Tentunya setiap kerajaan atau negara, pasti memiliki sistem pemerintahan guna mengatur keberlangsungan negara nya. Seperti halnya Kedatuan Medang (732–1016 M) atau kita lebih mengenal nya sebagai kerajaan Mataram Kuno.
Di dalam pemerintahannya, ada sistem yang mengatur hak dan kewajiban setiap bagian tersebut. Berikut adalah sistem pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno:
Struktur pemerintahan dalam kerajaan kuno yang menjadi penguasa tertinggi adalah Raja (Sri Maharaja). Hal ini sesuai dengan landasan kosmogonis bahwa seorang raja adalah penjelmaan dari dewa di dunia.
Gelar ini diperoleh dari gelar abhiseka dan puji-pujian untuk raja pada pelbagai prasasti dan kitab-kitab susastra jawa kuno sejak raja Airlangga. Dalam naskah Kakawin Ramayana, terdapat uraian tentang Rajadharmma (tugas seorang raja). Uraian tersebut adalah dalam diri seorang raja terdapat 8 dewa-dewa , yaitu Indra, Suryya, Yama, Soma, Wayu, Kuwera, Agni dan Waruna. Semua nama dewa itu harus tertanam menjadi sifat yang dimiliki seorang raja, misalkan Indra (dewa hujan), Seorang Raja harus 'menghujankan' anugrah kepada rakyatnya (dalam pemaknaan filsafat) dan lain sebagainya.
Dalam tatanan pemerintahan, sebenarnya kedudukan seorang raja tidak dapat diganggu gugat, karena Raja adalah penjelmaan dari dewa.
Namun, apabila terjadi penggulingan seorang Raja oleh bawahannya atau Raja dari Mandala lain, kejadian tersebut disebut sebagai Pralaya, yaitu kehancuran jaman pada akhir Kaliyuga, atau sebagai sesuatu yang tak bisa terelakkan.
Dalam masalah tahta waris kerajaan yang berhak untuk pertama kali adalah anak-anak yang lahir dari prameswari.
Pada jaman Rajakula Rajasa, putra mahkota bergelar Rakai Hino atau Rakarayan Mapatih i Hino.
Putra raja yang selanjutnya juga berhak mendapat tahta kerajaan adalah Rakarayan i Halu, Rakarayan i Sirikan dan Rakarayan Wka.
Dalam hal ini ia tidak harus sebagai putra raja yang memerintah atau memeperoleh kedudukan tahta kerajaan. Semua bisa asalkan masih seketurunan secara langsung. Ada seorang pejabat yang kedudukannya setingkat dengan para putra raja, yaitu 'Pamgat Tiruan'. Gelar Pamgat adalah gelar seorang pejabat keagamaan.
Tetapi pada prasasti-prasasti rajakula Rajasa pamgat tiruan adalah seorang upapatti atau pejabat kehakiman.
Dari kelima orang tersebut ada sejumlah pejabat yang berkedudukan dibawahnya yang berada di tingkat pusat.
Jumlahnya dalam setiap prasasti tidak sama, namun selama ini yang terlengkap ada 12 orang pejabat. Mereka itu diantaranya adalah Rake Halaran, Rake Panggilhyang, Rake Wlahan, Pamgat Manghuri, Rake Langka, Rake Tanjung, Pangkur, Tawan atau Hanangan, Tirip, Pamgat Wadihati dan Pamgat Makudur. Mereka semua itu berkedudukan sama dalam hierarki pemerintahan. Hal itu diketahui karena dalam upacara penetapan sima, mereka mendapat pasak-pasak yang sama jumlahnya untuk setiap orang.
Dari semua itu sampai saat ini belum semua diketahui tugas-tugasnya. Hanya beberapa saja yang diketahui, misalnya Pamgat Maghuri, dalam prasasti-prasasti periode Rajasa ia menduduki jabatan Upapatti, seperti Pamgat Tiruan. Dalam urusan perpajakan, terdapat Pangkur, Tawan dan Tirip. Namun ketiga pejabat ini tidak mempunyai gelar Pakai atau Pamgat.
Di desa-desa juga tidak terdapat watak pangkur, watak tawan atau watak tirip. Hal ini membuktikan bahwa mereka tidak mempunyai daerah lungguh(wilayah kekuasaan). Tidak ada salahnya jika mereka dimasukan dalam 'Mangilala drwya haji', yaitu mereka yang menikmati kekayaan raja, dalam arti mendapat gaji tetap dari perbendaharaan kerajaan.
-----------------------------
Ditulis ulang dan disadur
Oleh: Bhre Polo
Sumber:
Komentar
Posting Komentar