Peradaban Lembah Sungai Kuning-Tiongkok Kuno (Dimulai sekitar 7000 SM) | Peradaban Awal Dunia

A. Pendahuluan
Peradaban Lembah Sungai Kuning (Tiongkok) adalah salah satu peradaban tertua di dunia, yang telah didiami oleh manusia purba sejak 1,7 juta tahun yang lalu. Peradaban ini berawal dari berbagai negara kota di sepanjang lembah Sungai Kuning pada zaman Pra hingga Neolitikum.
Sungai Kuning juga biasa disebut dengan ‘Huang He’ dalam bahasa Tiongkok. Secara Geografis, pada hulunya di sungai ini, sangatlah sempit, melewati celah-celah pegunungan di Dataran Tinggi Tibet. Kemudian pada bagian tengahnya, sungai ini melewati padang gurun di Provinsi Mongolia Dalam, sebelum menembus Pegunungan Barat (Shan Xi). Karena melewati dataran gurun inilah, membawa material tanah berwarna kuning yang disebut “Loess”, yang sangat cocok bagi pertanian. Oleh sebab itu, sungai ini dinamakan sungai Kuning. Bagian hilir dari sungai ini mengaliri bagian utara Dataran Tiongkok, dan secara administrasi melewati tiga Provinsi, yaitu Provinsi Henan, Hebei, dan Shandong. Sungai Kuning saat ini bermuara di Laut Bohai, sebelah utara Semenanjung, Pegunungan Timur (Shan Dong). Namun dalam sejarahnya pernah bermuara di Laut Kuning, yaitu di sebelah selatan semenanjung tersebut (di antara Tiongkok dan semenanjung Korea).
Pada awalnya, Peradaban Lembah Sungai Kuning menumbuhkan Kebudayaan Jiahu (Situs Neolitik, yang didiami sekitar 7000-5800 SM). Di Damaidi di Ningxia, ditemukan 3.172 lukisan gua berasal dari 6000-5000 SM yang mirip dengan karakter-karakter awal yang dikonfirmasi sebagai aksara Tionghoa. Kebudayaan Yangshao yang muncul belakangan dilanjutkan dengan Kebudayaan Longshan pada sekitar 2500 SM.
Pada zaman pra Neolithikum (sampai sekitar 5000 SM), masyarakat Tiongkok Kuno tinggal di desa-desa kecil di sekitar Lembah Sungai Kuning, di rumah-rumah kecil dan bundar yang dibangun di dalam tanah, mengenakan kulit binatang, dan mempraktikkan bentuk agama animisme.
Kehidupan sehari-hari masyarakat di sekitar Lembah Sungai Kuning bervariasi, tergantung pada status sosial, tetapi umumnya didominasi oleh pertanian. Para Petani menggarap lahan pertanian keluarga kecil, mereka menggunakan bajak, terkadang anjing dan lembu, tetapi sebagian besar pekerjaan dilakukan dengan tangan. Kehidupan petani keras dan sulit. Desa-desa kecil seperti Banpo tumbuh menjadi komunitas yang lebih besar dan kemudian menjadi kota.
Perlu diketahui bahwa, sejak zaman dahulu, pertanian di Tiongkok telah dibagi menjadi dua wilayah utama oleh Pegunungan Qin (Sebelumnya Nanshan (Pegunungan Selatan), adalah pegunungan utama di Provinsi Shaanxi selatan), dengan gandum dan millet yang dominan di wilayah utara dan beras di wilayah selatan. Pada periode dan tempat yang berbeda, tambahan mencakup kedelai; buah pohon seperti persik dan kesemek; rami ( Cannabis sativa ); tanaman mint atau perilla Korea ( Perilla frutescens ); Rapeseed dan canola ( Brassica campestris ) adalah tanaman biji minyak yang termasuk dalam keluarga Brassicaceae (kembang kol atau sawi) dan kastanye air atau juga dikenal dengan nama lain seperti kacang kelelawar atau kacang kerbau ( Trapa natans ); teh ( Camellia sinensis ) dan sutra (melalui serikultur, pemeliharaan ulat sutra) merupakan komoditi yang telah diperdagangkan semenjak periode Neolithikum. Selain itu, pada periode ini, Hewan peliharaan mencakup anjing, babi, ayam, kambing, dan sapi.
Setelah itu, Dinasti Xia (2070-1600 SM) adalah bentuk pemerintahan pertama di Tiongkok yang membangun kota-kota besar. Dinasti ini, awalanya dianggap sebagian besar bersifat mitologis hingga ditemukan bukti arkeologis yang, menurut beberapa ilmuwan, membuktikan keberadaannya (meskipun hal ini masih diperdebatkan).
Pandangan konvensional terhadap sejarah Tiongkok menjelaskan bahwa Tiongkok merupakan suatu negara yang mengalami pergantian antara periode persatuan dan perpecahan politis yang kadang-kadang dikuasai oleh suku bangsa asing (non-Han), yang sebagian besar terasimiliasi ke dalam populasi Suku Han. Pengaruh Budaya dan politik dari berbagai wilayah di Asia, yang dibawa oleh gelombang imigrasi, ekspansi, dan asimilasi yang bergantian, menyatu untuk membentuk Budaya Tiongkok modern.
Secara tertulis, sejarah Tiongkok dimulai sejak Dinasti Xià (Sekitar 2070–1600 SM), akan tetapi sejarah awal Tiongkok dibuat rumit oleh kurangnya tulisan pada periode ini dan dokumen-dokumen pada masa sesudahnya yang mencampurkan fakta dan fiksi pada zaman ini. Setelah Dinasti Xia, muncullah Dinasti Shang (1600-1046 SM), saat tulisan dikembangkan dan bukti tertulis pertama muncul tentang seperti apa kehidupan orang-orang di Tiongkok kuno.
Berikut adalah periodesasi perkembangan pada peradaban Tiongkok:
1. Zaman Prasejarah/Pra aksara):
a) Zaman Paleolitikum (sampai 5000 SM)
b) Zaman Neolitikum:
  • Budaya Jiahu (7000-5800 SM)
  • Budaya Peiligang (7000 SM-5000 SM);
  • Budaya Pengtoushan (7500-6100 SM);
  • Budaya Cishan (6500–5000 SM)
  • Budaya Houli (6500–5500 SM);
  • Budaya Xinglongwa (6200–5400 SM)
  • Budaya Dadiwan (sekitar 5800–5400 SM)
  • Budaya Xinle (5500–4800 SM)
  • Budaya Hemudu (5500-3300 SM);
  • Budaya Majiabang-sebelumnya Ma-chia-pang (5500-3300 SM);
  • Budaya Zhaobaogou (5400–4500 SM);
  • Budaya Beixin (5300-4100 SM);
  • Budaya Yangshao (5000-3000 SM);
  • Budaya Hongshan (4700-2900 SM);
  • Budaya Dawenkou (4300-2600 SM);
  • Budaya Songze (sekitar 3800-3300 SM);
  • Budaya Liangzhu (3300–2300 SM);
  • Budaya Majiayao (sekitar 3300–2000 SM);
  • Budaya Longshan (3000-2000 SM);
2. Zaman Kuno
a) Tiga Maharaja dan Lima Kaisar (Sekitar 6.000–2070 SM);
b) Dinasti Xia (Sekitar 2070 –1600 SM);
c) Dinasti Shang (1600 –1046 SM);
d) Dinasti Zhou (1046 – 256 SM):
1) Zhou Barat (1046 – 771 SM);
2) Zhou Timur (770 - 256 SM):
  • Periode Musim Semi dan Gugur (770 - 476 SM);
  • Periode Negara Perang (476 - 221 SM).
3. Zaman Kekaisaran
a) Dinasti Qin (221–206 SM);
b) Dinasti Han (206 SM – 220 M):
  • Dinasti Han Barat (206 SM – 8 M)
  • Dinasti Xin (8-23 M)
  • Dinasti Han Timur (23-220 M)
c) Tiga Negara (Wei, Shu, dan Wu) (220–280 M)
d) Dinasti Jin (265–420 M):
  • Dinasti Jin Barat (265-316 M)
  • Dinasti Jin Timur (317-420 M)
e) Enam Belas Negara (304-439 M)
f) Dinasti Selatan dan Utara (420–589 M)
g) Dinasti Sui (581–618 M)
h) Dinasti Tang (618–907 M)
i) Dinasti Zhou Kedua (690–705 M)
j) Lima Dinasti dan Sepuluh Negara (907–960 M)
k) Dinasti Liao (907–1125 M)
l) Dinasti Song (960–1279 M):
  • Song Utara (960-1127 M)
  • Song Selatan (1127-1279 M)
m) Dinasti Xia Barat (1038-1227 M)
n) Dinasti Jin Raya (1115-1234 M)
o) Dinasti Yuan (1271–1368 M)
p) Dinasti Ming (1368–1644 M)
q) Dinasti Qing (1644–1911 M)
4. Zaman Modern
a) Republik Tiongkok (1912–1949) di Tiongkok Daratan

B. Perkembangan Peradaban
Pada awalnya, peradaban Tiongkok merujuk pada perkembangan awal Lembah Sungai Kuning. Dengan penemuan awal Di desa Yangshao, Provinsi Henan, sekitar tahun 1921. Disana ditemukan sisa-sisa pakaian rami dan sutra, serta peralatan batu dan pot tanah liat. Penemuan ini kemudian dinamai Kebudayaan Yangshao, yang merupakan salah satu kebudayaan Neolitikum, yang berkembang sekitar tahun 5000-3000 SM.
Dari pengembangan penggalian, dapat disimpulkan sementara bahwa Peradaban Lembah Sungai Kuning, yang merupakan salah satu peradaban tertua di dunia, melewati beberapa fase penting, dari pra-Neolitikum hingga periode metalurgi.
Pada masa pra-Neolitikum, masyarakat hidup dengan berburu dan meramu. Kemudian, pada masa Neolitikum, masyarakat mulai beralih ke pertanian dan membuat perkakas dari batu. Terakhir, pada masa metalurgi, masyarakat mulai menggunakan logam, seperti perunggu dan besi, untuk membuat berbagai peralatan.
Perkembangan peradaban Lembah Sungai Kuning akan diuraiankan pembahasan berikut:
1. Pra Neolithikum
Pada awal abad ke-20, banyak penemuan arkeologi fenomenal dari zaman China kuno, yang mengungkap banyak rahasia masa lalu. Penemuan paleontologi di Tiongkok kuno meliputi penemuan fosil manusia purba, dinosaurus, burung, dan cacing purba. Dengan banyaknya penemuan, sekitar tahun 1929, Tiongkok mendirikan Museum Paleozoologi, yang bernama Museum Paleoanthropologi Shu-hua, yang terletak di Beijing.
Salah seorang ilmuwan yang terkait adalah Xu Xing (lahir Juli 1969), yang merupakan ahli paleontologi yang telah menjelajahi sebagian besar wilayah Tiongkok dan memberi nama spesies dinosaurus baru yang tak terhitung jumlahnya, Dinosaurus tersebut termasuk ceratopsian Yinlong dari Jurassic , tyrannosauroid Guanlong dari Jurassic, oviraptorosaur besar Gigantoraptor , dan troodontid Mei. Selain itu, kontribusi paleontologi Xu adalah penemuan dan analisis fosil dinosaurus dengan karakteristik burung, dan pengembangan teori mengenai evolusi bulu. Pada tahun 2024, Xu menjadi pemenang penghargaan Asian Scientist 100 oleh Asian Scientist.
Beberapa penemuan fosil purba di Tiongkok, yang akan diuraikan sebagaimana berikut:
a. Penemuan fosil manusia purba
  • Tengkorak "Manusia Peking" ditemukan oleh Pei Wenzhong pada tahun 1929 di Bukit Tulang Naga, Zhoukoudian, Beijing.
  • Fosil manusia kuno HLD 6 ditemukan di Hua Longdong, Asia Timur pada tahun 2019.
  • Fosil hominin Homo Juluensis atau "kepala besar", yang ditemukan di Xujiayao, China Utara. Temuan fosil Homo juluensis menunjukkan bahwa hominin berotak besar (Juluren) tersebar luas di sebagian besar Asia timur pada akhir kuartal 300 ribu-500 ribu tahun lalu.
b. Penemuan fosil dinosaurus
  • Ruixinia zhangi adalah nama dinosaurus berleher panjang yang ditemukan di Provinsi Liaoning, Tiongkok, yang termasuk dalam titanosauriformes, kelompok dinosaurus sauropoda yang beragam bentuknya. Dinosaurus ini hidup sekitar 125 juta tahun lalu, pada era Barremian dari zaman Cretaceous Awal.
  • Selain itu, ditemukan pula dinosaurus berleher panjang yang lain, di Formasi Shishugou, barat laut Tiongkok, pada bulan Agustus 1987, yaitu Fosil dinosaurus Mamenchisaurus sinocanadorum. Fosil tersebut ditemukan dari ujung patah tulang rusuk leher yang sangat besar. Mamenchisaurus sendiri pertama kali ditemukan pada tahun 1952 di sebuah situs konstruksi jalan tol di Sichuan, Tiongkok. Fosil tersebut dinamakan Mamenchisaurus constructus oleh seorang paleontologis terkenal Tiongkok bernama Professor Yang Zhongjian.
  • Penemuan telur embrio dinosaurus yang dijuluki ‘Bayi Yingliang’, oleh Christopher Bae dari Universitas Hawai'i dan Xiuju Wu dari Institut Paleontologi Vertebrata, yang diklasifikasikan sebagai elongatoolithid, berusia 72 juta tahun. Telur tersebut ditemukan di Ganzhou, Tiongkok selatan.
c. Penemuan fosil burung
Fosil nenek moyang burung berparuh yang hidup sekitar 119 juta tahun yang lalu ditemukan di Tiongkok timur laut. Burung berevolusi dari dinosaurus theropoda maniraptora pada era Mesozoikum. Burung tersebut ber spesies Archaeopteryx, yang merupakan burung hasil evolusi awal, yang memiliki bulu dan tulang selangka.
d. Penemuan fosil cacing purba
Fosil cacing purba berduri yang diberi nama “Monster China Collin”, ditemukan di Tiongkok,dan Hasil penelitian dari para peneliti di Universitas Cambridge dan Universitas Yunnan di Tiongkok, baru diterbitkan 29 Juni 2015, dalam jurnal PNAS.
Analisis terperinci tentang bentuk dan hubungan evolusinya menunjukkan bahwa Monster Collins Tiongkok adalah nenek moyang awal cacing beludru modern, atau onikofora, sekelompok kecil hewan lembek yang menyerupai cacing berkaki yang hidup terutama di hutan tropis di seluruh dunia. Fosil tersebut ditemukan di endapan Xiaoshiba di Cina selatan, sebuah situs yang kurang dieksplorasi dibandingkan endapan Chengjiang yang lebih besar di dekatnya, tetapi telah memunculkan spesimen yang menarik dan terawat baik dari periode penting dalam sejarah Bumi ini.
2. Neolithikum
Masa Neolitikum ditandai dengan transisi masyarakat dari berburu dan meramu ke pertanian menetap,mereka juga mulai mengembangkan teknik pertanian, seperti bercocok tanam padi dan gandum, serta memelihara hewan ternak. Perkembangan Neolitikum di Lembah Sungai Kuning, ditandai dengan perkembangan Budaya-budaya masyarakat nya, yang dibuktikan dengan temuan-temuan selama penggalian. Berikut merupakan penjelasan Kebudayaan-kebudayaan yang berkembang di sekitar lembah Sungai Kuning, Tiongkok:
a. Budaya Jiahu (7000-5800 SM)
Budaya ini adalah suatu situs pemukiman neolitik di Sungai Kuning yang berpusat di dataran tengah Tiongkok kuno, Provinsi Henan saat ini. Situs arkeologi Budaya Jiahu, terletak di dataran Sungai Ni, yang mengalir di bagian utara, merupakan anak sungai Luo. Sungai Ni berhulu di Kabupaten Luanchuan, kemudian mengalir melalui Kabupaten Song dan Yichuan sebelum memasuki Kota Luoyang, Henan. Selain itu, Budaya Jiahu juga terletak di kawasan Sungai Sha, yang mengalir di bagian selatan, merupakan anak sungai Wei. Perlu diketahui, bahwa sungai ini, merupakan salah satu sungai utama di Tiongkok, yang berhulu di Pegunungan Longmenshan di Henan.
Awalnya, para arkeolog menyimpulkan bahwa antara budaya Jiahu dan Peiligang merupakan budaya yang sama, dikarenakan lokasi mereka yang terletak didalam Provinsi Henan. Akan tetapi beberapa Arkeolog mencermati bahwa, letak geografis Budaya Jiahu lebih ter_isolir dibandingkan Budaya Peiligiang, sehingga kedua kebudayaan tersebut dibedakan, walaupun memiliki kesamaan karakteristiknya. Para Arkeolog telah membagi Budaya Jiahu menjadi tiga fase yang berbeda, yaitu:
1) Fase paling awal berlangsung dari 7000-6600 SM,
2) fase tengah berlangsung dari 6600-6200 SM; dan
3) fase terakhir berlangsung dari 6200 hingga 5700 SM.
Dua fase terakhir berhubungan dengan budaya Peiligang, sedangkan fase paling awal hanya terjadi di Jiahu.
Awal ditemukan oleh Zhu Zhi pada tahun 1962, yang kemudian penggalian intensif di situs tersebut baru dilakukan pada tahun 1980-an. Peneliti Tiongkok dari Institut Peninggalan Budaya dan Arkeologi Provinsi Henan, yang dipimpin selama bertahun-tahun oleh Zhang Juzhong, seorang profesor dari Universitas Sains dan Teknologi Tiongkok, telah melakukan penelitian arkeologi di sekitar situs tersebut selama beberapa dekade.
Pemeriksaan teliti terhadap kerangka lebih dari 400 individu, yang dikeluarkan lebih dari 300 makam, oleh beberapa tim ilmiah selama 30 tahun terakhir menggambarkan bahwa kelompok etnis Jiahu merupakan bagian dari kelompok Mongoloid Utara, dan diidentifikasi erat dengan sub-kelompok Miaodigou dan Xiawanggang (Budaya Yangshao), yang juga merupakan keturunan pemburu-pengumpul di Henan modern, serta sub-kelompok Masyarakat Dawenkou dan Xiajiadian, yang kemudian ditemukan di Provinsi Shandong.
Situs tersebut dihuni sekitar 7000 SM, kemudian terjadi bencana banjir dan setelah itu ditinggalkan sekitar 5700 SM. Pemukiman budaya Jiahu tersebut dikelilingi oleh parit, yang menutupi area relatif besar yaitu sekitar 55.000 meter persegi (5,5 ha). Pada suatu waktu, situs tersebut adalah "masyarakat Neolitikum Tiongkok yang kompleks dan sangat terorganisir", dengan populasi antara 250 dan 800 orang.
Hingga saat ini, 45 tempat tinggal telah digali di situs Budaya Jiahu, dengan sebagian besar berukuran antara empat kali sepuluh meter. Sebagian besar di antaranya digali ke dalam tanah dan memiliki satu ruangan, meskipun beberapa kemudian diperluas hingga memiliki beberapa ruangan, hasil galian termasuk Lubang sampah dan gudang penyimpanan.
Dalam penggalian tersebut, juga ditemukan berbagai artefak termasuk situs pemakaman, tungku tembikar, berbagai peralatan dari batu dan tanah, serta bangunan pusat besar yang diyakini sebagai ruang kerja bersama. Hal ini menunjukkan bahwa pemukiman yang cukup maju pada periode Neolitikum awal.
Selain itu, Penemuan penting dari situs arkeologi Jiahu termasuk simbol-simbol Jiahu, mungkin contoh awal proto-tulisan, yang diukir pada kulit dan tulang kura-kura. Terdapat pula temuan Seruling Jiahu, yang diyakini sebagai salah satu alat musik tertua yang dapat dimainkan di dunia, terdiri dari 33 bagian yang diukir dari tulang sayap burung bangau. Ada juga bukti produksi alkohol melalui fermentasi beras, madu, dan daun hawthorn.
b. Budaya Peiligang (7000-5000 SM);
Budaya Peiligang adalah Kebudayaan Neolitikum yang berkembang di lembah Sungai Yi dan Sungai Luo, Provinsi Henan, Tiongkok. Sungai Yi merupakan anak sungai dari Sungai Luo. Sungai Yi berhulu di Kabupaten Luanchuan dan mengalir melalui beberapa kota, termasuk Kabupaten Song dan Yichuan sebelum memasuki Kota Luoyang, sebelum menyatu dengan Sungai Luo di Yanshi. Sedangkan Sungai Luo sendiri adalah sungai yang lebih panjang, berhulu di sisi tenggara Gunung Hua di Provinsi Shaanxi, mengalir ke timur mengalir melalui dataran tinggi Loess, ke Provinsi Henan, dan bermuara ke Sungai Kuning di kota Gongyi.
Kebudayaan ini dinamai berdasarkan atas suatu situs yang ditemukan pada 1977 di Peiligang, Xinzheng, Zhengzhou, Provinsi Henan. Budaya Peiligang bersifat egaliter dengan sedikit pengaturan politik. Selain itu, masyarakat pada Kebudayaan ini telah bercocok tanam milet serta beternak hewan babi dan mereka telah membuat Tembikar dari tanah liat.
c. Budaya Pengtoushan (7500-6100 SM);
berpusat terutama di sekitar wilayah Sungai Yangtze tengah di barat laut Hunan, Tiongkok. Kebudayaan ini kira-kira sezaman dengan tetangganya di utara, yaitu Kebudayaan Peiligang.
Situs Pengtoushan ditemukan di County Li, Hunan, yang merupakan sebuah situs desa permanen pertama yang ditemukan di Tiongkok. Digali pada tahun 1988, Salah satu ciri dari kerajinan Budaya Pengtoushan adalah tembikar yang bertanda tali, ditemukan di antara barang-barang pemakaman.
Selain itu, masyarakat pada Budaya Pengtoushan telah menggunakan padi, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini dibuktikan dengan penemuan padi di situs tersebut, dengan ukuran lebih besar dari ukuran padi liar alami. Walaupun alat penggarap padi ditemukan berikutnya, di situs-situs selanjutnya yang terkait dengan Kebudayaan Pengtoushan.
d. Budaya Cishan (6500–5000 SM)
Budaya ini merupakan budaya Neolitikum di Tiongkok utara, di kaki bukit timur Pegunungan Taihang, yang dikaitkan dengan asal usul keluarga bahasa Sino-Tibet. Situs tipe Budaya Cishan terletak di Wu'an, Hebei, Tiongkok pada dataran tinggi dengan elevasi rendah.
Masyarakat Budaya Cishan didasarkan pada pertanian millet sapu dan millet ekor rubah, yang budidayanya di satu situs telah ada sejak 10.000 tahun yang lalu. Mereka juga berburu tanaman Kacang-kacangan (Juglans regia dan Corylus heterophylla ), Celtis bungeana , aprikot, pir liar, berbagai akar dan umbi-umbian, yang didapatkan di Hutan. Ikan juga merupakan bagian penting dari makanan di Cishan, khususnya ikan mas dan ikan haring, yang didapat dari sungai terdekat; dengan menggunakan jaring, yang terbuat dari serat rami.
Selain itu, Situs Cishan menunjukkan bahwa mereka telah memelihara babi, dan ayam, dengan babi sebagai sumber utama dagingnya untuk dikonsumsi sehari-hari. Masyarakat Cishan juga masih berburu rusa dan babi hutan.
Reruntuhan rumah-rumah yang ditemukan di situs Cishan, semi-bawah tanah dan berbentuk bulat. Lebih dari 500 lubang penyimpanan Millet ditemukan dbawah tanah. Artefak umum dari budaya Cishan meliputi penggiling batu, sabit batu, dan tembikar berkaki tiga. Bilah sabit memiliki gerigi yang cukup seragam , yang memudahkan pemanenan biji-bijian. Tanda tali, yang digunakan sebagai hiasan pada tembikar, lebih umum dibandingkan dengan budaya tetangga. Selain itu, para perajin tembikar Cishan menciptakan berbagai macam bentuk tembikar seperti baskom, penyangga pot, tatakan saji, dan cangkir minum.
e. Budaya Houli (6500–5500 SM);
Budaya Houli merupakan budaya Neolitikum, didasarkan pada situs Yuezhuang, yang terletak di Distrik Linzi, di Shandong, Tiongkok. Penggalian telah dilakukan dari tahun 1989 hingga 1990, di beberapa kawasan, diantaranya adalah Xihe, Xiaojingshan, Qianbuxia, dan Yuezhang. Dalam penggalian, ditemukan Millet Sapu, yang menjadikannya sebagai salah satu situs paling awal di Tiongkok yang menunjukkan bukti adanya budidaya millet. Selain itu, juga ditemukan Butir Beras. Selain itu, masyarakat Houli sebagian besar bergantung pada berburu dan memancing., karena tidak ditemukan bukti adanya hewan peliharaan di Yuezhang, karena tulang hewan yang ditemukan di situs tersebut semuanya berasal dari hewan liar.
Masyarakat pada budaya ini tinggal di rumah persegi, semi-bawah tanah. Artefak yang paling sering ditemukan di situs Houli diantaranya adalah tembikar, peralatan atau perkakas yang terbuat dari batu, tanduk serta tulang, kemudian perhiasan dari giok dan kerang juga ditemukan di situs Houli.
f. Budaya Xinglongwa (6200–5400 SM)
Budaya Xinglongwa adalah Budaya Neolitikum di Tiongkok timur laut , yang ditemukan terutama di sekitar perbatasan Mongolia Dalam - Liaoning di cekungan Sungai Liao.
Situs tipe di Xinglongwa terletak di sisi barat daya sebuah bukit di Aohan Banner , Chifeng , Mongolia Dalam ; situs ini dinamai berdasarkan sebuah desa yang berjarak 1,3 km di tenggara situs tersebut.
Sekitar 120 rumah berbentuk persegi panjang yang berderet, ditemukan di Xinglongwa, mengelilingi sebuah bangunan besar di tengah desa. Disetiap rumah, ditemukan perapian di tengahnya. Xinglongwa adalah situs paling awal yang ditemukan di Tiongkok yang dikelilingi oleh parit.
Situs yang ditemukan baru-baru ini, tahun 1982 di Xinglonggou adalah satu-satunya situs Budaya yang menunjukkan bukti adanya jenis pertanian millet.
Kompleks situs arkeologi tersebut mewakili dari Zaman Neolitikum hingga Zaman Perunggu yang terdiri dari tiga situs terpisah. Dalam urutan kronologis, berikut uraiannya:
  • ( Xinglonggou 1 ) situs tertua yang dikaitkan dengan Budaya Xinglongwa (6200–5400 SM),
  • ( Xinglonggou 2 ) dikaitkan dengan Budaya Hongshan (4700-2900 SM) dan
  • ( Xinglonggou 3 ) situs termuda yang dikaitkan dengan Budaya Xiajiadian Hilir (2200–1600 SM).
Situs-situs tersebut terletak di lereng loess di atas tepi kiri Sungai Mangniu di utara Pegunungan Qilaotu di Aohan Banner, Mongolia Dalam, Tiongkok.
Selain pemukiman, Budaya ini juga memiliki peninggalan lain, yaitu:
  • Tembikar: berbentuk Silinder, dipanggang pada suhu rendah, dengan motif Z dan pola jaring.
  • Giok: Contoh awal ukiran giok ditemukan di lantai rumah dan pemakaman, yang menjadi dasar produksi giok ritual yang khas pada masa Budaya Hongshan.
  • Beberapa artefak Keramik Sisir tertua ditemukan dalam Budaya Xinglongwa.
  • Sebuah seruling tulang dengan lima lubang jari juga ditemukan di situs Xinglongwa.
Budaya Xinglongwa juga menampilkan adat penguburan yang tidak biasa, karena beberapa jenazah dikubur langsung di bawah rumah. Benda-benda giok juga ditemukan. Di kuburan yang paling mewah, seorang pria dimakamkan dengan sepasang babi, serta benda-benda giok.
Menurut penelitian terhadap 34 pasang jenazah manusia dari pemakaman di Budaya Xinglongwa, individu laki-laki tampaknya lebih dominan daripada individu perempuan dengan rasio sekitar 2:1 (23 laki-laki vs. 11 perempuan). Dalam kelompok laki-laki, tidak ada individu yang diidentifikasi berusia di atas 55 tahun, sedangkan semua perempuan termasuk dalam kelompok usia menengah hingga tua (tidak ada yang berusia di bawah 35 tahun). Individu termuda yang diperiksa berusia 13 atau 14 tahun, jadi diduga bahwa anak-anak sebelum kesadaran seks yang matang mungkin tidak dimakamkan di rumah. Dari sampel yang diperiksa, tinggi rata-rata laki-laki adalah antara 163,8 cm dan 168,8 cm, sedangkan tinggi rata-rata perempuan adalah antara 153,4 cm – 159,9 cm.
Menurut beberapa makalah dan Kajian, Budaya Xinglongwa mungkin merupakan nenek moyang jauh dari masyarakat Asia Timur Laut masa kini yang termasuk dalam keluarga bahasa "Transeurasian" (alias Altaik ), walaupun pandangan ini juga menuai banyak kritik.
g. Budaya Dadiwan (sekitar 5800–5400 SM)
Merupakan suatu Budaya Neolitikum yang terletak terutama di bagian timur provinsi Gansu dan Shaanxi di Tiongkok modern . Budaya ini mengambil namanya dari lapisan budaya terdalam yang ditemukan selama penggalian asli situs tipe di Dadiwan, di Kabupaten Qin'an , Gansu terletak di atas kaki kipas yang dihasilkan oleh selokan yang mengalir ke lembah Sungai Qingshui, yang merupakan anak sungai dari Sungai Wei . Situs ini awalnya digali dari tahun 1975 hingga 1984, dan sekali lagi pada tahun 2004, 2006, dan 2009. Penggalian terbaru mengungkapkan bahwa manusia telah menempati lokasi tersebut secara sporadis setidaknya selama 60.000 tahun terakhir.
Dikenal karena memiliki tradisi dan karakter dalam pembiatan keramik, yaitu berdinding tipis dan bertanda tali yang kadang-kadang disebut sebagai ‘Laoguantai’. Budaya Dadiwan berbagi berbagai fitur umum, dalam tembikar, arsitektur, dan ekonomi, dengan budaya Cishan (6500–5000 SM)dan Budaya Peiligang (7000 SM-5000 SM) di timur. Selain itu, sisa-sisa millet , babi , dan anjing telah ditemukan di situs-situs yang terkait dengan budaya tersebut
h. Budaya Xinle (5500–4800 SM)
adalah Budaya Neolitikum di timur laut Tiongkok , yang ditemukan terutama di sekitar hilir Sungai Liao di Semenanjung Liaodong di Liaoning . Budaya tersebut menunjukkan bukti budidaya millet dan domestikasi babi. Situs tipe di Xinle ditemukan di Distrik Huanggu di Shenyang , Liaoning.
Situs ini diberi nama berdasarkan sebuah penginapan tua, di tanah itulah sisa-sisa bangunan pertama kali ditemukan. Pada tahun 1973, penggalian di lokasi tersebut menemukan bukti sekitar 40 rumah neolitik. Artefak yang ditemukan selama penggalian tersebut meliputi peralatan batu, tembikar, giok, peralatan tulang, ukiran kayu, dan batu bara olahan.
Pada tahun 1978, penggalian lain menemukan lebih banyak artefak termasuk satu ukiran kayu yang berusia sekitar 7.200 tahun, mungkin sejenis totem yang disembah oleh klan tersebut. Tidak ada temuan lain di seluruh Shenyang yang lebih tua, dan temuan itu merupakan salah satu ukiran kayu tertua yang ditemukan di seluruh dunia. Selain itu, Budaya ini menunjukkan bukti praktik budidaya millet dan domestikasi babi.
Setelah itu, tahun 1984 didirikian museum Xinle. Museum ini dibagi menjadi dua bagian, utara dan selatan. Bagian selatan berisi berbagai artefak yang digali selama berbagai penggalian yang dilakukan di lokasi seluas 44 hektar (180.000 m² ). Bagian utara berisi rekonstruksi desa Xinle dan beberapa rumah di pemukiman tersebut berisi representasi kehidupan 7.000 tahun yang lalu.
i. Budaya Hemudu (5500-3300 SM);
Kebudayaan Hemudu berkembang di selatan Teluk Hangzhou di Jiangnan Yuyao modern, Zhejiang, Tiongkok. Kebudayaan ini dapat dibagi menjadi fase awal dan akhir, masing-masing, sekitar sebelum dan sesudah 4000 SM. Para cendekiawan melihat Kebudayaan Hemudu sebagai sumber Kebudayaan proto-Austronesia. Selain itu, cendikiawan tersebut juga menegaskan bahwa Budaya Hemudu hidup berdampingan dengan Kebudayaan Majiabang sebagai dua Kebudayaan yang terpisah dan berbeda, dengan transmisi Budaya antara keduanya.
Pada periode ini pernah terjadi dua banjir besar, yang menyebabkan Sungai Yaojiang di dekatnya berubah arah dan membanjiri tanah mereka dengan air laut (Banjir rob), yang memaksa orang-orang Hemudu meninggalkan permukimannya. Orang-orang Hemudu tinggal di rumah-rumah panggung. yang panjang. Rumah panjang komunal juga umum di situs Hemudu, seperti yang ditemukan di Kalimantan modern.
Periode Hemudu awal adalah fase klan matrilineal. Keturunan dikatakan dari garis Ibu dan status sosial anak-anak serta wanita relatif tinggi. Pada periode selanjutnya, mereka secara bertahap bertransisi menjadi klan Patrilineal, yaitu status sosial berdasarkan garis laki-laki.
Masyarakat pada Budaya Hemudu menyembah roh matahari dan juga roh kesuburan. Mereka juga mengesahkan ritual perdukunan ke matahari dan percaya pada Totem Burung (Burung mewakili elemen udara).
Keyakinan akan kehidupan setelah kematian dan hantu diyakini telah terjadi. Orang-orang dikuburkan, dengan kepala menghadap ke timur atau timur laut, dan sebagian besar tidak memiliki benda pemakaman. Bayi dikuburkan di pemakaman gaya peti pasu (Terbuat dari tanah/tembikar), sementara anak-anak dan orang dewasa, dimakamkan di tanah. Mereka tidak memiliki tanah pemakaman komunal yang pasti, untuk sebagian besar, tetapi tanah pemakaman komunal klan telah ditemukan pada periode selanjutnya. Dua kelompok di bagian terpisah dari tanah pemakaman ini dianggap sebagai dua klan yang saling menikah. Ada lebih banyak barang penguburan di tanah pemakaman komunal ini.
Budaya Hemudu adalah salah satu Budaya paling awal untuk menanam padi. Penggalian baru-baru ini di lokasi periode Hemudu di Tianluoshan telah menunjukkan padi sedang mengalami perubahan evolusioner yang dikenal sebagai domestikasi. Sebagian besar artefak yang ditemukan di Hemudu terdiri dari tulang-tulang binatang, yang dicontohkan oleh cangkul yang terbuat dari tulang bahu yang digunakan untuk menanam padi.
Sisa-sisa berbagai tanaman, termasuk air caltrop (Trapa natans), Nelumbo nucifera, biji-bijian, buah melon, buah kiwi liar, blackberry, persik, kacang rubah (Gorgon euryale) dan labu air, ditemukan di Hemudu dan Tianluoshan.
Orang-orang Hemudu kemungkinan memelihara babi, dan anjing tetapi berlatih berburu rusa dan beberapa kerbau liar. Memancing juga dilakukan dalam skala besar, dengan fokus khusus pada ikan mas. Praktik memancing dan berburu dibuktikan oleh sisa-sisa tulang tombak dan busur dan kepala panah. Instrumen musik, seperti peluit tulang dan drum kayu, juga ditemukan di Hemudu. Desain artefak oleh penduduk Hemudu memiliki banyak kemiripan dengan yang ada di Insular(Kepulauan) Asia Tenggara.
Budaya Hemudu juga menghasilkan tembikar yang tebal dan keropos. Tembikar yang dihasilkan berbeda dari biasanya, yaitu berwarna hitam dan dibuat dengan bubuk arang. Desainnya berupa gambar tanaman dan geometrik; dan tembikar tembikar tersebut kadang-kadang juga ditandai dengan tali. Kebudayaan tersebut juga menghasilkan ukiran ornamen dari batu giok, ukiran dari artefak gading, serta patung-patung tanah liat kecil. Pada masa ini mulai diperkenalkan warna merah dari “Lak”, yaitu pigmen merah berasal dari resin, yang dihasilkan dari serangga lak betina. Lak tersebut dipanen dari ranting dan cabang muda beberapa varietas pohon soapberry dan akasia, khususnya pada pohon ara suci serta Ficus religiosa.
j. Budaya Majiabang-sebelumnya juga ditulis Ma-chia-pang (5500-3300 SM);
Merupakan Kebudayaan neolitikum Tiongkok yang pernah ada di muara Sungai Yangtze, terutama di sekitar Danau Taihu dekat Shanghai dan Teluk Hangzhou utara. Kebudayaan ini menyebar ke seluruh Jiangsu dan Zhejiang utara. Bagian akhir dari periode tersebut sekarang dianggap sebagai fase Budaya terpisah, yang disebut sebagai Kebudayaan Songze (sekitar 3800-3300 SM). Dan setelah itu, Budaya Majiabang dan Songze digantikan di wilayah mereka oleh Budaya Liangzhu (3300–2300 SM).
Berdasarkan temuan arkeologis, hipotesa sementara menjelaskan bahwa Budaya Majiabang adalah asal mula ekonomi perikanan, perburuan dan pengumpulan di Tiongkok, serta sistem pertanian yang didominasi padi, yang dikembangkan oleh orang-orang hidup pada periode ini.
Budidaya padi dapat dilihat sebagai aspek yang paling signifikan dari Budaya Majiabang. Seperti yang para ahli sarankan bahwa pertanian padi di delta Sungai Yangzi dimulai pada periode awal Majiabang. Itu diperluas dengan cepat, meskipun orang lebih mengandalkan berburu, memancing dan meramu. Hal ini dibuktikan melalui analisis temuan dari sawah kuno, Situs Luojiajiao (ada pada periode 5300-4900 SM) adalah salah satu yang paling awal. Di situs ini, para arkeolog menggali ratusan sekam padi dan bulir padi yang terkarbonisasi, berdasarkan penelitian, setengahnya dianggap sebagai spesies japonica yang dibudidayakan, sementara separuhnya lagi termasuk spesies liar. Di situs lain yang termasuk dalam periode selanjutnya (selama periode 5000 hingga 4300 SM dan 4300 hingga 3500 SM), lebih banyak sisa padi telah ditemukan. Dibandingkan dengan periode sebelumnya, proporsi penanaman padi meningkat, sedangkan pengumpulan makanan dari tumbuhan liar menurun.
Ciri-ciri Budaya Majiabang terlihat dari artefak peninggalannya, dengan berbagai bahan, khususnya batu Giok dan Tembikar, yang mencerminkan kepercayaan dan kebutuhan ekonomi, serta status sosial dan identitas pemiliknya. Di situs Weisun, ditemukan didalam endapan berupa batu Giok berupa cincin giok berbentuk pena dan cakram giok berbentuk setengah lingkaran, semuanya terbuat dari bahan lokal.
Selain itu, masih di situs yang sama, para arkeolog menemukan sejumlah besar benda-benda tembikar, termasuk kuali fu, pot guan, tripod ding, piring bertangkai ganda, mangkuk bo, dan baskom pena, sebagian besarnya adalah barang dari tanah liat halus, dan beberapa di antaranya ditempa dengan kerang atau pasir. Ada ciri khas yang unik dari temuan keramik dan tembikarnya, yaitu dominasi warna merah, serta dihiasi dengan pola geometris, gambar burung, katak, wajah manusia, dan pusaran.
Situs Weidun juga menunjukkan bahwa masyarakat Majiabang menggunakan berbagai macam bahan untuk membuat perkakas. Bahan-bahan temuan tersebut meliputi batu yang sebagian besar telah dipoles halus berupa kapak dan beliung, setelah itu penemuan kayu yang berupa dayung dan sampan, serta benda-benda yang terbuat dari tulang, tanduk rusa, dan gigi, termasuk pisau dan derajat yang terbuat dari tulang, alat berbentuk sepatu yang terbuat dari tanduk, mata panah, penusuk, jarum, tombak dan tabung.
Pada periode Majiabang, Budaya penguburan dapat dilihat sebagai bagian penting dari Budaya ini, Budaya ini menyajikan kepercayaan masyarakat dan kemampuan untuk menghasilkan artefak pada zaman Neolitikum. Pada periode ini, masyarakat memiliki kepercayaan akan kehidupan setelah kematian bahwa jiwa manusia seharusnya dapat kembali ke tempat mereka tinggal sebelumnya setelah kematian, hal ini dapat menjelaskan mengapa makam-makam pada periode ini biasanya ditemukan di dekat pemukiman.
Berdasarkan temuan makam-makam tersebut, para ahli berpendapat bahwa masyarakat yang hidup pada periode 6500 SM tidak memiliki area khusus untuk mengubur, mereka biasanya dimakamkan di dekat pemukiman mereka dengan posisi berbaring menyamping dengan anggota tubuh ditekuk dan kepala menghadap ke timur, seperti temuan kerangka laki-laki yang berbaring pada sudut 20 derajat dan menghadap ke timur pada kuburan(M127) di situs Weidun. Lima ratus tahun kemudian, Budaya penguburan mereka telah berubah, yaitu dengan dimakamkan di lubang pemakaman terpisah di area pemakaman yang digabung, dengan posisi mereka menghadap ke bawah dalam posisi memanjang, dengan kepala di utara dan kaki di selatan.
k. Budaya Zhaobaogou (5400–4500 SM)
Budaya Zhaobaogou adalah bagian penting dari sejarah Neolitikum Tiongkok timur laut, yang ditemukan terutama di lembah Sungai Luan di Mongolia Dalam dan Hebei utara.
Di wilayah yang sama, dengan waktu lebih awal, Budaya ini terkait dengan Budaya Xinglongwa (6200–5400 SM) dan setelahnya berkembang dikemudian hari, terkait dengan Budaya Hongshan (4700-2900 SM).
Penggalian awal pada tahun 1986, terletak di Aohan Banner, Chifeng, Mongolia Dalam. Dalam penggalian tersebut, para arkeolog menemukan bejana tembikar berukir dengan desain geometris dan zoomorf, serta patung manusia dari batu dan tanah liat.
l. Budaya Beixin (5300-4100 SM);
Budaya ini merupakan Budaya Neolitikum, yang awalnya ditemukan berdasarkan penggalian di Tengzhou, Shandong, Tiongkok. Situs tersebut digali dari tahun 1978 hingga 1979. Perlu dipahami bahwa Budaya ini merupakan penerus Budaya Houli (6500–5500 SM) dan cikal bakal Budaya Dawenkou (4100–2600 SM).
Budaya Beixin berisi contoh pertama ablasi gigi (juga dikenal sebagai evulsi gigi dan pencabutan gigi) di Tiongkok, sebuah praktik yang menjadi umum di Dawenkou. Ablasi gigi ini bertujuan sebagai identifikasi kelompok, ornamen, dan ritus peralihan seperti kedewasaan, pernikahan, dan berkabung.
Secara arsitektur, Rumah-rumah cenderung semi-bawah tanah dan melingkar. Suku Beixin memiliki perumahan dan area pemakaman terpisah di permukiman, yang umum untuk budaya Neolitikum awal. Rumah-rumah dan area pemakaman dikelompokkan dalam kelompok-kelompok kecil, yang menunjukkan struktur sosial keluarga atau klan baik dalam kehidupan maupun kematian. Peralatan, senjata, dan barang-barang lainnya yang dikubur bersama orang mati sebagai persembahan pemakaman, di situs-situs kuburan yang lebih baru, menunjukkan perkembangan jenis pemakaman seremonial awal .
Pemeriksaan sisa-sisa menunjukkan pertumbuhan populasi yang stabil sepanjang sejarah masyarakat Beixin, serta peningkatan harapan hidup yang stabil, yang menunjukkan peningkatan gizi dan kesehatan. Analisis kimia dari pecahan tembikar yang ditemukan di situs tersebut menunjukkan bahwa daging babi dan millet merupakan makanan pokok masyarakat Beixin, dilengkapi dengan daging rusa, ayam, telur, dan berbagai macam buah-buahan dan sayuran. Ini merupakan makanan yang sangat bervariasi dan sangat bergizi menurut standar Neolitikum.
Kematian akibat kekerasan, seperti yang terungkap dari pemeriksaan jenazah, relatif jarang terjadi di antara masyarakat Beixin dibandingkan dengan budaya Neolitikum lainnya. Kematian hampir selalu dikaitkan dengan penyakit atau akibat usia tua. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Beixin adalah budaya yang cinta damai, dan tidak terganggu oleh pertikaian internal atau konflik dengan budaya tetangga.
Lima puluh situs dari budaya tersebut ditemukan, terletak di provinsi Shandong tengah dan selatan dan provinsi Jiangsu utara. Situs-situs ini menunjukkan bukti budidaya millet dan domestikasi kerbau air , babi, dan ayam. Suku Beixin memancing ikan mas di sungai terdekat, berburu rusa, dan mencari buah pir liar, akar, dan umbi-umbian.
Mereka memanfaatkan serat rami secara ekstensif untuk menenun kain untuk pakaian, membuat keranjang, dan untuk berbagai bentuk benang, benang wol, dan tali, termasuk jaring ikan mereka. Tidak ada bukti budidaya rami, tetapi tumbuh liar dalam jumlah besar di seluruh wilayah. Sejumlah kecil biji rami telah ditemukan, tetapi para arkeolog percaya bahwa ini diperoleh sebagai sumber makanan daripada untuk ditanam.
Selain itu, Artefak khas dari budaya Beixin meliputi kepala kapak batu, ujung tombak dan mata panah dari senjata berburu, serta bilah sabit batu yang digunakan untuk memanen gandum.
m. Budaya Yangshao (5000-3000 SM);
Kebudayaan ini dinamai dari nama Yangshao, desa ekskavasi pertama Kebudayaan ini. Situs Yangshao terletak di lereng selatan Gunung Shao sekitar 9 km di utara Kabupaten Mianchi. Situs ini awalnya ditemukan pada tahun 1920 oleh Liu Changshan, seorang anggota staf Survei Geologi Nasional. Ahli geologi (dan arkeolog) Swedia Johan Gunnar Andersson, dengan izin dari pemerintah Tiongkok, melakukan penggalian pertama di situs tersebut pada tahun 1921.
Budaya Yangshao berkembang terutama di provinsi Henan, Shaanxi dan Shanxi, dan secara konvensional dibagi menjadi tiga fase:
  • Periode Yangshao Awal atau fase Banpo (5000–4000 SM); diwakili oleh situs Banpo, Jiangzhai, Beishouling dan Dadiwan di lembah Sungai Wei di Shaanxi.
  • Periode Yangshao Tengah atau fase Miaodigou (sekitar  4000–3500 SM); menyaksikan perluasan Budaya dan populasi ke segala arah, dan pengembangan hierarki pemukiman di beberapa wilayah, seperti Henan bagian barat.
  • Periode Yangshao Akhir (sekitar  3500–3000 SM); menyaksikan penyebaran hierarki pemukiman yang lebih luas. Tembok pertama dari tanah padat di Tiongkok dibangun di sekitar pemukiman Xishan (25 ha) di Henan bagian tengah (dekat Zhengzhou modern ).
Sampai akhir periode Yangshao, wilayah tersebut menjadi masyarakat pertanian yang sepenuhnya menetap, dengan ekonomi yang berpusat pada penanaman tanaman dan pemeliharaan hewan.
Beras dan Millet adalah tanaman pertanian yang dihasilkan dari Kebudayaan ini. Pertanian lahan kering menjadi penting bagi Budaya Yangshao sejak pertengahan periode ini, untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Selain itu, Penelitian arkeologi menunjukkan bahwa pembuatan bir dan pesta bersama merupakan aspek penting dari Budaya Yangshao. Bukti menunjukkan bahwa masyarakat Yangshao memproduksi bir, terutama menggunakan millet dan beras biasa. Praktik pembuatan bir ini, bersama dengan pertemuan sosial terkait, menunjukkan bahwa beras mungkin merupakan sumber daya yang berharga bagi permukiman Yangshao yang lebih besar.
Masyarakat Yangshao memelihara babi dan anjing. Sedangkan Domba , kambing , dan sapi sangat jarang ditemukan. Babi domestik yang dipelihara merupakan sumber daging utama bagi mas,yarakat ini, sementara sejumlah kecil hewan buruan juga termasuk dalam makanan mereka. Mereka mungkin juga telah mempraktikkan bentuk awal dari Serikultur (Beternak ulat Sutra).
Salah satu ciri Masyarakat Kebudayaan Yangshao telah menggunakan sistem Matriarki, yaitu Masyarakat yang berpusat pada perempuan. Hal ini dibuktikan dengan sistem pemakamannya, Pemakaman perempuan lebih bersifat seremonial dibandingkan dengan pemakaman laki-laki. Selain itu, anak laki-laki dimakamkan di lokasi yang sama dengan ibunya, walaupun, praktik pemakaman secara umum adalah menempatkan anak yang meninggal dalam guci pemakaman dan menguburnya di dekat fondasi rumah.
Selama periode Yangshao, perkembangan jenis kapak batu berkembang pesat di Dataran Guanzhong. Pada akhir periode Yangshao, kapak batu mulai menunjukkan fungsi khusus, dengan beberapa digunakan untuk pengerjaan kayu dan yang lainnya untuk memotong. Perbedaan bahan baku menunjukkan bahwa alat-alat ini diproduksi dan digunakan oleh kelompok yang berbeda.
Pisau batu Shihushan , yang diproduksi selama periode Yangshao, berbentuk persegi panjang dan dibuat secara sederhana, sering kali dengan lekukan di bagian samping. Biasanya dibuat dari batu pasir halus, alat ini kemungkinan digunakan untuk mengolah bahan lunak seperti tanaman, dan terkadang untuk memotong biji-bijian.
Selain itu, pada Budaya Yangshao, dihasilkan sutra dalam jumlah kecil dan menenun rami. Para pria mengenakan pakaian pinggang dan mengikat rambut mereka dengan simpul di bagian atas. Para wanita melilitkan sehelai kain di sekeliling tubuh mereka dan mengikat rambut mereka dengan sanggul.
Selama periode Yangshao, mereka mengalami perkembangan yang pesat dalam memproduksi tembikar, yang mengarah pada terciptanya bentuk-bentuk keramik unik, yaitu bercat putih, merah, dan hitam yang indah dengan desain wajah manusia, hewan, dan geometris. Tidak seperti Budaya Longshan di kemudian hari, Budaya Yangshao tidak menggunakan roda tembikar dalam pembuatan tembikar. Gaya tembikar yang muncul dari Budaya Yangshao menyebar ke barat ke Budaya Majiayao, dan kemudian lebih jauh ke Xinjiang dan Asia Tengah. Salah satu contohnya adalah amphora jiandiping, yang dikenal dengan bukaannya yang sempit, alasnya yang berbentuk kerucut, dan berbagai gaya tepian. Amphora tersebut mungkin digunakan untuk memfermentasi biji-bijian untuk membuat minuman beralkohol, meskipun penelitian juga menunjukkan bahwa amphora lebih digunakan untuk menyaring kotoran dalam minuman beralkohol.
Selama Budaya Yangshao awal, berbagai gaya arsitektur muncul, yang mencerminkan perkembangan teknik konstruksi. Struktur perumahan dikategorikan menjadi beberapa jenis utama: rumah bundar kecil dan sedang, rumah persegi atau persegi panjang kecil dan sedang, dan tempat tinggal persegi besar. Bangunan-bangunan ini dibangun baik sebagai rumah semi-bawah tanah, yang menyediakan insulasi, atau sebagai bangunan di permukaan tanah. Berdasarkan bukti seperti keberadaan lubang penyimpanan komunal dan pelaksanaan tugas bersama dalam bangunan publik, kemungkinan besar elemen produksi dan distribusi tertentu dikelola secara kolektif. Bangunan publik besar ini mungkin berfungsi sebagai pusat kegiatan berbasis masyarakat.
Pemukiman di Yangshao Tengah seperti Jiangzhi memiliki bangunan berlantai tinggi yang mungkin digunakan untuk menyimpan kelebihan biji-bijian. Batu giling untuk membuat tepung juga ditemukan.
Pada akhir periode Yangshao, arsitektur mengalami perubahan signifikan. Rumah-rumah persegi di permukaan tanah menjadi bentuk yang paling umum, dan rumah-rumah panjang dengan beberapa ruangan mulai muncul. Beberapa rumah memiliki lantai yang dilapisi kapur. Fitur-fitur organisasi yang pertama kali terlihat pada periode Yangshao tengah masih ada, termasuk permukiman besar yang terkait dengan bangunan-bangunan publik yang menyerupai istana. Periode ini juga menyaksikan munculnya situs kota bertembok pertama di lembah Sungai Kuning.
Penggalian di berbagai situs Yangshao telah mengungkap bangunan-bangunan besar yang tampaknya berfungsi sebagai ruang ritual publik, bukan rumah bagi kaum elit. Baru pada akhir Budaya Longshan, tempat tinggal besar seperti istana bagi kaum elit dibangun di lokasi-lokasi seperti Guchengzhai dan Taosi, yang menunjukkan tahap awal pemisahan tempat tinggal antara kelas sosial.
Rumah tinggal biasanya dibangun dengan cara menggali lubang berbentuk persegi panjang bundar dengan kedalaman sekitar satu meter. Kemudian lubang tersebut dipadatkan, dan di atasnya dianyam. Selanjutnya, beberapa tiang pial pendek akan diletakkan di sekeliling bagian atas lubang, dan lebih banyak pial akan dianyam di atasnya. Lubang itu diplester dengan lumpur, dan rangka tiang akan diletakkan untuk membuat bentuk kerucut untuk atapnya. Tiang akan ditambahkan untuk menyangga atap. Kemudian, lubang itu ditutup dengan batang jewawut. Ada sedikit perabotan; perapian dangkal di tengah dengan bangku, bangku panjang di sepanjang dinding, dan tempat tidur dari kain. Makanan dan barang-barang diletakkan atau digantung di dinding. Kandang untuk hewan akan dibangun di luar.
Desa-desa di Yangshao biasanya meliputi sepuluh hingga empat belas hektar lahan dan terdiri dari rumah-rumah di sekitar alun-alun pusat.
n. Budaya Hongshan (4700-2900 SM);
Kebudayaan Hongshan adalah Kebudayaan Neolitik yang berkembang di lembah sungai Liao Barat di timur laut Tiongkok, membentang dari Mongolia dalam hingga Provinsi Liaoning. Sebelumnya, Budaya ini terkait dengan Budaya Xinglongwa (6200–5400 SM) dan Budaya Zhaobaogou (5400–4500 SM). Hal ini dikarenakan Situs Hongshan telah ditemukan di wilayah yang membentang dari Mongolia Dalam hingga Liaoning.
Situs Hongshanhou ini, awalnya ditemukan di distrik Hongshan, Chifeng, oleh seorang arkeolog yang bernama Torii Ryūzō di tahun 1908. Setelah itu, penggalian secara ekstensif oleh Kōsaku Hamada dan Mizuno Seiichi, pada tahun 1935.
Budaya Hongshan beserta Kebudayaan lain seperti Zhaobaogou (5400–4500 SM), Budaya Xinle (5500–4800 SM), dan Kebudayaan Yangshao (5000-3000 SM) diperkirakan merupakan Kebudayaan yang se_zaman, dan saling berinteraksi satu sama lain.
Budaya Hongshan yang terletak di kawasan teluk Liao Barat ini kemudian digantikan oleh Budaya Xiajiadian Bawah (2200–1600 SM), dan setelah itu digantikan oleh Budaya Xiajiadian Atas (1000–600 SM), dengan peralihan dari pertanian ke nomadisme pastoral, yang dimungkinkan karena perubahan iklim. Dalam kurun waktu sejarah, Teluk ini kemudian sebagian besar dihuni oleh para nomaden.
Menurut sebuah studi tentang pengukuran jarak genetik dari studi genetik skala besar dari tahun 2021 berjudul 'Wawasan genomik tentang pembentukan populasi manusia di Asia Timur', para pemburu-pengumpul Mongolia dan Muara Sungai Amur (Argun) memiliki leluhur yang sama dengan penutur bahasa Mongolik dan Tungusik, tetapi mereka tidak membawa leluhur petani Sungai Liao Barat, yang bertentangan dengan hipotesis Trans_eurasia yang diajukan oleh Martine Robbeets dkk., yang menjelaskan bahwa perluasan para petani Sungai Liao Barat menyebarkan bahasa-bahasa proto ini.
Sebuah studi tahun 2020 menemukan perubahan genetik yang substansial di wilayah Sungai Liao Barat dari waktu ke waktu. Peningkatan ketergantungan pada pertanian millet antara Neolitikum Tengah hingga Akhir dikaitkan dengan afinitas genetik yang lebih tinggi terhadap cekungan Sungai Kuning (umumnya dikaitkan dengan penutur bahasa Sino-Tibet), sementara peralihan sebagian ke penggembalaan dalam Budaya Xiajiadian Hulu Zaman Perunggu dikaitkan dengan penurunan afinitas genetik ini.
Setelah Neolitikum Akhir, terjadi transisi tajam dari profil genetik terkait Sungai Kuning ke Sungai Amur (yang dikaitkan dengan penutur bahasa Tungus) di sekitar Sungai Liao Barat. Peningkatan kedekatan Sungai Amur ini sesuai dengan transisi ke ekonomi peternakan selama Zaman Perunggu.
Sebuah studi tahun 2021 menemukan bahwa petani millet di sekitar Sungai Kuning dari provinsi Henan dan Shandong saat ini, telah memainkan peran penting dalam pembentukan orang Hongshan atau keturunan mereka melalui rute migrasi ke utara, baik di pedalaman maupun pesisir. Perlu dipahami bahwa Mirip dengan Budaya Yangshao, Budaya Hongshan membudidayakan millet. Berdasarkan analisis isotop, mengungkapkan bahwa millet menyumbang hingga 70% dari makanan manusia pada awal, dan 80% pada akhir Hongshan.
Secara Geografis, Wilayah Budaya Hongshan diperkirakan berupa gurun selama 1 juta tahun terakhir. Akan tetapi, sebuah studi tahun 2015 menemukan bahwa wilayah tersebut pernah memiliki sumber daya perairan yang kaya serta danau dan hutan yang dalam yang ada sejak 12.000 tahun lalu hingga 4.000 tahun lalu. Wilayah tersebut berubah menjadi gurun akibat perubahan iklim yang dimulai sekitar 4.200 tahun lalu. Oleh karena itu, sebagian orang dari Budaya Hongshan mungkin telah bermigrasi ke selatan menuju lembah Sungai Kuning sekitar 4.000 tahun lalu.
Bukti arkeologis yang ditemukan di situs Miaozigou di Ulanqab, Mongolia Dalam, cabang utara Budaya Yangshao dari Sungai Kuning (Budaya Yangshao diduga sebagai asal mula bahasa Sino-Tibet menunjukkan kesamaan dalam Budaya material antara Budaya Sungai Kuning dan Budaya Sungai Liao. Tiga individu dari situs Miaozigou tergolong dalam haplogroup N1(xN1a, N1c), sedangkan garis keturunan utama Budaya lembah Sungai Kuning adalah O2-M122. Keberadaan N1(xN1a, N1c) di antara individu Miaozigou dapat menjadi bukti migrasi sebagian orang Hongshan.
Beberapa arkeolog Tiongkok, seperti Guo Da-shun melihat Budaya Hongshan sebagai tahap penting peradaban Tiongkok awal. Apa pun kedekatan linguistik penduduk kuno, Budaya Hongshan diyakini telah memberikan pengaruh pada perkembangan peradaban Tiongkok awal.
Budaya tersebut mungkin juga berkontribusi pada perkembangan permukiman di Korea kuno. Akan tetapi, Kebudayaan Hongshan juga umum digunakan dalam pseudo_sejarah Korea oleh beberapa sarjana Korea, yang berusaha mempertanyakan hubungan apa pun di antara Kebudayaan Hongshan dengan peradaban Tiongkok dan menegaskan bahwa Kebudayaan Hongshan hanya terkait dengan peradaban Korea.
Situs arkeologi di Niuheliang merupakan kompleks ritual unik yang terkait dengan Budaya Hongshan. Penggalian yang dilakukan oleh para arkeolog (termasuk Guo Dashun), telah menemukan kompleks kuil bawah tanah—yang mencakup altar—dan juga tumpukan batu di Niuheliang. Kuil tersebut dibangun dari platform batu, dengan dinding yang dicat. Para arkeolog telah memberinya nama "Kuil Dewi" (nüshenmiao), karena ditemukannya kepala perempuan dari tanah liat dengan mata bertatahkan batu giok. Bangunan tersebut merupakan struktur bawah tanah, sedalam 1 meter. Termasuk di dindingnya adalah lukisan mural. Di dalam Kuil Dewi terdapat patung-patung tanah liat berukuran tiga kali ukuran manusia di dunia nyata. Patung-patung yang sangat besar itu mungkin adalah dewa, tetapi untuk agama yang tidak tercermin dalam Budaya Tiongkok lainnya.
Keberadaan jaringan perdagangan yang kompleks dan arsitektur monumental (seperti piramida dan Kuil Dewi) menunjukkan kemungkinan keberadaan "Struktur Kerajaan" di komunitas prasejarah ini.
Tembikar yang dicat juga ditemukan di dalam kuil. Lebih dari 60 makam di dekatnya telah digali, semuanya terbuat dari batu dan ditutupi oleh gundukan batu, yang sering kali berisi artefak giok.
Selain itu, terdapat tumpukan batu yang ditemukan di atas dua bukit di dekatnya, dengan makam berbentuk bulat atau persegi, terbuat dari tumpukan batu kapur. Di dalamnya terdapat patung naga dan kura-kura. Dari bukti yang ditemukan, diduga pengorbanan keagamaan mungkin telah dilakukan dalam Budaya Hongshan.
Selain itu, situs Budaya Hongshan juga menyediakan bukti paling awal untuk feng shui. Kehadiran bentuk bulat dan persegi di pusat upacara keagamaan, menunjukkan kehadiran awal kosmografi gaitian ("surga bulat, bumi persegi").
Selain itu, Budaya Hongshan dikenal dengan ukiran gioknya. Artefak pemakaman Hongshan mencakup beberapa contoh paling awal pengerjaan giok yang diketahui. Budaya Hongshan dikenal dengan giok naga babi dan naga embrio. Patung-patung tanah liat, termasuk patung wanita hamil, juga ditemukan di seluruh situs Hongshan. Selain itu juga ditemukan Cincin tembaga kecil.
o. Budaya Dawenkou (4300-2600 SM);
Budaya ini merupakan Budaya Neolitikum Tiongkok yang sebagian besar ditemukan di provinsi timur Shandong. Dan juga muncul di daerah Anhui, Henan, dan Jiangsu. Budaya Dawenkou hidup berdampingan dengan Budaya Yangshao (5000-3000 SM).
Situs tipe Budaya Dawenkou, terletak di Tai'an, Shandong, yang digali pada tahun 1959, 1974, dan 1978. Dari penggalian tersebut, hanya lapisan tengah di Dawenkou yang dikaitkan dengan Budaya Dawenkou, karena lapisan paling awal berhubungan dengan Budaya Beixin (5300-4100 SM) dan lapisan paling akhir berhubungan dengan varian Shandong akhir, yaitu Budaya Longshan (3000-2000 SM). Dari penggalian tersebut, Para arkeolog umumnya membagi Budaya tersebut ke dalam tiga fase, yaitu:
  • fase awal (4100–3500 SM); Berdasarkan bukti dari barang-barang kuburan, fase awal sangat egaliter. Fase ini ditandai dengan adanya cawan bertangkai panjang yang dirancang secara individual. Makam yang dibangun dengan tepian tanah menjadi semakin umum selama bagian akhir dari fase awal.
  • fase tengah (3500–3000 SM); Selama fase tengah, barang-barang kuburan mulai menekankan kuantitas daripada keragaman.
  • fase akhir (3000–2600 SM); Selama fase akhir, peti mati kayu mulai muncul di pemakaman Dawenkou. Budaya tersebut menjadi semakin terstratifikasi, karena beberapa makam tidak berisi barang-barang kuburan sementara yang lain berisi barang-barang kuburan dalam jumlah besar.
Kesamaan fisik Masyarakat Jiahu dengan masyarakat di Dawenkou, menunjukkan bahwa mereka merupakan satu garis keturunan, yaitu keturunan Masyarakat Jiahu (berpusat di dataran tengah Cina kuno, Provinsi Henan), setelah migrasi lambat di sepanjang bagian tengah dan hilir Sungai Huai dan Hanshui. Cendekiawan lain juga berspekulasi bahwa Masyarakat Dawenkou berasal dari daerah sekitar di selatan. Mereka merupakan keturunan dari masyarakt Budaya Beixin (5300-4100 SM), tetapi sangat dipengaruhi oleh masyarakat di pemukiman Longqiuzhuang [Budaya Yangshao (5000-3000 SM)], yang meluas ke utara, terletak di antara Sungai Yangtze dan sungai Huai.
Para ilmuwan juga telah mencatat kesamaan antara masyarakat Budaya Dawenkou dan Budaya Liangzhu (3300–2300 SM), serta budaya-budaya yang terkait di lembah Sungai Yantze. Menurut beberapa ilmuwan, budaya Dawenkou mungkin memiliki kaitan dengan bahasa pra-Austronesia. Peneliti lain juga mencatat kesamaan antara penduduk Dawenkou dan masyarakat Austronesia modern dalam praktik budaya seperti pencabutan gigi dan arsitektur. Akan tetapi, suku Dawenkou tampaknya secara genetik berbeda dari budaya pra-Austronesia di selatan mereka.
Masyarakat Dawenkou memperlihatkan pola gigi Sinodont (Bentuk gabungan Sino- dan Sunda-, masing-masing merujuk pada Tiongkok dan Sundaland, sementara -dont merujuk pada gigi) yang utama. Mereka mempraktikkan modifikasi tubuh dalam bentuk ablasi gigi dan deformasi tengkorak.
Terkait dengan Deformasi Tengkorak, Penduduk Dawenkou merupakan salah satu praktisi Trepanasi (prosedur bedah kuno yang melibatkan pembuatan lubang pada tengkorak, biasanya untuk tujuan medis atau mistis) paling awal di Tiongkok prasejarah. Tengkorak seorang pria Dawenkou yang berasal dari tahun 3000 SM ditemukan dengan cedera kepala parah yang tampaknya telah disembuhkan dengan operasi primitif ini.
Berdasarkan Ilmu Sosiologi, Budaya Dawenkou berinteraksi secara intensif dengan Budaya Yangshao (5000-3000 SM). "Selama dua setengah milenium keberadaannya, masyarakat Dawenkou, bagaimanapun, berinteraksi secara intens dengan masyarakat Yangshao, di mana dalam proses interaksi tersebut, masyarakat Dawenkou terkadang memegang peranan utama, khususnya dalam menghasilkan Budaya Longshan (3000-2000 SM)”.
Iklim yang hangat dan basah di daerah Dawenkou cocok untuk berbagai tanaman, meskipun mereka terutama bertani millet di sebagian besar lokasi. Produksi millet mereka cukup berhasil dan wadah penyimpanan yang dapat menampung hingga 2000 kg millet, setelah dekomposisi perhitungan telah ditemukan. Namun, untuk beberapa lokasi di Dawenkou selatan, beras merupakan tanaman yang lebih penting, terutama selama periode Dawenkou akhir. Analisis yang dilakukan pada sisa-sisa manusia di lokasi Dawenkou di Shandong selatan, mengungkapkan bahwa makanan orang-orang Dawenkou kelas atas sebagian besar terdiri dari beras, sementara orang-orang biasa terutama makan millet.
Orang-orang Dawenkou berhasil men_domestikasi ayam, anjing, babi, dan sapi, tetapi tidak ditemukan bukti domestikasi kuda. Sisa-sisa babi sejauh ini paling melimpah, mencakup sekitar 85% dari total, dan dianggap sebagai hewan peliharaan yang paling penting. Sisa-sisa babi juga ditemukan di pemakaman Dawenkou yang juga menyoroti pentingnya dagingnya sebagai bahan untuk dikonsumsi.
Makanan laut juga merupakan makanan pokok penting dari makanan sehari-hari masyarakat Dawenkou. Tumpukan ikan dan berbagai kerang telah ditemukan pada periode awal yang menunjukkan bahwa mereka merupakan sumber makanan penting. Meskipun tumpukan ini semakin jarang ditemukan pada tahap selanjutnya, makanan laut tetap menjadi bagian penting dari keseharian mereka.
Berkaitan dengan “Politik” atau organisasi masyarakat di waktu itu, Istilah "kerajaan" tampaknya tepat untuk menggambarkan masyarakatan yang telah ter organisir. Kelompok kerabat yang dominan kemungkinan besar telah memegang kekuasaan atas desa-desa di Dawenkou, meskipun kekuasaan kemungkinan besar diwujudkan melalui otoritas keagamaan daripada paksaan. Tidak seperti budaya sebelumnya, atau Budaya Beixin, orang-orang dari budaya Dawenkou, terkenal karena terlibat dalam konflik kekerasan. Para ahli menduga bahwa mereka diperkirakan telah terlibat dalam penyerbuan untuk mendapatkan tanah, tanaman, ternak, dan barang-barang bergengsi.
Selain Pemukiman yang permanen, pertanian dan perubahan sosial masyarakatnya yang mulai ekspansif, juga terdapat artefak temuan yang lain, diantaranya adalah penggunaan bahan seperti pirus, giok, dan gading. Terdapat pula bentuk awal Gendang kulit buaya, yang merupakan bentuk tertua yang pernah ditemukan.
p. Budaya Songze (sekitar 3800-3300 SM);
Budaya Songze adalah budaya Neolitikum yang berkembang di sekitar Danau Tai atau dikenal pula dengan Danau Taihu, dekat Shanghai. Budaya ini oleh beberapa ahli dianggap sebagai fase lanjutan dari Budaya Hemudu (5500-3300 SM) dan Budaya Majiabang (5500-3300 SM).
Tiga penanggalan radiokarbon diambil dari lapisan budaya Songze di Jiangli dekat Danau Taihu. Dua perkiraan penanggalan diperoleh dari butiran beras hangus, sekitar 3360–3090 SM dan 3540–3370 SM. Perkiraan ketiga berdasarkan sisa-sisa polygonum aviculare pada sekitar 3660–3620 SM.
Pada tahun 1957, para arkeolog menemukan sebuah situs di utara Songze dekat Zhaoxiang District Qingpu, Shanghai. Penggalian telah dilakukan sepanjang tahun 1961, 1974–1976, 1987, 1994–1995, dan 2004. Penggalian tersebut mengungkapkan tiga lapisan kebudayaan: yang terbaru memiliki tembikar dari Periode Musim Semi dan Gugur; lapisan tengah adalah kuburan dengan 148 kuburan dan banyak artefak; lapisan tertua milik masyarakat kebudayaan Majiabang. Saat ini, beberapa artefak disimpan di Museum Qingpu Shanghai.
Selain itu, terdapat penemuan saat melakukan penggalian di Desa Dongshan terletak di dekat Kota Jingang, 18 km sebelah barat, Zhangjiagang, oleh pihak Museum Suzhou, pada tahun 1989. Desa kuno tersebut ditemukan dan telah digali mulai tahun 1989–1990, diikuti oleh dua penggalian untuk pelestarian yang dipimpin oleh Museum Nanjing pada tahun 2008–2009. Situs tersebut dibagi menjadi tiga area, yaitu:
  • area 1 adalah kuburan kecil dengan 27 kuburan, yang semuanya memiliki jumlah bekal kuburan yang berbeda-beda, yang telah digunakan untuk menunjukkan keberadaan stratifikasi sosial;
  • area 2 adalah hunian yang terdiri dari lima bangunan di tengah tapak;
  • area 3 adalah tempat pemakaman lain di barat situs, dengan 10 makam.
q. Budaya Liangzhu (3300–2300 SM);
Budaya peradaban Liangzhu (3300–2300 SM) merupakan budaya giok Neolitik Tiongkok terakhir di Delta Sungai Yangtze, wilayah Tenggara, Tiongkok. Secara geografi, Kota Kuno Liangzhu terletak di lingkungan lahan basah di dataran jaringan sungai antara Gunung Daxiong dan Gunung Dazhe di Pegunungan Tianmu. Ada banyak pintu masuk air baik di dalam maupun di luar kota, yang menghubungkannya dengan jaringan sungai.
Komunitas Liangzhu yang khas, yang jumlahnya lebih dari 300 sejauh ini, memilih untuk tinggal di dekat sungai. Ada perahu dan dayung yang ditemukan yang menunjukkan kemahiran menggunakan perahu dan perahu air. Situs Liangzhu telah menyediakan sisa-sisa dermaga kayu dan tanggul. 8 kilometer ke utara berbagai situs seperti bendungan, juga ditemukan dan diperkirakan merupakan sistem perlindungan banjir kuno.
Rumah-rumah juga dibangun di atas kayu untuk membantu menahan banjir, meskipun rumah-rumah di tanah yang lebih tinggi termasuk rumah-rumah semi-bawah tanah dengan atap jerami.
Kota kuno ini dikatakan sebagai kota terbesar selama periode waktu tersebut. Luas wilayah dalamnya 290 hektar, dikelilingi oleh tembok tanah liat yang memiliki enam gerbang kota. Dua gerbang terletak di tembok utara, timur, dan selatan. Di bagian tengahnya terdapat situs istana yang membentang seluas 30 hektar. dan terdapat juga bukti adanya desain perlindungan banjir buatan yang diterapkan di dalam kota. Teknologi sumur di situs Miaoqian selama periode ini mirip dengan periode Hemudu sebelumnya. Budaya Liangzhu dikatakan lebih berkembang secara sosial dan kompleks daripada budaya kontemporer utara di Lembah Han. Beberapa konstruksi ini dikatakan sebagai indikator kompleksitas sosial yang berkembang di Liangzhu pada saat itu.
Di dalam dan luar kota juga ditemukan sejumlah besar perkakas untuk keperluan produksi, kehidupan, militer, dan ritual yang diwakili oleh banyak barang giok Liangzhu yang halus dengan nilai budaya yang mendalam; sisa-sisa tersebut termasuk tembok kota, fondasi bangunan besar, makam, altar, tempat tinggal, dermaga, dan bengkel. Situs kota Liangzhu dikatakan telah dihuni dan dikembangkan dengan tujuan tertentu karena area ini memiliki sangat sedikit sisa yang dapat ditelusuri kembali ke periode sebelumnya.
Selain sistem irigasi yang canggih dalam pengelolaan air, Budaya Liangzhu dikenal dengan budidaya padi, yang merupakan hasil panen utama, dan menjadi dasar sistem perekonomian dan sosial mereka. Situs Liangzhu dianggap sebagai contoh "pencapaian tertinggi" peradaban pertanian di Sungai Kuning, dan dimungkinkan terdapat lumbung padi yang menampung hingga 15.000 kg gabah.
Selain itu, Modernitas Budaya Liangzhu dapat dilihat dari penemuan lainnya, yang sangat kompleks, diantaranya artefak giok, sutra, gading, dan pernis, ditemukan secara eksklusif di pemakaman elit, sementara tembikar lebih umum ditemukan di petak pemakaman orang-orang yang lebih miskin. Pembagian kelas ini menunjukkan bahwa periode Liangzhu merupakan masyarakat yang telah bernegara bagian awal, yang dilambangkan dengan pembedaan yang jelas antara kelas sosial dalam struktur pemakaman. Altar Neolitikum dari budaya Liangzhu, digali di Gunung Yaoshan di Zhejiang, terbuat dari tumpukan batu dan dinding batu yang ditempatkan dengan hati-hati: Hal ini menyiratkan bahwa agama sangat penting. Selain itu, beberapa cendekiawan mengklaim bahwa ritual pengorbanan budak merupakan bagian dari tradisi Liangzhu.
Terdapat sebuah pusat kota pan-regional telah muncul di situs Liangzhu di barat laut Hangzhou, yaitu Provinsi Zhejiang sekarang, dan kelompok elit dari situs ini memimpin pusat-pusat lokal. Budaya Liangzhu sangat berpengaruh, dan ruang lingkup pengaruhnya mencapai sejauh utara Provinsi Shanxi dan sejauh selatan Provinsi Guangdong.
Situs tipe di Liangzhu ditemukan di Kabupaten Yuhang, Zhejiang dan awalnya digali oleh Shi Xingeng pada tahun 1936. Pada tanggal 6 Juli 2019, reruntuhan arkeologi Kota Liangzhu ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.
r. Budaya Majiayao (sekitar 3300–2000 SM);
Budaya ini juga dikenal sebagai Budaya Gansu Yangshao, yang merupakan cabang dari budaya Yangshao, dan berkembang di wilayah Provinsi Gansu sekarang, dan sebagian Provinsi Qinghai, Tiongkok.
Budaya ini dianggap sebagai budaya terpisah dari budaya Yangshao tengah, yang berkembang melalui fase peralihan Shilingxia. Budaya Majiayao mungkin terkait dengan perluasan masyarakat Sino-Tibet awal selama Neolitikum.
Situs arkeologi ini pertama kali ditemukan pada tahun 1924 di dekat desa Majiayao di Kabupaten Lintao, Gansu oleh arkeolog Swedia Johan Gunnar Andersson , yang menganggapnya sebagai bagian dari budaya Yangshao. Mengikuti karya Xia Nai , pendiri arkeologi modern di Republik Rakyat Tiongkok, sejak saat itu dianggap sebagai budaya yang berbeda, dinamai sesuai situs aslinya, sedangkan sebelumnya disebut sebagai budaya "Gansu Yangshao".
Budaya ini berkembang dari fase tengah Yangshao (Miaodigou), melalui fase peralihan Shilingxia. Budaya ini sering dibagi menjadi tiga fase:
1) Fase Majiayao (3300–2500 SM), sebagian besar banyak ditemukan di teras-teras sepanjang: lembah Sungai Wei (mengalir di provinsi Gansu dan provinsi Shaanxi di Tiongkok barat-tengah) bagian atas; lembah Sungai Bailong (berhulu di Kabupaten Luqu, Gansu, tepat di sebelah barat kota Langmusi.
Sungai ini mengalir melalui bagian utara Pegunungan Min dan kemudian mengalir melalui Zhugqu dan Longnan sebelum bertemu dengan Sungai Jialing di Guangyuan, Sichuan) bagian atas; lembah Sungai Tao (adalah anak Sungai Kuning di Tiongkok.
Sungai ini bermula di Pegunungan Xiqing di dekat perbatasan Gansu – Qinghai , mengalir ke arah timur melintasi Prefektur Otonomi Tibet Gannan, dan kemudian ke arah utara kurang lebih di sepanjang perbatasan antara Kota setingkat Prefektur Dingxi di timur dan Prefektur Gannan dan Linxia di barat. Sungai ini mengalir ke Sungai Kuning (sebenarnya, Waduk Liujiaxia) di dekat Kota Liujiaxia (ibu kota kabupaten Yongjing ), tepat di hulu Bendungan Liujiaxia ) dan Sungai Daxia (bermula di bagian timur Prefektur Otonomi Tibet Huangnan di Qinghai , kemudian mengalir ke arah timur melalui Prefektur Otonomi Tibet Gannan di bagian utara , di mana cekungan drainasenya meliputi sebagian besar Kota setingkat Kabupaten Hezuo dan Kabupaten Xiahe . Kemudian mengalir ke arah timur laut ke Prefektur Otonomi Linxia Hui , di mana ia melintasi luas Kabupaten Linxia , ​​dan Kota Linxia. Bagian hilirnya membentuk perbatasan antara Kabupaten Linxia dan Kabupaten Otonomi Dongxiang di sebelah timur. Sungai ini membentuk teluk besar di muaranya di Waduk Liujiaxia) bagian tengah dan bawah; lembah Sungai Kuning bagian atas; Sungai Huangshui (sungai di Tiongkok yang merupakan anak sungai kiri dari Sungai Kuning (Huang He). Sungai ini berhulu di Provinsi Qinghai dan Gansu); dan sungai Datong (Terletak di antara provinsi Shanxi utara dan bagian dalam/luar Tembok Besar, Tiongkok. Sungai ini, lebih tepatnya disebut Cekungan Datong, karena terbentuk oleh erosi Dataran Tinggi Loess dan dialiri oleh Sungai Sanggan beserta anak sungainya, Yuhe. Cekungan Datong juga dikenal sebagai lokasi kota Datong, yang memiliki sejarah penting dalam perdagangan kuda dan sebagai perbatasan antara wilayah pertanian Tiongkok dengan Stepa Eurasia) bagian bawah.
2) Fase Banshan (2500–2300 SM), yang terletak di Banshan, di Kabupaten Guanghe, Provinsi Gansu.
3) Fase Machang (2300–2000 SM), yang berada di Liuwan Cemetery, Ledu District, Haidong, Qinghai, Tiongkok.
Pada akhir milenium ke-3 SM, budaya Qijia (Periode Perunggu) menggantikan budaya Majiayao di lokasi di tiga zona geografis utama, yaitu: Gansu timur, Gansu tengah, dan Gansu barat/Qinghai timur. Pada Zaman Holosen Akhir, kekeringan menyebabkan kemunduran material dan budaya Majiayao.
Budaya Majiayao diuntungkan oleh kondisi iklim yang hangat dan lembab dari Zaman Es Akhir hingga Zaman Holosen Tengah, yang menyebabkan produksi pertanian yang berkembang pesat dan pertumbuhan populasi yang cepat.
Sapi, domba, dan kambing hasil domestikasi pertama kali muncul di Asia Barat sekitar tahun 8000 SM. Mereka mungkin diperkenalkan di Tiongkok melalui Koridor Hexi selama periode budaya Majiayao, meskipun alternatifnya mungkin melalui jalur padang rumput Eurasia dan kemudian melalui dataran tinggi Mongolia sekitar tahun 3500–2500 SM.
Budaya Majiayao terkenal dengan tembikar yang dicat dengan motif geometris dan zoomorfik. Motif-motif ini seringkali dianggap sebagai simbol-simbol ritual atau representasi abstrak dari makhluk alam. Selama fase Majiayao, para pembuat tembikar menghiasi barang dagangan mereka dengan desain pigmen hitam yang menampilkan garis-garis paralel dan titik-titik yang menyapu. Tembikar dari fase Banshan dibedakan dengan desain lengkung yang menggunakan cat hitam dan merah. Tembikar fase Machang serupa, tetapi seringkali tidak diselesaikan dengan hati-hati. Perkembangannya dikaitkan dengan interaksi antara pemburu-pengumpul di wilayah Qinghai dan perluasan pertanian masyarakat Yangshao ke arah barat.
Berbeda dengan tembikar biasa, tembikar lukis Majiayao diproduksi di bengkel-bengkel besar yang tersentralisasi. Bengkel Neolitikum terbesar yang ditemukan di Tiongkok berada di Baidaogouping, Gansu. Pembuatan tembikar lukis dalam jumlah besar berarti ada perajin profesional yang memproduksinya, yang dianggap menunjukkan meningkatnya kompleksitas sosial. Kontrol atas proses produksi dan kualitas menurun pada fase Banshan , mungkin karena permintaan tembikar yang lebih besar untuk digunakan dalam ritual pemakaman, mirip dengan apa yang disebut “Hung Ling-yu” atau sebagai "sindrom Wal-Mart modern".
Gaya tembikar yang muncul dari Budaya Yangshao (5000-3000 SM), menyebar ke budaya Majiayao, dan kemudian lebih jauh ke Xinjiang dan Asia Tengah.
Budaya Majiayao menggunakan berbagai macam simbol dalam tembikarnya, beberapa di antaranya abstrak dan geometris, termasuk simbol Neolitikum yang terkenal yaitu Swastika, beberapa di antaranya bersifat figuratif, seperti penggambaran antropomorfik frontal dan agak realistis, Simbol Swastika khususnya digunakan selama periode akhir Majiayao Machang (2300–2000 SM), dan menjadi simbol terkini dalam agama Buddha yang mewakili samsara. Simbol-simbol tersebut meliputi pola jaring, pola bintang bersudut delapan, pola cangkang yang saling terhubung, pola kelopak, pola pusaran, dll. Banyak motif yang sudah dikenal dari budaya Yangshao (5000–3000 SM) sebelumnya .
Selain tembikar, Budaya Majiayo juga telah mengenal Perunggu. Teknologi perunggu diimpor ke Tiongkok dari stepa(meliputi Dataran Timur Laut, Dataran Tinggi Mongolia Dalam, Dataran Tinggi Loess, dan Dataran Tinggi Tibet, serta daerah pegunungan Cina barat laut. Stepa Eurasia juga membentang melalui wilayah Tiongkok, meliputi Xinjiang dan Manchuria). Objek perunggu tertua yang ditemukan di Tiongkok adalah pisau yang ditemukan di situs Majiayao di Dongxiang , Gansu, dan bertanggal 2900–2740 SM. Objek tembaga dan perunggu lebih lanjut telah ditemukan di situs periode Machang di Gansu. Metalurgi menyebar ke wilayah tengah dan hilir Sungai Kuning pada akhir milenium ke-3 SM. Kontak antara budaya Afanasievo (kebudayaan arkeologi awal di Siberia selatan, yang menempati Cekungan Minusinsk dan Pegunungan Altai pada era eneolitikum, 3300 hingga 2500 SM) dan budaya Majiayao serta budaya Qijia telah dianggap sebagai penyebab transmisi teknologi perunggu.
s. Budaya Longshan (3000-2000 SM);
Budaya Longshan, yang terkadang juga disebut sebagai Budaya Tembikar Hitam, karena tembikar hitamnya yang sangat halus (atau tembikar kulit telur) adalah budaya Neolitikum akhir di daerah lembah Sungai Kuning bagian tengah dan bawah di Tiongkok utara.
Penemuan arkeologi pertama dari budaya ini terjadi di Situs Arkeologi Chengziya pada tahun 1928, dengan penggalian pertama pada tahun 1930 dan 1931. Budaya ini dinamai berdasarkan kota modern terdekat Longshan ("Gunung Naga") di Zhangqiu, Shandong.
Populasi berkembang secara dramatis selama milenium ke-3 SM, dengan banyak permukiman yang memiliki dinding dari tanah padat. Selain daerah Shandong, varian berkembang di daerah Sungai Kuning bagian tengah, Taosi di lembah Sungai Fen, dan di lembah Sungai Wei. Sekitar tahun 2000 SM, populasi menurun tajam dan permukiman besar ditinggalkan di sebagian besar daerah kecuali daerah pusat, yang berkembang menjadi budaya Erlitou (kebudayaan arkeologis yang tinggal di lembah Sungai Kuning sekitar 1900 hingga 1500 SM, pada masa awal Zaman Perunggu Tiongkok).

Yang perlu dipahami dari ke 19 budaya tersebut diatas adalah, masa antara tahun 3000 hingga 2000 sebelum Masehi, merupaka masa kunci bagi peradaban Budaya Tiongkok untuk berkembang, yaitu menjadi satu peradaban dari peradaban yang plural, dengan Kebudayaan Gunung Tai di Taian, Shandong, Tiongkok sebagai pusatnya, yaitu pusat pemujaan keagamaan yang dimulai pada periode Dinasti Shang (sekitar 1600–1046 SM). Setelah itu, pada periode Dinasti Zhou (1046–256 SM), berangsur-angsur menyatukan daerah aliran Sungai Kuning dan daerah aliran tengah, serta hilir Sungai Yangtse untuk berkembang menjadi Kebudayaan Longshan (3000-2000 SM), yang merupakan representatif Kebudayaan masa akhir, Zaman Batu, Tiongkok. Pada masa itu, Kebudayaan zaman batu awal yang berkembang bersama di berbagai daerah saling menyerap dan saling berkonfrontasi sehingga mempercepat proses pembentukan dinasti zaman kuno dengan bagian tengah Tiongkok sebagai pusatnya.
Pada tahun 1987, Gunung Tai (Taishan) di Tiongkok ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. gunung ini diakui karena nilai sejarah, budaya, dan alamnya yang unik.
Masa antara Zaman Budaya Longshan dari tahun 3000-2000 SM, serta Dinasti Xia (Sekitar 2070 –1600 SM) dan Dinasti Shang (1600–1046 SM), dua dinasti paling awal Tiongkok, merupakan masa perkembangan awal peradaban zaman kuno Tiongkok, sekaligus masa pembentukan dan perkembangan tahap pertama negara-negara kekaisaran zaman kuno Tiongkok.
3. Periode Awal Metalurgi di Tiongkok
Setelah pembahasan tentang beberapa kebudayaan pada periode Neolithikum, berikutnya adalah pembahasan tentang peradaban awal Metalurgi di Tiongkok.
Periode metalurgi dimulai dengan penggunaan logam, seperti perunggu, untuk membuat berbagai peralatan dan senjata. Penggunaan logam menandai kemajuan teknologi yang signifikan dalam peradaban Lembah Sungai Kuning. Masyarakat mulai membuat berbagai peralatan dari perunggu, seperti pedang, tombak, dan cangkul. Periode metalurgi juga ditandai dengan perkembangan industri kerajinan dan perdagangan. Peradaban Lembah Sungai Kuning pada periode ini berkembang menjadi peradaban yang lebih maju dan berorganisasi, dengan munculnya berbagai kerajaan dan dinasti.
Perlu dipahami, bahwa mayoritas benda logam awal yang ditemukan di Tiongkok berasal dari Wilayah Barat Laut (terutama Gansu dan Qinghai). Selain itu, Tiongkok merupakan peradaban paling awal yang menggunakan tanur sembur dan memproduksi besi tuang.
Periode awal Metalurgi di Tiongkok umumnya dibagi menjadi dua periode utama, yaitu Periode Zaman Perunggu dan Periode Zaman Besi. Periode tersebut akan diuraikan sebagaimana berikut:
a. Zaman Perunggu;
Zaman Perunggu dimulai sekitar tahun 2000 SM, dengan pertumbuhan dan kematangan peradaban yang akan berlanjut selama 2000 tahun berikutnya.
Budaya Zaman Perunggu di Tiongkok memiliki karakteristik utama berupa penggunaan perunggu untuk membuat berbagai benda, seperti senjata, alat pertanian, dan bejana ritual. Selain itu, periode ini juga ditandai oleh perkembangan pemerintahan terpusat, masyarakat perkotaan, sistem penulisan, dan ritual keagamaan yang kompleks.
Objek perunggu tertua yang ditemukan di Tiongkok adalah perkakas dalam bentuk ‘Pisau’ yang ditemukan di situs Majiayao di Dongxiang, Provinsi Gansu, dan diperkirakan berasal antara tahun 2900–2740 SM.
Selain itu, di Provinsi Gansu juga terdapat situs Qijiaping, yang terkait dengan Budaya Qijia (2400 SM – 1600 SM) merupakan budaya awal Zaman Perunggu yang tersebar di sekitar wilayah hulu Sungai Kuning, Gansu (berpusat di Lanzhou ) dan timur Qinghai , Tiongkok . Budaya ini dianggap sebagai salah satu budaya perunggu paling awal di Tiongkok.
Masyarakat dalam Budaya Qijia merupakan masyarakat yang telah memiliki budaya menetap, yang berbasis pada pertanian dan peternakan babi, yang juga digunakan dalam pengorbanan.
Budaya Qijia dibedakan dengan keberadaan banyak kuda peliharaan, dan praktik ramalan orakel, pisau dan kapak logam yang ditemukan, menyebar ke wilayah tengah dan hilir Sungai Kuning pada akhir milenium ke-3 SM. Hal ini dimungkinkan terkait hubungan antara Budaya Qijia (Budaya Majiayao sebelumnya) dengan budaya Afanasievo (kebudayaan arkeologi awal di Siberia selatan, yang menempati Cekungan Minusinsk dan Pegunungan Altai pada era eneolitikum, 3300-2500 SM).
Perunggu tidak hanya benda, tetapi juga simbol kekuatan budaya dan kekuasaan, serta menunjukkan peradaban Tiongkok yang maju dalam hal metalurgi dan seni kerajinan. Ada penemuan pedang perunggu tertua pada 1965, yang diperkirakan berasal dari antara tahun 496-465 SM. Pedang ini ditemukan dalam kondisi yang sangat baik, yang dikenal dengan Pedang Goujian. Pedang ini ditemukan di sebuah pemakaman No. 1 Chu di desa Wangshan, kota Jiangling, Provinsi Hubei. Saat ditemukan, Pedang Goujian tidak berkarat meski berusia ribuan tahun, gagang diikat sutra dengan pommel berpola 11 lingkaran konsentris. Selain itu, kemampuan pedang yang bertahan terhadap noda, sangat jarang ditemukan pada artefak seusianya.
Selain senjata dan perkakas untuk pertanian, Perunggu sangat penting dalam ritual di Tiongkok, terutama selama Zaman Perunggu (sekitar 2000 SM hingga 300 SM). Perunggu digunakan untuk membuat bejana ritual, yang memainkan peran vital dalam pemujaan leluhur, upacara keagamaan, dan menunjukkan status sosial.
Bejana perunggu ritual Tiongkok memiliki berbagai bentuk dan fungsi, termasuk bejana untuk menuangkan minuman, makanan, dan sebagai bagian dari peralatan ritual di altar leluhur. Bejana perunggu juga sering dihiasi dengan motif-motif yang rumit, seperti topeng monster (taotie), hewan, dan pola geometris, yang mencerminkan kepercayaan dan budaya Tiongkok kuno. Berikut adalah contoh Bejana Perunggu Ritual yang pernah ditemukan, diantaranya adalah:
  • Ding; Kuali tiga atau empat kaki yang digunakan untuk memasak dan menyajikan makanan dalam upacara.
  • Zun; Wadah anggur berbentuk bulat atau persegi yang digunakan untuk menyimpan dan menyajikan minuman beralkohol.
  • Gui; Wadah untuk menyimpan makanan, seperti nasi atau beras, yang digunakan dalam ritual.
  • Li; wadah makanan berbentuk perut bundar dengan tiga kaki berongga dari masa Shang awal hingga akhir Negara-negara Berperang (tinggi 22 cm). Ciri khas dari jenis wadah ini adalah transisi yang mulus dan mulus dari kaki ke badan yang membuat li secara optik lebih ramping daripada jenis ding . Ada bentuk campuran yang disebut li-ding atau ding-li , ditulis dengan karakter khusus yang sudah lama punah. Sejak periode Musim Semi dan Musim Gugur, wadah jenis li menjadi lebih datar daripada yang sebelumnya. Karakter tersebut merupakan gambar wadah dan umumnya digunakan sebagai karakter untuk "wadah persembahan".
  • Fu; wadah makanan dari masa awal Zhou hingga Negara-negara Berperang yang berasal dari jenis gui persegi dengan badan besar dan sedikit pipih. Contoh di sebelah kiri adalah salah satu dari beberapa bagian yang masih ada (tinggi 36 cm). Karakter tersebut menunjukkan bahwa pada zaman dahulu wadah ini memiliki bagian dari bambu, tetapi khususnya untuk jenis wadah ini terdapat banyak karakter yang berbeda.
  • Xu; wadah makanan panjang dari akhir Dinasti Zhou Barat hingga Negara-negara Berperang (tinggi 20 cm), berasal dari jenis gui yang tertutup . Di sisi dalam benda ini, terukir teks tentang penaklukan selatan.
  • Dui (huruf yang biasanya diucapkan dun ); wadah makanan berbentuk bola dari akhir musim semi dan musim gugur hingga dinasti Qin (tinggi 25 cm). Konon, wadah ini merupakan gabungan dari ding dan gui . Kedua bagiannya sepenuhnya simetris
  • Yan; gabungan dari li dan pot ( zeng甑) dari awal Shang hingga periode Musim Semi dan Musim Gugur (tinggi 35 cm). Yan adalah sejenis kukusan logam. Makanan diletakkan di zeng , air di li dipanaskan oleh api di antara ketiga kakinya. Uap air naik melalui lubang atau kisi-kisi di dasar pot bagian atas. Ada benda-benda dengan satu li panjang seperti tungku dan tiga pot di atasnya. Dari Zhou Barat dan seterusnya, kita juga menemukan bejana yan berbentuk persegi . Karakter tersebut menunjukkan bahwa bejana tersebut berasal dari keramik.
  • Zu; meja jenis ini digunakan dari Dinasti Shang hingga Dinasti Zhou Barat. Tujuan utamanya adalah untuk mempersembahkan daging saat kurban. Beberapa jenis memiliki dua kaki besar, beberapa berkaki empat, dan piringnya ditekuk cekung.
  • Bi dan Shao; sendok datar dan centong dari zaman Shang hingga periode Negara-negara Berperang. Banyak benda bi yang gagangnya sangat pendek dan ujungnya tajam di bagian depan. Jenis sendok lainnya adalah dou枓.
  • Ying; Wadah untuk memegang air, seperti air suci atau air untuk menyiramkan.
  • Jue; salah satu cangkir anggur tertua, yang paling awal ditemukan berasal dari budaya Erlitou (gambar kanan). Ciri khas jue adalah paruhnya yang panjang seperti kanal ( liu流) dan paruh yang lebih pendek di sisi lainnya ( wei尾). Di kedua sisi, terdapat pegangan kecil ( pan鋬). Sejak Dinasti Shang, paruh jue dimahkotai oleh satu atau dua kancing zhu柱. Jenis wadah ini sangat populer dan sering ditiru. Jenis ini telah digunakan hingga munculnya mangkuk dan cangkir selama Dinasti Song.
  • Gu; cangkir anggur tinggi dan ramping dengan bukaan lebar dan ornamen langka dari masa Shang awal hingga Zhou Barat. Kesederhanaan gu ini telah diwariskan selama berabad-abad. Ada juga potongan berbentuk segi empat, yang disebut fanggu方觚. Karakter ini awalnya berarti semacam ukuran volume.
  • Zhi; sejenis wadah anggur tertutup yang langka dari akhir Shang hingga periode Musim Semi dan Musim Gugur. Ada yang datar dan bundar. Huruf ini aslinya berarti semacam takaran volume.
  • Hu; sejenis periuk tinggi dengan penutup, tetapi tanpa paruh dan gagang pembawa dari akhir Dinasti Shang hingga Negara-negara Berperang (tinggi 50 cm). Dalam kebanyakan kasus, jenis ini tidak banyak dihias. Di sebelah kiri, dua potong dari Dinasti Zhou Barat atau periode Negara-negara Berperang. Huruf hu adalah gambar periuk tersebut.
Bejana perunggu ritual tertua di Tiongkok ditemukan di situs Erlitou, dekat kota Luoyang, Provinsi Henan. Situs ini diperkirakan berasal dari sekitar tahun 1600 SM, pada awal Dinasti Shang. Bejana perunggu ini ditemukan di makam dan diperkirakan digunakan dalam upacara ritual di altar leluhur atau untuk dikuburkan bersama orang yang telah meninggal.
Periode Zaman Perunggu di Tiongkok, terutama selama Dinasti Shang (1600-1046 SM) dan Zhou (1045-256 SM), merupakan periode penting dalam sejarah Tiongkok, walaupun penggunaan perunggu ditandai awal oleh periode Dinasti Xia, yang diperkirakan berlangsung antara 2070 SM-1600 SM.
Dari penemuan Perunggu pada periode ini, dapat disimpulkan bahwa hingga sampai pada masa periode Dinasti Shang (1600-1046 SM), masyarakat Lembah Sungai Kuning menganut sistem agama politeisme yang kuat. memuja dewa-dewi alam seperti Feng Pa (dewa angin), Lei-Shih (dewa badai yang digambarkan sebagai naga), Tai Shan (dewa yang menguasai bukit suci), dan Ho-Po (dewa yang menguasai sungai), dan juga, masyarakat nyamemuja arwah leluhur.
Diperkirakan, konsep agama Buddha sendiri baru muncul dan berkembang setelah periode perunggu, yaitu setelah Dinasti Zhou (1046-221 SM). Selain itu Konfusianisme (dimulai sekitar abad 6 SM) dan Taoisme (berkembang secara filsafat mulai sekitar abad 6 SM, dan secara agama mulai abad 1 SM), yang merupakan aliran filsafat dan agama yang berkembang di Lembah Sungai Kuning, juga muncul di akhir era peradaban ini, tepatnya pada masa Dinasti Zhou (1045-256 SM).
b. Zaman Besi;
Zaman Besi dimulai di Tiongkok sekitar abad ke-9 SM, dengan perkembangan metalurgi besi yang mencapai lembah Yangtze pada akhir abad ke-6 SM.
Setelah Zaman Perunggu, menginjak ke Zaman Besi. Zaman Besi di Tiongkok, berlangsung antara sekitar tahun 700 SM hingga 600 SM, menandai transisi dari penggunaan perunggu ke penggunaan besi sebagai bahan utama untuk pembuatan peralatan dan senjata.
Peleburan besi di Tiongkok, diperkirakan dimulai pada akhir Dinasti Zhou Barat (1046–771 SM), sekitar akhir abad ke-8 SM. Teknologi peleburan besi berkembang pesat di Tiongkok kuno, dan bahkan lebih maju dibandingkan dengan peradaban lain di dunia.
Penemuan Pemakaman di Chawuhukou, Xinjiang, memberikan bukti awal tentang Zaman Besi di Asia Tengah, yang ditandai dengan penggunaan logam besi dalam pembuatan alat dan senjata. Zaman Besi ini diperkirakan dimulai di Asia Tengah sekitar abad ke-10 hingga ke-7 SM. Pemakaman ini terkait dengan masyarakat Saka, sebuah kelompok masyarakat dari Iran Timur yang hidup di wilayah Xinjiang pada masa itu. Masyarakat Saka dikenal dengan keahlian mereka dalam berkuda, seni, dan budaya unik mereka. Masyarakat ini merupakan kelompok nomaden dari Iran Timur yang hidup di Stepa Eurasia dan Cekungan Tarim, dari abad ke-9 SM hingga abad ke-5 M. Mereka berkerabat dekat dengan bangsa Skithia dan dianggap bagian dari budaya Skithia yang lebih luas.
Selain penemuan di Xinjiang tersebut, Pada tahun 2008, dua pecahan besi digali di situs Mogou, di Gansu. Benda-benda tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-14 SM, yang termasuk dalam periode budaya Siwa, yang merujuk pada budaya yang ditemukan oleh geolog Swedia Johan Gunnar Andersson pada tahun 1924 di Gunung Siwa di Kabupaten Lintao, di Provinsi Gansu, Tiongkok. Budaya Siwa dikenal karena menghasilkan jenis tembikar yang memiliki mulut berbentuk pelana.
Salah satu pecahan yang ditemukan di Situs Mogou, terbuat dari besi bloomery, bukan besi meteorit. Perlu diketahui bahwa Bloomery adalah jenis tungku metalurgi kuno yang digunakan untuk melebur bijih besi menjadi besi spons (bloom). Bloomery menghasilkan gumpalan besi berpori dan terak yang disebut "bloom", yang selanjutnya ditempa untuk menghilangkan kotoran dan menjadi besi tempa.

C. Bahasa dan Aksara
1. Bahasa Tiongkok
Bahasa Tiongkok atau Tionghoa, adalah bagian dari rumpun bahasa Sino-Tibet. Meskipun kebanyakan orang Tionghoa menganggap berbagai varian bahasa Tionghoa lisan sebagai satu bahasa, variasi dalam bahasa-bahasa lisan tersebut sebanding dengan variasi-variasi yang ada dalam misalkan bahasa Roman; bahasa tertulisnya juga telah berubah bentuk seiring dengan perjalanan waktu, meski lebih lambat dibandingkan dengan bentuk lisannya, dan oleh sebab itu mampu melebihi variasi-variasi dalam bentuk lisannya. Perbedaan utama antara konsep Tiongkok dan konsep Barat tentang bahasa ialah bahwa orang-orang Tiongkok sangat membedakan bahasa tertulis 文 (wén) dari bahasa lisan 语 (yǔ). Pembedaan ini diperluas sampai menjadi pembedaan antara kata tertulis 字 (zì) dan kata yang diucapkan 话 (huà).
Bahasa Tionghoa lisan adalah semacam bahasa intonasi yang berhubungan dengan bahasa Tibet dan bahasa Myanmar, tetapi secara genetis tidak berhubungan dengan bahasa-bahasa tetangga seperti bahasa Korea, bahasa Vietnam, bahasa Thai dan bahasa Jepang. Meskipun begitu, bahasa-bahasa tersebut mendapat pengaruh yang besar dari bahasa Tionghoa dalam proses sejarah, secara linguistik maupun ekstralinguistik.
Bahasa Tionghoa Lama adalah bahasa yang umum pada zaman awal dan pertengahan dinasti Zhou (abad ke-11 hingga 7 SM) - hal ini dibuktikan dengan adanya ukiran pada artifak-artifak perunggu, puisi Shijing, sejarah Shujing, dan sebagian dari Yijing (I Ching). Tugas merekonstruksi Bahasa Tionghoa Lama dimulai oleh para filologis dinasti Qing. Unsur-unsur fonetis yang ditemukan dalam kebanyakan aksara Tionghoa juga menunjukkan tanda-tanda cara baca lamanya.
Bahasa Tionghoa Pertengahan adalah bahasa yang digunakan pada zaman dinasti Sui, dinasti Tang dan dinasti Song (dari abad ke-7 hingga 10 Masehi). Bahasa ini dapat dibagi kepada masa awalnya - yang direfleksikan oleh tabel rima Qieyun (601 M) dan masa akhirnya pada sekitar abad ke-10 - yang direfleksikan oleh tabel rima Guangyun.
Bernhard Karlgren menamakan masa ini sebagai 'Tionghoa Kuno'. Ahli-ahli bahasa yakin mereka dapat membuat rekonstruksi yang menunjukkan bagaimana bahasa Tionghoa Pertengahan diucapkan. Bukti cara pembacaan bahasa Tionghoa Pertengahan ini datang dari berbagai sumber: varian dialek modern, kamus-kamus rima, dan transliterasi asing.
2. Aksara Tiongkok
Berkaitan dengan Aksara Tiongkok atau Aksara Tionghoa adalah aksara morfemis (satu aksara untuk mewakili satu kata) yang digunakan dalam penulisan bahasa Tionghoa dan beberapa bahasa Asia. Aksara awal masyarakt Tiongkok kuno dikenal dengan Tulang Ramalan, yang merujuk pada kepingan tulang atau cangkang kura-kura yang dipanaskan dan dipecahkan dengan tongkat perunggu, sewaktu peramalan, terutama pada akhir Dinasti Shang (1600 –1046 SM) dan awal Dinasti Zhou (1046 – 256 SM). Pada umumnya, Tulang Ramalan ini diukir dengan tulisan.
Tulang-tulang orakel terutama ditemukan di situs arkeologi Yinxu (juga dikenal sebagai Reruntuhan Yin atau Reruntuhan Yin) di Anyang modern, provinsi Henan. Tiongkok Modern. Tulang-tulang orakel ditemukan pada akhir abad ke-19 oleh para petani di provinsi Henan, Tiongkok. Para petani tersebut, yang sedang mencari obat-obatan, menemukan pecahan-pecahan tulang dan cangkang kuno yang memiliki tulisan-tulisan misterius di atasnya.
Awalnya, tulang-tulang tersebut diyakini sebagai tulang naga atau fosil, dan tulisan-tulisan tersebut dianggap hanya sekadar pola-pola dekoratif. Pada tahun 1899, seorang sarjana Tiongkok bernama Wang Yirong menyadari signifikansi historis dari tulisan-tulisan tersebut dan mengidentifikasinya sebagai tulisan Tiongkok kuno. Temuan Wang Yirong memicu minat di antara para sarjana lainnya, yang mengarah pada penyelidikan dan penggalian lebih lanjut. Studi sistematis tulang orakel dimulai pada awal abad ke-20, khususnya selama tahun 1920-an dan 1930-an. Arkeolog dan cendekiawan, seperti Li Ji dan Guo Moruo, melakukan penggalian ekstensif di ibu kota Dinasti Shang, Anyang, di provinsi Henan. Penggalian ini menemukan sejumlah besar tulang orakel.
Proses menguraikan prasasti tulang orakel merupakan tantangan yang signifikan karena aksara yang rumit dan kuno. Para cendekiawan awalnya harus mengidentifikasi dan mengkategorikan aksara, menguraikan maknanya, dan merekonstruksi bahasa kuno.
Karya cendekiawan terkenal, seperti Wang Guowei, Luo Zhenyu, dan Xia Nai, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman aksara tulang orakel dan interpretasi prasasti.
Penemuan tulang orakel merevolusi studi sejarah Tiongkok kuno. Artefak bertulis ini memberikan bukti konkret tentang keberadaan Dinasti Shang, yang sebelumnya dikenal terutama dari teks-teks sejarah. Prasasti tulang tersebut memberikan catatan langsung tentang para penguasa Shang, ritual, urusan politik, kegiatan militer, dan kehidupan sehari-hari mereka.

D. Perdagangan
Dalam sejarah populer perdagangan Tiongkok kuno, dikenal istilah Jalur Sutra, yang menjadi urat nadi utama bagi pertukaran dagang dan Budaya sejak abad ke-4 SM hingga abad ke-13 Masehi. Akan tetapi, sebelum nya terdapat sebuah jalur perdagangan yang awalnya menghubungkan antara Tiongkok dengan Tibet, yaitu sebuah hubungan yang memperdagangkan Teh dengan Kuda. Jalur ini dikenal dengan “Jalur Teh-Kuda Kuno (Tea Horse Road)” atau dikenal pula dengan Jalur Perdagangan Chama atau Chamagudao.
Istilah chama berasal dari dua kata dalam bahasa Mandarin, yakni cha (teh) dan ma (kuda). Jalur ini juga disebut "Jalur Sutra Selatan" atau "Jalur Sutra Barat Daya", karena menjadi komponen jalur utama di kawasan ini.
Perlu diketahui, Sichuan dan Yunnan diyakini sebagai daerah penghasil teh pertama di dunia. Catatan pertama tentang budidaya teh menunjukkan bahwa teh dibudidayakan di Gunung Mengding, di Provinsi Sichuan antara Chengdu (ibu kota Provinsi) dan Ya'an (Barat kota Chendu, lereng Gunung Tibet), sekitar sebelum tahun 65 SM. Ya'an telah menjadi pusat perdagangan teh yang penting hingga abad ke-20.
Diperkirakan, melalui Jalur Perdagangan ini, Teh menyebar dari asal-usulnya yang kemungkinan berasal dari daerah Pu'er, Barat Daya, Provinsi Yunnan.
Jalur perdagangan Teh-Kuda ini diperkirakan berkembang pada Dinasti Song (960–1279 M), ketika kuda-kuda Poni yang kokoh, yang berasal dari Tibet, penting bagi Tiongkok untuk melawan para pengembara yang bertikai di utara.
Selain Teh, komoditi yang diperdagangkan diantaranya adalah garam dan produk sutra dari Chengdu, terutama shujin (jenis sulaman Sichuan ). Setelah perkembangan perdagangan Sutra Maritim, serta tersedianya Teh India dan Ceylon membuat jalur perdagangan Chama menjadi “usang”.
Perkembangan jalur Sutra, tidak lepas dari komoditi Kain Sutra yang di Monopoli Tiongkok hingga sekitar abad 1 Masehi. Kain Sutra, mulai berkembang sekitar Milenium 3 SM, ketika masa perkembangan Kebudayaan Yangshao (Sekitar 5000-3000 SM), dengan penemuan Kain Sutra tertua, yang berasal dari sekitar 3630 SM, di Provinsi Henan. Selain itu, pada masa Kaisar Kuning atau Kaisar Huangdi (2711-2597 SM), penguasa Tiga Maharaja dan Lima Kaisar (Sekitar 6.000–2070 SM), dalam sebuah legenda menceritakan bahwa, salah satu istrinya yang bernama Leizu, juga dikenal sebagai Xi Lingshi menemukan serikultur (peternakan Sutra), dan menemukan alat tenun sutra pada abad ke-27 SM. Selain itu perlu dipahami bahwa warna sutra yang dipakai, pernah menentukan kelas sosial seseorang, yaitu selama periode Dinasti Tang (618–907 M).
Selain Teh dan Sutra, terdapat pula perdagangan Garam, yang merupakan salah satu komoditi perdagangan tertua dan paling dibutuhkan di Tiongkok Kuno. Perlu diketahui bahwa Garam adalah salah satu dari "tujuh kebutuhan hidup" yang disebutkan dalam peribahasa...” dan ‘asin’ adalah salah satu dari "lima rasa" yang membentuk dasar kosmologis masakan Tiongkok”. Garam memiliki peran penting dalam ekonomi kuno karena fungsinya sebagai kebutuhan pokok dan pengawet makanan. Di beberapa wilayah, garam bahkan ditukar dengan emas atau komoditas berharga lainnya.
Pada awalnya, Garam diperkenalkan di lembah Sungai Kuning semenjak Budaya Dawenkou (4300-2600 SM), yang telah telah memproduksi garam dari air garam bawah tanah, lebih dari 6.000 tahun yang lalu selama periode Neolitikum.
Perdagangan Garam di Lembah Sungai Kuning, sangat dipengaruhi oleh Jalur Perdagangan Tibet-Nepal. Dalam berita Tiongkok, Garam merupakan salah satu komoditi yang sering diperebutkan, terutama saat awal Tiongkok kuno, yaitu pada masa Tiga Maharaja dan Lima Kaisar (Sekitar 6.000–2070 SM), pada masa kekuasaan Kaisar Kuning / Huang Ti (berkuasa 2698-2598 SM), yang diperkirakan pusat pemerintahannya terletak di di Bukit Xuanyuan, di sekitar Kota Zhengzhou, Provinsi Henan sekarang.

Komentar