Peran Rembang sebagai kota pelabuhan dengan sejarah industri galangan kapal telah termasyhur sejak era Kerajaan Majapahit.
Pada masa Majapahit, menurut Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Rembang Edi Winarno, banyak jalan setapak menyusuri pantai utara yang dibuat untuk masuk ke pelabuhan-pelabuhan tersebut. “Jalan itu dibuat untuk menopang pelabuhan,” ujar Edi. Jalan itu, sekitar 1810 M, ketika Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811 M) memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, kemudian bernama Pantura.
Sekitar 11 kilometer ke arah timur Tasikagung, Jalur Pantura, menelusuri Sungai Kiringan, misalnya, pernah berdiri pelabuhan utama Kerajaan Majapahit. Babad Lasem menceritakan, Rajasawardhana atau Bhre Matahun (sekitar 1351-1389 M), suami Bhre Lasem (sekitar 1351...? M), yang juga seorang dhang puhawang Wilwatikta atau laksamana, membangun dan mengatur kapal-kapal perang Majapahit.
Di sebelah utara Kiringan, masih di pinggir Jalur Pantura kini, pernah pula tercatat keberadaan Pelabuhan Teluk Regol atau Teluk Bonang, yang juga menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal Rajasawardhana. Di situlah suatu ketika saudagar asal Campa yang juga awak rombongan Laksamana Cheng Ho merapat. Namanya digunakan menjadi nama desa: Binangun.
Di Rembang dulu terdapat pula Pelabuhan Dasun. Pelabuhan yang dekat dengan Sungai Babagan itu juga dibelah Jalur Pantura. Pertengahan abad ke-17, warga Tiongkok, yang membangun pecinan di sisi timur sungai, melebarkan kali itu untuk memudahkan arus perdagangan dan pengembangan galangan kapal. Pelabuhan Dasun sempat menarik perusahaan dagang Hindia Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada pertengahan abad itu untuk memonopoli perniagaan kayu jati. Sejak 1515 Masehi, wilayah ini digambarkan sebagai daerah yang kaya pohon jati oleh pelaut Portugis, Tome Pires, ketika singgah di Jepara dan Rembang.
-----------------------------
Oleh: Bhre Polo
Sumber:
Komentar
Posting Komentar