Perahu Djung ; Perahu Nusantara

Djong (juga disebut jong, jung atau junk) adalah jenis kapal layar kuno yang berasal dari Jawa, dan digunakan secara umum oleh pelaut Jawa dan Melayu. Perkataan itu dulunya dan sekarang dieja sebagai "jong" dalam bahasa asalnya, ejaan "djong" sebenarnya adalah romanisasi kolonial Belanda.
Jung digunakan terutama sebagai kapal penumpang dan kapal kargo, dapat mencapai Ghana atau bahkan Brazil di zaman kuno. Bobot muatan rata-rata adalah 400-500 ton mati, dengan kisaran 85-2000 ton. 
Pada zaman Majapahit kapal jenis ini digunakan sebagai kapal perang, tetapi masih dominan sebagai kapal angkut.
Konstruksi perahu Nusantara sangat unik. Lambung perahu dibentuk untuk menyambungkan papan-papan pada lunas kapal. Kemudian disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku besi. 
Linggi haluan(bagian terdepan kapal) dan buritan berbentuk lancip. Kapal Jung dilengkapi dengan dua batang kemudi yang menyerupai dayung, serta layar berbentuk segi empat (layar tanja) atau layar lateen dengan sekat bambu (layar jung). 
Kapal Jawa jelas berbeda dengan kapal Tiongkok yang lambungnya dikencangkan dengan pasak-pasak kayu dan bukan paku besi. Selain itu kapal Tiongkok memiliki kemudi tunggal yang dipasang pada palang rusuk buritan.
Duarte Barbosa(Penulis & penerjemah; 1480-1521M) melaporkan bahwa kapal-kapal dari Jawa, yang memiliki empat tiang, sangat berbeda dari kapal Portugis. Terbuat dari kayu yang sangat tebal, dan ketika kapal menjadi tua, mereka memperbaikinya dengan papan baru dan dengan cara ini mereka memiliki tiga hingga empat papan penutup, ditumpuk berlapis. Selain itu, Tali dan layar dibuat dari anyaman rotan.
Kapal jung Jawa dibuat menggunakan kayu jati sedangkan pada saat awal abad ke-16, jung Cina masih menggunakan kayu lunak sebagai bahan utamanya.
Lambung kapal Jawa dibentuk dengan menggabungkan papan ke lunas dan kemudian ke satu sama lain dengan semat kayu, tanpa menggunakan rangka (kecuali untuk penguat berikutnya), maupun baut atau paku besi. Papannya dilubangi oleh bor tangan dan dimasukkan dengan pasak, yang tetap di dalam papan-papan itu, tidak terlihat dari luar.
Pada beberapa bagian kapal yang lebih kecil dapat diikat bersama dengan serat tumbuhan. 
Kapal itu juga sama-sama lancip pada kedua ujungnya, dan membawa dua kemudi yang mirip dayung dan layar lateen (sebenarnya layar tanja), tetapi ia juga dapat menggunakan layar jung, jenis layar yang berasal dari Indonesia.
Hal ini sangat berbeda dari kapal Cina, yang lambungnya diikat oleh tali dan paku besi ke rangka dan ke sekat yang membagi ruang kargo. Selain itu, kapal cina ini hanya memiliki kemudi tunggal di buritan, dan (kecuali di Fujian dan Guangdong) mereka memiliki bagian bawah yang rata tanpa lunas.
Penggambaran historis juga menunjukan adanya bowsprit (tiang cucur) dan layar bowsprit, dan juga adanya stempost (linggi haluan) dan sternpost (linggi buritan). Memanjang dari bagian depan sampai belakang terdapat struktur seperti rumah, dimana orang-orang terlindung dari panasnya matahari, hujan dan embun. 
Di buritan terdapat sebuah kabin untuk nakhoda kapal. Kabin ini berbentuk bujur sangkar dan menonjol ("menggantung") di atas buritan bawahnya yang tajam (linggi belakang). 
Haluannya juga memiliki platform persegi yang menonjol di atas linggi depan, untuk tiang cucur dan perisai meriam yang menghadap ke depan (disebut apilan atau ampilan pada bahasa Melayu).
Sebuah jung dapat membawa hingga 100 berço (artileri yang diisi dari belakang - kemungkinan merujuk pada bedil atau cetbang secara khusus).
Menurut bapa Nicolau Pereira, jong mempunyai 3 kemudi, satu di setiap sisi dan satu di tengah. Laporan Pereira tidak biasa, karena laporan lain hanya menyebutkan 2 kemudi samping. Ini mungkin mengacu pada jung hibrida, dengan kemudi tengah seperti yang ada di kapal Cina (kemudi tengah menggantung) atau kemudi tengah Barat (kemudi pintle dan gudgeon). 
Sebuah jung memiliki rasio lebar terhadap panjang sebesar 1: 3 sampai masuk ke kategori "kapal bundar" (round ship).
Periode Awal
Ahli astronomi Yunani dari Alexandria, Claudius Ptolemaeus(90 – 168 M), pada sekitar tahun 100 masehi dalam karya Geography nya berkata bahwa kapal besar datang dari Timur India. Ini dikonfirmasi juga oleh buku tak berpengarang yaitu Periplus Marae Erythraensis. 
Keduanya menyebutkan sebuah jenis kapal yang disebut kolandiaphonta (juga dikenal sebagai kolandia, kolandiapha, dan kolandiapha onta), yang merupakan transkripsi langsung dari kata Cina K'un-lun po - yang berarti kapal "Kun-lun", nama Cina untuk Sumatra dan/atau Jawa.
Buku abad ke-3 berjudul "Hal-Hal Aneh dari Selatan" (南州異物志) karya Wan Chen (萬震) mendeskripsikan kapal yang mampu membawa 600-700 orang bersama dengan lebih dari 10.000 hu (斛) kargo (menurut berbagai interpretasi, berarti 250-1000 ton: 275 - 600 ton bobot mati menurut Manguin).
Kapal ini bukan berasal dari Cina, namun mereka berasal dari K'un-lun (berarti "kepulauan di bawah angin" atau "negeri Selatan"). Kapal-kapal yang disebut K'un-lun po (atau K'un-lun bo), yang besar lebih dari 50 meter panjangnya dan tingginya di atas air 5,2-7,8 meter.
Bila dilihat dari atas kapal-kapal itu serupa galeri-galeri yang diatapi.
Dia menjelaskan desain layar kapal sebagai berikut:
"Orang-orang yang berada di luar penghalang, sesuai dengan ukuran kapalnya, terkadang memasang (sampai sebanyak) empat layar yang mereka bawa secara berurutan dari haluan ke buritan. (...) Keempat layar itu tidak menghadap ke depan secara langsung, tetapi diatur secara miring, dan diatur sedemikian rupa sehingga semuanya dapat diperbaiki ke arah yang sama, untuk menerima angin dan menumpahkannya. 
Layar-layar yang berada di belakang layar yang menghadap arah angin menerima tekanan angin, melemparkannya dari satu ke yang lain, sehingga mereka semua mendapat keuntungan dari kekuatannya. 
Jika sedang badai, (para pelaut) mengurangi atau memperbesar permukaan layar sesuai dengan kondisi. Sistem layar miring ini, yang memungkinkan layar untuk menerima angin dari satu dan lainnya, menghindarkan kecemasan yang terjadi ketika memiliki tiang tinggi. 
Dengan demikian kapal-kapal ini berlayar tanpa menghindari angin kencang dan ombak besar, dengan itu mereka dapat mencapai kecepatan tinggi."
Kata "po" ini bukan bahasa Cina, melainkan berasal dari kata perahu. Perlu diketahui bahwa kata "perahu" sebelum abad ke-17 merujuk pada kapal-kapal besar.
Faxian (Fa Hsien) dalam perjalanan pulangnya ke Cina dari India (413-414M) menaiki sebuah kapal yang berisi 200 penumpang dan pelaut dari K'un-lun yang menarik kapal yang lebih kecil. 
Topan menghantam dan memaksa sebagian penumpang untuk pindah ke kapal yang lebih kecil, akan tetapi awak kapal kecil takut kapalnya akan kelebihan muatan, dan melepas tali pengikat untuk berpisah dari kapal besar. 
Untungnya kapal besar tidak tenggelam dan menjadikan penumpangnya terdampar di Ye-po-ti (Yawadwipa - Jawa).
Setelah 5 bulan, awak dan penumpangnya menaiki kapal lain yang sebanding dalam ukurannya untuk berlayar ke Cina.
Pada I-ch’ieh-ching yin-i, sebuah kamus yang disusun oleh Huei-lin sekitar 817 M, po disebutkan beberapa kali:
"Ssu-ma Piao, dalam komentarnya pada Chuang Tzü, mengatakan bahwa kapal laut besar disebut dengan "po". Menurut Kuang Ya, Po adalah kapal pengarung samudera. Ia memiliki draft (kedalaman) 60 kaki (18 m). 
Kapal ini cepat dan membawa 1000 orang beserta barang dagangannya. Kapal itu juga disebut k'un-lun-po.
Dengan kulit kayu pohon kelapa yang berserat, mereka membuat tali yang mengikat bagian-bagian kapal menjadi satu (...). 
Paku dan penjepit tidak digunakan, karena khawatir panasnya besi akan menimbulkan kebakaran. Kapal-kapal itu dibangun dengan memasang beberapa lapis papan samping, karena papan-papan itu tipis dan mereka khawatir akan patah. Panjangnya lebih dari 60 meter (...). 
Layar dikibarkan untuk memanfaatkan angin, dan kapal-kapal ini tidak dapat digerakkan oleh kekuatan manusia saja."
Kuang Ya adalah kamus yang disusun oleh Chang I sekitar 230 M, sedangkan Ssu-ma Piao hidup dari sekitar tahun 240-305M.
Pada 1178 Masehi, petugas bea cukai Guangzhou, Zhou Qufei, menulis dalam Lingwai Daida tentang kapal-kapal negeri Selatan:
"Kapal yang berlayar di laut Selatan (laut Natuna Utara) dan Selatannya lagi (Samudera Hindia) seperti rumah raksasa. Ketika layarnya mengembang mereka seperti awan besar di langit. Kemudi mereka panjangnya mencapai puluhan kaki. 
Sebuah kapal dapat membawa beberapa ratus orang, dan bekal beras untuk setahun. 
Babi diberi makan di dalamnya dan wine difermentasikan saat berlayar. 
Tidak ada laporan dari orang yang masih hidup atau sudah meninggal, bahwa mereka tidak akan kembali ke daratan saat mereka sudah berlayar ke lautan yang biru. 
Saat fajar, ketika gong berdentum di kapal, hewan-hewan dapat minum, kru dan penumpang sama-sama melupakan segala bahaya. 
Bagi siapapun yang naik semuanya tersembunyi dan hilang dalam angkasa, gunung-gunung, daratan-daratan, dan negeri-negeri asing. 
Pemilik kapal dapat berkata 'Untuk mencapai negeri-negeri tersebut, dengan angin yang menguntungkan, dalam beberapa hari, kita pasti melihat gunung-gunung, dan kapal ini harus disetir ke arahnya'. 
Tapi jika angin melambat, dan tidak cukup kuat untuk dapat melihat gunung dalam waktu yang ditentukan; pada kasus itu baringan mungkin harus diubah. Dan kapalnya bisa berjalan jauh melewati daratan dan kehilangan posisinya. 
Angin kuat mungkin muncul, kapalnya dapat terbawa kesana dan kemari, mungkin dapat bertemu dengan beting atau terdorong ke atas batu-batu tersembunyi, maka itu mungkin dapat merusak sampai ke atap rumah di atas deknya. 
Sebuah kapal besar dengan kargo berat tidak perlu takut akan lautan yang berombak, tetapi di air dangkal ia justru bersedih."
Periode Majapahit(1293 -1527 M)
Pada sekitar 1316-1322 Masehi, rahib Odorico da Pordenone (1286-1331 M) melaporkan bahwa dalam perjalanannya dari India ke Cina, ia menumpangi kapal dari tipe zuncum membawa sekitar 700 orang, baik pelaut maupun pedagang.
Kerajaan Majapahit menggunakan jung secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya. 
Tidak diketahui berapa tepatnya jumlah total jung yang digunakan oleh Majapahit, tetapi mereka dikelompokkan menjadi 5 armada. Jumlah terbesar jung yang dikerahkan dalam sebuah ekspedisi adalah sekitar 400 jung yang disertai dengan malabang (kapal perang) dan kelulus(kapal perang) yang tak terhitung banyaknya, yakni ketika Majapahit menyerang Pasai.
Ekspedisi militer terbesar kedua, invasi Singapura pada tahun 1398 Masehi, Majapahit mengerahkan 300 jung dengan tidak kurang dari 200.000 orang (lebih dari 600 orang di setiap jung).
Di antara jung terkecil yang tercatat, yang digunakan oleh Chen Yanxiang(1394–1412M) untuk mengunjungi Korea, panjangnya 33 meter dengan perkiraan kapasitas 220 ton bobot mati, dengan awak 121 orang. 
Kapal yang besar dapat membawa 800 orang dan panjangnya mencapai 50 depa (sekitar 91,44–100 m).
Sebuah jung Bali yang digunakan oleh Bujangga Manik untuk melakukan perjalanan dari Bali ke Blambangan memiliki lebar 8 depa (14,6-16 m) dan panjang 25 depa (45,7-50 m). Kapal ini dipersenjatai meriam sepanjang 3 meter, dan banyak cetbang berukuran kecil.
Sebelum tragedi Bubat tahun 1357 Masehi, raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa dalam armada dengan 200 kapal besar dan 2000 kapal yang lebih kecil. 
Kapal yang dinaiki keluarga kerajaan adalah sebuah jong hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno: Jung sasanga wagunan ring Tatarnagari tiniru). 
Kapal hibrida ini mencampurkan teknik Cina dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air (watertight bulkhead), dan penambahan kemudi sentral.
Buku karangan Wang Dayuan tahun 1349 Masehi, Daoyi Zhilüe Guangzheng Xia ("Deskripsi Orang Barbar dari Kepulauan") menjelaskan "perahu kuda" di sebuah tempat bernama Gan-mai-li di Asia Tenggara. Kapal-kapal ini lebih besar dari kapal dagang biasa, dengan sisi lambungnya dibangun dari beberapa papan. Kapal-kapal ini tidak menggunakan paku atau mortir untuk menggabungkan mereka, sebaliknya mereka menggunakan serat kelapa. Mereka memiliki dua atau tiga dek, dengan "rumah" di atas dek teratas. 
Di bagian bawah mereka membawa kemenyan yang sudah ditekan, di atas itu mereka membawa beberapa ratus kuda. Wang menyebutkan secara khusus kapal-kapal ini karena lada, yang juga diangkut oleh mereka, dibawa ke tempat-tempat yang jauh dengan jumlah besar. Kapal dagang biasa biasanya hanya membawa kurang dari 1/10 dari kargo mereka.
Biasanya, kapal utama menarik kapal kecil dibelakangnya untuk pendaratan. Data dari catatan Marco Polo memungkinkan untuk menghitung ukuran kapal-kapal ini, yang terbesar mungkin memiliki kapasitas 500-800 ton, hampir sama dengan kapal-kapal Tiongkok yang digunakan untuk berdagang pada abad ke-19. Kapal kecil itu sendiri mungkin bisa membawa sekitar 70 ton.
Niccolò da Conti dalam perjalanannya di Asia tahun 1419-1444 M, mendeskripsikan kapal yang jauh lebih besar dari kapal Eropa, yang mampu mencapai berat 2.000 ton, dengan lima layar dan tiang. 
Bagian bawah dibangun dengan tiga lapis papan, untuk menahan kekuatan badai. Kapal tersebut dibangun dengan kompartemen, sehingga jika satu bagian hancur, bagian lainnya tetap utuh untuk menyelesaikan pelayaran.
Fra Mauro dalam petanya menjelaskan bahwa sebuah jong berhasil mengitari Tanjung Harapan dan berlayar jauh ke Samudera Atlantik, pada tahun 1420 Masehi:
"Sekitar tahun 1420 M sebuah kapal, yang disebut zoncho India, pada saat melewati samudra Hindia menuju "Pulau Pria dan Wanita", dialihkan melewati "Tanjung Diab" (Ditunjukan sebagai Tanjung Harapan di peta), melewati "Kepulauan hijau" ("isole uerde", Pulau Cabo Verde), ke "Lautan kegelapan" (Samudera Atlantik) ke arah Barat dan Barat daya. Tidak ada apa pun kecuali udara dan air yang terlihat selama 40 hari dan menurut perhitungan mereka, mereka berlayar sejauh 2.000 mil sampai keberuntungan meninggalkan mereka. Ketika cuaca mereda mereka kembali ke "Tanjung Diab" dalam 70 hari dan mendekati pantai untuk memenuhi perbekalan mereka, para pelaut melihat telur burung yang disebut roc, yang telurnya sebesar amphora."
- Tulisan di peta Fra Mauro, 10-A13
Kapal Borobudur telah memainkan peran besar dalam segenap urusan orang Jawa di bidang pelayaran, selama beratus-ratus tahun sebelum abad ke-13. 
Memasuki awal abad ke-8, peran kapal Borobudur digeser oleh kapal kapal Jawa yang berukuran lebih besar, dengan tiga atau empat layar sebagai Jung. 
Pelaut Portugis menyebut juncos, pelaut Italia menyebut zonchi. Istilah jung dipakai pertama kali dalam catatan perjalanan Rahib Odorico, John dari Marignolli, dan Ibn Battuta yang berlayar ke Nusantara, awal abad ke-14 mereka memuji kehebatan kapal Jawa berukuran raksasa sebagai penguasa laut Asia Tenggara. 
Teknologi pembuatan Jung tak jauh berbeda dengan pengerjaan kapal Borobudur; seluruh badan kapal dibangun tanpa menggunakan paku.
Periode pelayaran Eropa
Pedagang Firenze Giovanni da Empoli (1483-1517M), salah satu agen Italia pertama yang bergabung dengan armada Portugis ke India pada 1503-1504M, mengatakan bahwa di tanah Jawa, jung tidak berbeda kekuatannya dibanding benteng, karena ia memiliki tiga dan empat lapis papan, satu di atas yang lain, yang tidak dapat dirusak dengan artileri. Mereka berlayar bersama dengan wanita, anak-anak, dan keluarga mereka, dan semua orang mendapat kamarnya sendiri.
Pertemuan dengan kapal jung raksasa terjadi sebelum invasi Malaka. 
Sejarawan Portugis João de Barros (1496–1570 M) menulis bahwa ketika badai besar terjadi saat armada Albuquerque's berada diantara Sri Lanka dan Aceh, sebuah kapal dibawah komando Simão Martinho tenggelam, tapi krunya diselamatkan oleh Fernão Pires de Andrade dan dibawa ke kapalnya. Untuk menebus kehilangan ini, orang Portugis menangkap 5 kapal dari Gujarat yang berlayar diantara Melaka dan Sumatra. 
Armada kecil Albuquerque bertempur dengan sebuah jung musuh dari para muslim Melaka dekat sebuah pulau antara Lumut dan Belawan. Menurut Barros, mereka bertarung selama 2 hari.
Awak jung itu menggunakan taktik untuk membakar bahan berminyak dan mudah terbakar sebagai cara membakar kapal Albuquerque dan memukul mundur tindakan boarding (melompat ke kapal musuh), saat armada Albuquerque melakukan penubrukan dan penembakan meriam dari jarak dekat. Meskipun jung itu menyerah; orang Portugis mendapat kekaguman atas jung dan awaknya yang menjulukinya O Bravo (Jung Pemberani). 
Para kru Portugis meminta Fernão Pires untuk membujuk Albuquerque supaya awak jung tersebut diampuni dan dipandang sebagai bawahan dari Portugal yang tidak mengetahui dengan siapa mereka bertempur. Albuquerque akhirnya setuju akan ini.
Saat melewati Pacem (Samudera Pasai), orang Portugis bertemu dengan dua buah jung, salah satu berasal dari koromandel, yang segera dihancurkan, dan satunya lagi dari Jawa, yang lebih besar dan lebih cepat dari kapal terbesar mereka, Flor do Mar. 
Portugis memerintahkannya untuk berhenti tetapi ia menembaki armada mereka, setelah itu Portugis membalas tembakan. Dilaporkan oleh Gaspar Correia:
“Karena junco itu memulai serangan, sang Gubernur mendekatinya bersama seluruh armadanya. Kapal-kapal Portugis mulai menembaki junco, tetapi tidak ada pengaruhnya sama sekali. Lalu junco berlayar pergi …. Kapal-kapal Portugis lalu menembaki tiang-tiang junco …. dan layarnya berjatuhan. Karena sangat tinggi, orang-orang kami tidak berani menaikinya, dan tembakan kami tidak merusaknya sedikit pun karena junco memiliki empat lapis papan. Meriam terbesar kami hanya mampu menembus tak lebih dari dua lapis …Melihat hal itu, sang Gubernur memerintahkan nau-nya untuk datang ke samping junco. (Kapal Portugis) ini adalah Flor de la Mar, kapal Portugis yang tertinggi. Dan ketika berusaha untuk menaiki junco, bagian belakang kapal tidak bisa mencapai jembatannya. 
Awak Junco mempertahankan diri dengan baik sehingga kapal Portugis terpaksa berlayar menjauhi kapal itu lagi. (Setelah pertempuran selama dua hari dua malam) sang Gubernur memutuskan untuk mematahkan dua buah kemudi yang ada diluar kapal. Setelah itu barulah junco itu menyerah."
-Gaspar Correia
"...Setelah menyadari bahwa meriam bombard mereka sebagian besar tidak efektif (bola meriam mereka memantul di lambung kapal), orang Portugis menggunakan taktik lain: Grapple (melemparkan kait pengikat dan menarik kapal) untuk mendekati jung, lalu menyerang dalam pertempuran jarak dekat dan membakar jung itu. 
Awak kapal jung itu menyerah setelah memadamkan kebakaran dengan susah payah dan setidaknya 40 orang tewas. 
Setelah naik, Portugis menemukan seorang anggota keluarga kerajaan Pasai, yang berharap dia dapat menukar tahanan Portugis dengannya..."
Jung itu membawa sekitar 600 ton muatan, dengan 300 orang tentara di dalamnya.
Pada Januari 1513 Masehi Pati Unus mencoba mengejutkan Portugis di Malaka, dengan membawa sekitar 100 kapal dengan 5.000 tentara Jawa dari Jepara dan Palembang. 
Sekitar 30 dari mereka adalah jung besar seberat 350-600 ton (pengecualian untuk kapal utama Pati Unus), sisanya adalah kapal jenis lancaran, penjajap, dan kelulus. 
Jung-jung itu sendiri membawa 12.000 orang. Kapal-kapal itu membawa banyak artileri yang dibuat di Jawa.
Meskipun dikalahkan, Patih Unus berlayar pulang dan mendamparkan jung perang berlapis bajanya sebagai monumen perjuangan melawan orang-orang yang disebutnya paling berani di dunia. Ini memenangkannya beberapa tahun kemudian dalam tahta Demak. 
Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, 22 Februari 1513 Masehi, Fernão Pires de Andrade, Kapten armada yang menghalau Pati Unus, mengatakan:
"...jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa seribu orang tentara di kapal, dan Yang Mulia dapat mempercayaiku ... bahwa itu adalah hal yang sangat luar biasa untuk dilihat, karena Anunciada di dekatnya tidak terlihat seperti sebuah kapal sama sekali. Kami menyerangnya dengan bombard, tetapi bahkan tembakan yang terbesar tidak menembusnya di bawah garis air, dan (tembakan) espera (meriam besar Portugis) yang saya miliki di kapal saya berhasil masuk tetapi tidak tembus; kapal itu memiliki tiga lapisan logam, yang semuanya lebih dari satu cruzado tebalnya. Dan kapal itu benar-benar sangat mengerikan bahkan tidak ada orang yang pernah melihat sejenisnya. Butuh waktu tiga tahun untuk membangunnya, Yang Mulia mungkin pernah mendengar cerita di Malaka tentang Pati Unus, yang membuat armada ini untuk menjadi raja Malaka."
-Fernão Pires de Andrade, Cartas, III, h.59
Castanheda mencatat bahwa jung Pati Unus dibangun dengan 7 papan, yang disebut lapis dalam bahasa Melayu, diantara tiap papan diberi lapisan yang terdiri dari campuran aspal, kapur, dan minyak.
Pati Unus menggunakannya sebagai benteng terapung untuk memblokir area di sekitar Malaka.
Orang Portugis mencatat bahwa kapal besar dan susah dikendalikan itu menjadi kelemahan. Orang Portugis berhasil menghalau serangan itu dengan kapal yang lebih kecil dan lincah, menggunakan taktik melompat naik (boarding) dan membakar jung. Dengan begitu, armada Portugis bisa menghalau jung Jawa dari perairan Malaka. 
Takjub akan kekuatan kapal ini, Albuquerque mempekerjakan 60 tukang kayu dan arsitek kapal Jawa dari galangan kapal Malaka dan mengirimnya ke India, dengan harapan bahwa para pengrajin ini sanggup memperbaiki kapal-kapal Portugis di India. Akan tetapi mereka tidak pernah sampai di India, mereka memberontak dan membawa kapal Portugis yang mereka tumpangi ke Pasai, dimana mereka disambut dengan luar biasa. Orang Portugis menggunakan jung dalam jumlah besar untuk perdagangan mereka di Asia. 
Setidaknya 1 jung dibawa ke Portugal, untuk digunakan sebagai kapal penjaga pantai di Sacavem, dibawah perintah raja John III, dan sebagai kapal perang di Armada Selat Gibraltar, Esquadra do Estreito.
Tome Pires pada 1515 Masehi diberitahukan bahwa penguasa Kanton (sekarang Guangzhou) membuat hukum yang mewajibkan kapal asing berlabuh di sebuah pulau di tepi pantai. 
Dia bilang orang Cina membuat hukum tentang pelarangan masuknya kapal ke Kanton, hal ini karena mereka takut akan orang Jawa dan Melayu. Mereka yakin satu buah kapal jung milik Jawa atau Melayu bisa mengalahkan 20 kapal jung Cina. 
Cina mempunyai lebih dari 1000 jung, tetapi satu kapal jung Jawa berukuran 400 ton dapat menghancurkan Kanton, dan penghancuran ini akan membawa kerugian besar bagi Cina. Orang Cina takut jika kota itu dirampas dari mereka, karena Kanton adalah salah satu kota terkaya di Cina.
Atlas Lopo Homem-Reineis (atlas Miller) tahun 1519 Masehi adalah salah satu peta Eropa paling awal yang menggambarkan jong. Jong-jong itu bertiang tiga hingga tujuh, dengan ujung yang sama tajamnya (karena adanya linggi haluan dan linggi buritan), dan dikemudikan menggunakan kemudi kuartal ganda. Namun, ada ketidakakuratan dalam penggambaran tersebut. 
Kapal-kapal itu digambarkan dengan kastil depan tinggi yang mirip dengan kerakah. Layarnya digambarkan seperti layar persegi, meskipun sang seniman mungkin telah mencoba untuk menggambarkan layar persegi panjang miring (layar tanja). 
Struktur seperti panah di haluan mungkin merupakan upaya untuk menggambarkan barunastra.
Pada 1574 M, ratu Kalinyamat dari Jepara menyerang Portugis di Malaka dengan 300 kapal, yang meliputi 80 jong dengan tonase 400 ton dan 220 kelulus di bawah komando Ki Demat, tetapi dengan sedikit artileri dan senjata api. Saat perbekalan menipis dan udara menjadi tercemar oleh penyakit, Tristão Vaz da Veiga memutuskan untuk mempersenjatai armada kecil sebuah galai dan empat galai kecil dan sekitar 100 tentara dan menuju ke Sungai Malaios, di tengah malam. Sesampai di sana, armada Portugis memasuki sungai tanpa terdeteksi oleh kru Jawa, dan menggunakan bom api yang dilemparkan dengan tangan membakar sekitar 30 jung dan perahu lainnya, menyerang armada Jawa secara mengejutkan, dan menangkap banyak persediaan ditengah-tengah orang Jawa yang sedang panik. Setelah pengepungan 3 bulan, pasukan Jawa mundur.
François Pyrard dari Raval (hidup sekitar tahun 1578-1623 M) menyebutkan tentang sebuah bangkai kapal jung Sunda di Guradu, atoll Malé selatan, Maladewa. Kapal itu membawa semua jenis rempah-rempah dan barang dagangan lainnya dari Cina dan Sunda. Di kapal ada sekitar 500 pria, wanita, dan anak-anak, dan hanya 100 yang selamat saat ia tenggelam. 
Raja Maladewa menegaskan bahwa itu adalah kapal terkaya yang dapat dibayangkan. Pyrard berpikir bahwa itu adalah kapal terbesar yang pernah dilihatnya, dengan tiang yang lebih tinggi dan lebih tebal daripada kerakah Portugis, dan dek paling atas yang jauh lebih besar daripada dek kerakah Portugis. 
Orang tua dari ratu Sunda adalah pemilik jung itu, keduanya meninggal saat kapal itu tenggelam. Sang ratu, yang waktu itu masih seorang anak kecil, selamat dari kejadian itu.
Orang Belanda pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 mendapati bahwa jong-jong Jawa yang berlayar di Asia tenggara berukuran lebih kecil dari abad-abad sebelumnya.
Willem Lodewycksz mencatat bahwa jung Banten berkapasitas tidak lebih dari 20 last (40 ton).
Laporan Willem Lodewycksz atas salah satu perahu jong yang ia lihat di Banten tahun 1596 berbunyi:
".. (Di buritan duduk) dua orang yang mengemudi: Karena (perahu itu) ada dua kemudi, satu buah pada setiap sisi, yang diikat kepada bagian buritannya dengan tali (…). (Jong-jong ini) ialah kendaraan laut mereka (orang setempat) yang digunakan untuk mengarungi lautan lepas ke Maluku, Banda, Borneo, Sumatra dan Malaka. 
Pada haluannya terdapat sebatang cucur, dan berdekatan (dengan cucur itu) pada beberapa (dari perahu-perahu itu) terdapat tiang depan, (dan ada pula) tiang utama dan tiang buritan, dan dari haluan sampai buritan sebuah bangunan atas serupa rumah, di mana mereka duduk terlindung dari panasnya matahari, hujan dan embun. Di buritan terdapat sebuah bilik yang hanya untuk nakhoda perahu itu (… lambung) di dalamnya dibagi-bagi dalam ruang-ruang kecil di mana mereka menyimpan muatan..."
Hilangnya Jung Jawa
Anthony Reid berpendapat bahwa kegagalan jong dalam pertempuran melawan kapal Barat yang lebih kecil dan lincah kemungkinan meyakinkan pembuat kapal Jawa bahwa jong yang besar tetapi kurang lincah menghadapi risiko terlalu besar sesudah orang Portugis memperkenalkan pertempuran laut cara Eropa, sehingga kapal-kapal yang mereka bangun setelahnya lebih kecil dan laju.
Sejak pertengahan abad ke-16 kekuatan-kekuatan maritim di Nusantara mulai menggunakan tipe-tipe kapal tempur gesit baru yang dapat dilengkapi dengan meriam berukuran lebih besar: Dalam berbagai serangan atas Malaka yang dilancarkan pada Melaka Portugis setelah kekalahan Pati Unus, mereka tidak lagi menggunakan jong, tetapi menggunakan lancaran, ghurab dan ghali. 
Jung-jung yang berlayar di Nusantara setelah tahun 1600-an daya muat rata-ratanya hanya sebesar 20-300 ton, dengan kemungkinan rata-rata sebesar 100 ton, tetapi masih ada beberapa dari mereka yang dapat membawa 200 hingga 300 last muatan (sekitar 360-400 sampai 540-600 ton metrik) pada awal tahun 1700-an.
Hilangnya tradisi maritim Jawa adalah akibat kebijakan kerajaan Jawa sendiri setelah kekalahan mereka terhadap Portugis dalam penyerbuan Malaka, yang kemudian lebih memusatkan pada kekuatan angkatan darat. 
Selain itu, sikap represif Amangkurat I (1646-1677M) dari Mataram terhadap kota-kota pesisir utara Jawa. 
Amangkurat I pada 1655 Masehi memerintahkan agar pelabuhan ditutup dan kapal-kapal dihancurkan agar mencegah kota-kota pesisir menjadi kuat dan memberontak. 
Hal inilah yang menyebabkan kehancuran ekonomi Jawa dan kekuatan maritimnya yang dibangun sejak zaman Singhasari dan Majapahit, dan Mataram berubah menjadi negara agraris.
Hilangnya selat Muria juga menjadi faktor hilangnya Jung Jawa. Galangan kapal besar sepanjang Rembang-Demak menjadi "terdampar" di tengah daratan tanpa akses ke laut. Pada tahun 1657 Masehi, Tumenggung Pati mengusulkan penggalian jalur air baru dari Demak ke Juwana, tetapi sepertinya tidak dilakukan.
Hal Ini membuktikan bahwa pada saat itu selat Muria sudah hilang atau sudah mengecil. Kantor Maskapai Perdagangan Hindia Belanda (VOC) yaitu Batavia Daghregister melaporkan pada 1677 Masehi, bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah dan Jawa Timur kekurangan kapal sendiri bahkan untuk penggunaan yang diperlukan, dan bersikap sangat tidak peduli tentang laut.
Ketika VOC mendapatkan pijakan di Jawa, mereka melarang penduduk setempat untuk membangun kapal dengan tonase lebih dari 50 ton, dan menugaskan pengawas Eropa ke setiap galangan kapal.
Setelah tahun 1700-an, peran jung telah digantikan oleh jenis kapal dari Eropa, yaitu bark dan brigantine, yang dibuat di galangan kapal lokal di Rembang dan Juwana (yang merupakan tempat pembuatan jung), kapal-kapal jenis ini bisa mencapai 400-600 ton muatannya, dengan rata-rata sebesar 92 last (165.6-184 ton metrik).


-------------------------------------
Oleh: Bhre Polo
Sumber:

Komentar