan di tengah pulau tersebut dan terkonsentradi di desa-desa di sepanjang daratan aluvial. Sejumlah besar penduduk asli Taiwan saat ini tinggal di pegunungan dan perkotaan.
- Melayu-Polinesia: adalah sebuah cabang utama dari rumpun bahasa Austronesia yang mencakup semua bahasa Austronesia yang dipertuturkan di luar Taiwan dan memiliki jumlah penutur sekitar 351 juta jiwa. Secara luas, bahasa-bahasa Melayu-Polinesia (MP) terbagi dalam 2 subkelompok utama, yaitu: a) Melayu-Polinesia Barat; Bahasa Melayu-Polinesia Barat memiliki 300 juta penutur dan termasuk Melayu, Sunda, Jawa, Tagalog, Cebuano, Ilokano, Hiligaynon, Bikol, Kapampangan, dan Waray-Waray, Bugis, Malagasi, dan sebagainya. b) Melayu-Polinesia Tengah-Timur; Bahasa Melayu-Polinesia Tengah–Timur memiliki 2 subkelompok: bahasa-bahasa Polinesia dan bahasa-bahasa Mikronesia. Bahasa-bahasa Mikronesia mencakup bahasa-bahasa yang diucapkan penduduk asli Mikronesia seperti Nauru, Sama dan Chamorro. Bahasa-bahasa Polinesia termasuk bahasa Hawai'i, Maori, Samoa, Tahiti, Tonga dan Tuvalu. Semua bahasa yang disebutkan memiliki status resmi di berbagai negara dan teritorial Samudra Pasifik, dan secara keseluruhan, bahasa-bahasa tersebut dituturkan hampir oleh 1 juta orang.
- Rumpun Filipinik; juga disebut sebagai Filipinik, adalah cabang Austronesia yang diusulkan pada tahun 1991 oleh Robert Blust untuk menggabungkan semua bahasa di Filipina, Kepulauan Lanyu, bagian utara pulau Sulawesi, dan Sabah (kecuali rumpun bahasa Sama-Bajau) ke dalam satu kelompok. Alasannya adalah walau letak kepulauan Filipina dekat dengan pusat penyebaran bahasa Austronesia keluar dari Taiwan, keragaman bahasa di antara sekitar 150 bahasa di Filipina tidak begitu besar (Adelaar dan Himmelmann, 2005). Termasuk dalam Rumpun Filipinik, yaitu: a) Sulawesi Utara : (e.g., Minahasa, Mongondow, Gorontalo, Sangir, Talaud); b) Luzon Selatan (e.g., Tagalog, Bikolano); c) Luzon Tengah: (e.g., Kapampangan, Pangasinan, Sambal); d) Lumad: Mindanao (e.g., Kamayo, Mandaya, Mansaka, Kalagan, Manobo, Tasaday, T'boli); e) Luzon Utara (e.g., Ilokano, Ibanag, Itawes); f) Visayas dan pulau-pulau di sekitarnya (e.g., Aklanon, Boholano, Cebu, Hiligaynon, Masbateño, Waray); g) Igorot: Cordillera (e.g., Balangao, Ibaloi, Ifugao, Itneg, Kankanaey);
- Rumpun Chamik; Rumpun bahasa Chamik, disebut juga dengan nama rumpun bahasa Aceh–Champa, adalah suatu kelompok yang terdiri dari sepuluh bahasa yang dipertuturkan di Aceh dan di sebagian wilayah Kamboja, Vietnam, dan Hainan (RRC), yang termasuk dalam keluarga bahasa-bahasa Austronesia. Termasuk dalam Rumpun Chamik adalah Kamboja, Hainan, Vietnam (bekas wilayah Kerajaan Champa) beserta Aceh di utara Sumatra (e.g., Aceh, Cham, Jarai, Utsul).
- Rumpun Kalimantan (e.g., Kadazan-Dusun, Murut, Iban, Bidayuh, Dayak, Lun Bawang/Lundayeh). Ada 5 budaya dasar masyarakat asli rumpun Austronesia di Kalimantan atau Etnis Orang Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai dan Paser.
- Rumpun Malagasi: Madagaskar (e.g., Betsileo, Merina, Sihanaka, Bezanozano). Bangsa Malagasi suatu bangsa serta gabungan kelompok etnis yang merupakan penghuni asli wilayah pulau Madagaskar, di lepas pantai timur benua Afrika. Nicolas Brucato dan rekan-rekannya telah menerbitkan sebuah makalah berjudul: Leluhur genetik Malagasi berasal dari sebuah pos perdagangan Melayu yang bersejarah di Kalimantan Tenggara. Mereka mempelajari genom berbagai populasi pulau Kalimantan: suku Banjar dan suku Dayak Ngaju. Data ini dibandingkan dengan populasi yang berbeda di Samudra Hindia, termasuk tiga populasi Malagasi: Vezo, Mikea dan Temoro (Antemoro), dari studi genetik sebelumnya. Para peneliti melakukan analisis menggunakan perangkat lunak ADMIXTURE. Perangkat lunak GLOBETROTTER memperkirakan populasi Banjar sebagai campuran genetik suku Melayu (77%) dan Ma'anyan(23%) yang tanggal campuran terakhir diperkirakan sekitar 425 tahun di antara orang Banjar. Namun tanggal campuran genetik pertama harus sebelum migrasi di pulau Madagaskar diperkirakan sekitar 1000 tahun.
- Rumpun Halmahera Selatan-Cendrawasih: Bahasa Halmahera Selatan-Nugini Barat, juga disebut bahasa Halmahera Selatan-Cenderawasih, adalah sekelompok 42 bahasa Melayu-Polinesia. Penuturnya tinggal di bagian selatan pulau Halmahera dan bagian barat pulau Papua, di kawasan Teluk Cenderawasih. Rumpun Halmahera Selatan-Cendrawasih diantaranya adalah: a) Teluk Cendrawasih (e.g., Biak, Yaur, Yapen, Moora, Waropen); b) Kepulauan Raja Ampat (e.g., Ma'ya, Ambel, Maden); c) Halmahera Selatan (e.g., Gane, Buli, Sawai, Patani)
- Rumpun Oseanik; Rumpun bahasa Oseanik adalah nama sebuah cabang kelompok bahasa dari rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari sekitar 450 bahasa. Rumpun Oseanik terdiri dari: a) Oseanik Barat: pesisir utara Papua (e.g., Kayupulau, Tobati-Enggros, Sarmi), pesisir utara PNG (Teluk Huon, Kepulauan Schouten), Tanjung PNG (e.g., Buhutu, Motu, Kilivila), Irlandia Baru; b) Kepulauan Solomon : Solomon Tenggara (e.g., Kwaraqae, Lau, ꞌAreꞌare, Lengo, Nggela), Temotu; c) Oseanik Selatan: Kanak, Ni-Vanuatu; d) Mikronesia (e.g., Caroline, Chamorro, Palau, Nauru); e) Fiji-Polinesia: Fiji (e.g., Rotuma, iTaukei) , Polinesia (e.g., Māori, Hawaii, Samoa, Tonga)..
- Rumpun Moken: Myanmar, Thailand. Moken adalah nama suku yang ada di Asia Tenggara yang kehidupannya sebagian besar sebagai penggembara di lautan. Suku ini Kebanyakan berada di sekitar Laut Andaman di Myanmar, pantai barat Thailand.
- Suku Bajau. Suku Bajau atau Suku Sama adalah suku bangsa nomaden yang hidup di atas laut, sehingga disebut gipsi laut. Suku Bajau menggunakan bahasa Sama-Bajau. Suku Bajau sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar ke negeri Sabah, berbagai wilayah Indonesia, dan wilayah Filipina seperti Kepulauan Sulu. Suku Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah. Suku-suku di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah.
- Rumpun Sunda–Sulawesi (berdasarkan geografis) yang terdiri dari Melayu, Sunda, Jawa, Bali, Batak, Minangkabau, Sasak (secara geografis termasuk Malaysia, Brunei, Pattani, Singapura, Kepulauan Cocos (Keeling), sebagian Sri Lanka, selatan Myanmar, dan sebagian besar Indonesia barat dan tengah).
Rumpun bangsa Austronesia atau yang merujuk rumpun bahasa Austronesia adalah rumpun bahasa yang paling tersebar luas di dunia, mencakup separuh dunia ini dari Pulau Paskah di timur Samudra Pasifik hingga Madagaskar di barat Samudra Hindia.
Rumpun bahasa Austronesia kini dituturkan oleh sekitar 386 juta orang (4,9% dari populasi global), menjadikannya rumpun bahasa terbesar kelima berdasarkan jumlah penutur. Bahasa Austronesia dengan jumlah penutur terbanyak adalah Melayu (Indonesia dan Malaysia), Jawa, dan Tagalog. Rumpun ini beranggotakan 1.257 bahasa, menjadikannya keluarga bahasa terbesar kedua menurut jumlah bahasa.
Wilayah geografis yang mencakup populasi penutur asli Austronesia kadang-kadang disebut sebagai Austronesia. Nama geografis lain untuk berbagai subkawasan termasuk Semenanjung Melayu, Kepulauan Sunda Besar, Kepulauan Sunda Kecil, Melanesia, Asia Tenggara Maritim, Kepulauan Melayu, Mikronesia, Oseania Dekat, Oseania, Kepulauan Pasifik, Oseania Jauh, Polinesia, dan Wallacea. Di Indonesia dan Malaysia, istilah nasionalistik Nusantara juga populer disematkan untuk kawasan mereka.
Pada tahun 2009, Roger Blench menyusun peta Austronesia yang diperluas yang berdasarkan berbagai bukti seperti catatan sejarah, kata-kata serapan, tumbuhan dan hewan yang diperkenalkan, genetika, situs arkeologi, dan budaya. Peta tersebut turut memasukkan pesisir Pasifik Amerika, Jepang, Kepulauan Yaeyama, pantai Australia, Sri Lanka dan pesisir Asia Selatan, Teluk Persia, beberapa pulau di Lautan Hindia, Afrika Timur, Afrika Selatan, dan Afrika Barat.
Dalam sejarah, suku bangsa Austronesia secara unik hidup di "dunia pulau". Kawasan Austronesia hampir secara eksklusif merupakan pulau-pulau di Lautan Teduh dan Hindia, dengan iklim tropis atau subtropis yang dominan dengan curah hujan musiman yang berlimpah. Mereka memiliki penetrasi yang terbatas ke pedalaman pulau-pulau besar atau daratan utama.
Suku bangsa Austronesia terdiri dari penduduk asli Taiwan, mayoritas kelompok etnis di Brunei, Timor-Leste, Indonesia, Madagaskar, Malaysia, Mikronesia, Filipina, dan Polinesia. Selain itu, termasuk pula Melayu Singapura; orang Polinesia di Selandia Baru, Hawaii, dan Chili; orang Kepulauan Selat Torres di Australia; sejumlah kelompok etnis Melanesia di pesisir Pulau Papua; penutur bahasa Bushi di Komoro, dan penutur bahasa Malagasi dan Bushi di Réunion. Mereka juga bermukim di wilayah Thailand Selatan; tanah Cham di Vietnam, Kamboja, dan Hainan; dan Kepulauan Mergui di Myanmar.
4. Kesimpulan
Jadi, “Out of Taiwan Theory” dalam Penelusuran Nenek Moyang Bangsa Indonesia, setelah memahami tentang pembahasan Taiwan dan Rumpun Bangsa-bahasa Austronesia, dapat disimpulkan bahwa:
a. "Out of Taiwan Theory” terkait erat dengan Rumpun Bangsa dan Bahasa Austronesia.
b. '"Out of Taiwan Theory” menyatakan bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia berasal dari Taiwan. Pernyataan ini awalnya diungkapkan oleh ilmuwan bernama Peter Stafford Bellwood dan Robert Blust. 'Out of Taiwan Theory” adalah salah satu teori yang dapat dikembangkan dalam penelusuran asal-usul Nenek-moyang Bangsa Indonesia.
Mengingat, Asia Tenggara Kepulauan mulai dihuni oleh manusia modern sejak era Paleolitikum mengikuti rute migrasi pesisir, mungkin dimulai sebelum 70.000 SM, jauh sebelum berkembangnya budaya Austronesia. Populasi ini memiliki ciri khas berkulit gelap, berambut keriting, dan perawakan pendek, membuat orang Eropa percaya bahwa mereka terkait dengan orang Pigmi Afrika dalam kajian biologi ras di abad ke-19. Namun, terlepas dari perbedaan fisik ini, penelitian genetika menunjukkan bahwa mereka lebih dengan populasi Eurasia lainnya ketimbang populasi Afrika. Sehingga, untuk mengetahui asal-usul nenek moyang Bangsa Indonesia, tidak hanya merujuk pada “Out of Taiwan Theory” saja, akan tetapi juga melihat teori yang lain, seperti “Out of Africa Theory”.
Komentar
Posting Komentar