Prasasti Dinoyo(682 Syaka/760 M); Kerajaan Kanuruhan(sekitar abad ke-8)

Prasasti Dinoyo adalah prasasti yang berupa lempengan batu berukir yang berisi beberapa baris tulisan.Prasasti ini adalah salah satu prasasti yang ditemukan di desa Dinoyo, kecamatan Lowokwaru, sekitar 5 kilometer sebelah barat dari pusat kota Malang, Jawa Timur. 
Prasasti ini unik karena selain sebagai prasasti pertama yang berhuruf Jawa Kuno, juga dipadu dengan bahasa Sanskerta. Prasasti ini merupakan bukti adanya pemerintahan Kerajaan Kanjuruhan.
Ciri kental lain yang menunjukkan bahwa Prasasti Dinoyo ini menceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan adalah cara penulisan tahun berbentuk condro sangkala berbunyi Nayana Vasurasa (tahun 682 Syaka) atau tahun 760 Masehi.
Isi prasasti Dinoyo tersebut memberikan ketertangan bahwa pada pertengahan abad ke 8, telah ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruan yang diperintah oleh raja Dewa Simha.
Pada masa pemerintahanya, Dewa Simha pernah mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk penghormatan terhadap Dewa Siwa, berupa arca Maharsi Agastya yang terdapat di Candi Badut dekat kota Malang. 
Di dalam candi tersebut berisikan sebuah lingga dan arca Putikeswara yang merupakan lambang agastya yang selalu digambarkan seperti Siwa dalam wujudnya seperti Mahaguru.
Wilayah Dinoyo diketahui merupakan kawasan pemukiman prasejarah. 
Berbagai prasasti (misalnya Prasasti Dinoyo), bangunan percandian dan arca-arca, bekas-bekas pondasi batu bata, bekas saluran drainase, serta berbagai gerabah ditemukan dari periode akhir Kerajaan Kanjuruhan (abad ke-8 dan ke-9) juga ditemukan di tempat yang berdekatan. Di desa Dinoyo (barat laut Malang) diketemukan sebuah prasasti berangka tahun 760M, berhuruf Kawi dan berbahasa Sanskerta, yang menceritakan bahwa dalam abad VIII ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan (sekarang desa Kejuron) dengan raja bernama Dewasimha dan berputra Limwa (saat menjadi pengganti ayahnya bernama Gajayana), yang mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk dewa Agastya dan diresmikan tahun 760M. Upacara peresmian dilakukan oleh para pendeta ahli Weda (agama Siwa). Bangunan kuno yang saat ini masih ada di desa Kejuron adalah Candi Badut, berlanggam Jawa Tengah, sebagian masih tegak dan terdapat lingga (mungkin lambang Agastya).
Isi dari prasasti inilah yang menguak sejarah masa lalu Malang. Isinya dapat kita tafsirkan sebagai berikut: Malang pernah berdiri sebuah kekuasaan / kerajaan yang disebut dengan Kanjuruhan. Kanuruhan dipimpin oleh raja yang bijaksana yang bernama Deva Singha, dia memiliki putra bernama sang Liswa sebagai penerusnya. Setelah menjadi raja Liswa bergelar Gajayana. Gajayana sangat memuliakan sang Resi Agastya. Gajayana memiliki seorang putri bernama Uttejana, yang kelak kawin dengan klan dari kerajaan di kawasan Barat.
Salah satu isi piagam Dinoyo adalah sederet kalimat yang tiada lain dari simbol penanggalan Kuno yang berbunyi NAYANA VASU RASA, yang bila diterjemahkan berdasarkan 'rumus' Candra Sengkala maka deretan kata-kata itu bernilai angka 286. Untuk membacanya harus dibalik menjadi 682, sehinggga prasasti Dinoyo berangka tahun 682 Syaka. 
Berikut adalah alih aksara lengkap Prasasti Dinoyo:
(svasti śaka varṣātīta 682)
|| āsīt (nārāpatiḥ dhīman devasiṁhaḥ)
tāpavān yena gupta (parībhāti pūtikeśvā)
rapāvitā || limvaḥ api tana(-yaḥ tasyagajayānaḥ)
iti smṛtaḥ rarakṣa svarggage tate (sutañ puruṣan maha)
|| limvasya duhitā jajñe prada(patrasya bhupateḥ utteja)
nā iti mahiṣī jananī yasya dhīmataḥ || a(nanaḥ (?) kalaśa)
je bhagavati agastyebhaktaḥ dvijātihitakṛdgaja(-yānanā[mā])
maulaiḥ saṇayakagaṇaiḥ samakārbaittad taramyan maha
rṣibhavanam valahājiyamyaḥ || pūrvvaiḥ kṛtam tu suradā rumayī[ṁ] [ || ]
samīkṣya kīrttipriyaḥ tala galapratimāṁ manasvī ājñā
pya śilpinam aram saḥ ca dīrghadarśśī kṛṣṇādbhutopalama
yīm nṛpatiḥ cakāra || rājñāgastaḥ śakabde nayana vasu
rase mārggaśirṣe ca māse addrartthe śukra vāre pratipa
da divase pakṣasandhau dhruve {cha} ṛtvigbhiḥ vedavidbhiḥ yativara
sahitaiḥ sthāpakadyaiḥ samaumaiḥ karmajñaiḥ kumbhayagne sudda ḍha
matimata sthāpitaḥ kumbhayoniḥ || kṣetram gāvaḥ supuṣpāḥ mahiṣa
gaṇayutāḥ dāsadāsī purogāḥ dattā rājñā maharṣi pravaracaruha
vissanānasambardhanādi [ | ] vyāpārātham bhuvanamapi gṛhamu
ttaram ca adbhutam ca viśram bhāya atithīnām yavayavi
kaśayyācchā danai suprayuktam || ye bāndhavāḥ nṛpasutāḥ ca
samantrimukhyāḥ dattau nṛpasya yadi te pradikulācittāḥ [|] nāsti
kyadoṣa kuṭilāḥ narake pateyuḥ na amūtra ca neha ca gatim
(…)āṁ labhante || vaniśyāḥ nṛpasya rucitaḥ yadi dati vṛddhau āstikya
(śuddhamatayaḥ…)pūjāḥ | dānādyapuṇya yasanādhyāyanā
(diśilāḥ rakṣantu rajyam [akhilaṁ]) nṛpatiḥ yathā evam ||

Keterangan:
a. (alih-aksara) = alih aksara yang ada di potongan yang lain.
b. (…) = aksara yang hilang.
c. [ ] = bagian yang seharusnya ada di prasasti.
d. { } = aksara yang belum pasti.
Berikut alih bahasa menurut Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, dengan mengganti kata Liswa menjadi Limwa, dan dibagi sesuai bait:
Kemuliaan pada tahun Syaka 682 yang telah berlalu.
Ada seorang raja bijaksana dan berkuasa, (namanya) Dewasimha, di bawah lindungannya api Putikeswara yang menyebarkan sinar di sekelilingnya.
Juga Limwa, putranya, yang bernama Gajayana, melindungi manusia bagaikan anaknya, ketika ayahnya marak ke langit.
Limwa melahirkan anak perempuan, namanya Uttejana dan dia adalah permaisuri raja Pradaputra.
Dia juga ibu A-nana yang bijaksana, cucu Gajayana, orang yang selalu berbuat baik terhadap kaum brahma, dan pemuja Agastya, tuan yang dilahirkan dari tempayan.
(A-nanah) (yah) yang menyuruh penduduk dan banyak orang penting untuk membangun kediaman yang indah untuk Agastya yang agung dan suci, untuk menghancurkan kekuatan musuh (atau: wabah penyakit disentri).
Sesudah dia melihat patung Kalasaja dari kayu cendana yang dibuat oleh nenek moyangnya, dan tak boleh dipandangnya lebih lama, diapun dengan segera memerintahkan kepada seorang seniman untuk membuat arca resi yang sama dari batu hitam yang keindahannya sangat menakjubkan.
Pada tahun syaka 682, di bulan Margasira, pada hari Jum’at, hari pertama dari pertengahan bulan baru, pada kumpulan bagian-bagian bulan yang gelap dan yang terang, di Ardranaksatra, sementara horoskop menunjukkan Aquarius, maka raja yang bersemangat memerintahkan para pendeta, para ahli Weda, para pertapa, pedanda yang menyiramkan air, pertapa dan ahli-ahli, untuk mendirikan patung Kumbhayoni.
Pada kesempatan itu raja menghadiahkan kepada Ksrtra sapi dan sekumpulan kerbau gemuk, budak-budak lelaki dan perempuan, yang diperuntukkan bagi pemandian suci, upacara pembakaran dan persembahan kurban padi, untuk menghormati tokoh resi yang hebat dan agung. Didirikan juga tempat tinggal kaum Brahmana, serta rumah tinggi dan indah, lengkap dengan pakaian, tempat tidur, gandum, dan padi, untuk peristirahatan bagi para tamu.
Apabila sanak keluarga, para putra raja dan para perdana menteri bermaksud merintangi gagasan raja ini, maka mereka akan cacat karena berada di jalan yang sesat dan penuh dosa, mereka akan terjerumus ke dalam neraka dan baik di sini maupun di akhirat mereka tidak akan menginjakkan kaki di jalan pembebasan.
Jika keturunan raja dalam hal meningkatkan gagasan itu dihalang-halangi, semogalah pikiran-pikiran suci bersih, pernyataan-pernyataan hormat, hadiah-hadiah dan perbuatan baik, kurban-kurban, pelajaran Weda dan perbuatan-perbuatan baik lainnya melindungi kerajaan.
Demikian bunyi perintah raja.


----------------------------------
Oleh: Bhre Polo
Sumber:

Komentar