Peradaban Islam-Jawa yang dikembangkan oleh para ‘wali’, dalam banyak hal merupakan kelanjutan dan pembaruan Hindu-Jawa kuno.
Hal tersebut terbukti dari kisah kehidupan dan perekonomian rakyat Jawa di daerah pedesaan pada awal jaman Islam, sekitar abad ke-16, yang ditemukan di dalam kisah orang-orang saleh (Graaf, 1989).
Dalam keterangan kisah-kisah tersebut, berkaitan pula dengan keberadaan para pedagang Cina, yang pada umumnya mempunyai hubungan akrab dengan keraton-keraton pribumi. Dalam perekonomian rakyat dan pergaulan masyarakat desa, para Cina-Indo waktu itu, seperti juga kemudian hari, mempunyai kedudukan tersendiri.
Golongan masyarakat menengah yang beragam, Islam menempati kedudukan penting dalam struktur masyarakat pada masa kerajaan. Mereka berbeda dari golongan Keraton disatu pihak, dan berbeda dari golongan tani di pihak lain (Soeratman, 1989).
Golongan menengah Islam, cukup beralasan untuk dianggap banyak berperan dalam pembaruan peradaban Jawa, di wilayah perdagangan dan di lingkungan spiritual luar Keraton.
Pada masa itu, sekitar abad ke-16, perekonomian dan pergaulan rakyat di luar Keraton terpengaruh oleh agama Islam yang cenderung egaliter. Hal demikian berbeda dengan masyarakat pra-Islam di Jawa yang berkasta sakral dan berjiwa ningrat.
Pada awal abad ke-16, ibukota keraton Majapahit yang menganut Hindu-Jawa, direbut oleh pasukan Islam fanatik dari Jawa Tengah.
Beberapa waktu kemudian, penguasa Islam dari Demak, seorang keturunan Cina, diakui sebagai Sultan.
Setelah kekuasaan Sultan Demak diambil alih oleh raja Pajang, titik berat ketatanegaraan bergeser di Jawa Pedalaman.
Sejak abad ke-17, pedalaman Jawa Tengah menjadi pusat politik dan kebudayaan Keraton Jawa.
Kaitan sejarah yang cukup berarti terhadap pembentukan kerajaan Mataram Islam, dimulai saat berdirinya keraton Pajang, di sebelah barat kota Surakarta.
Pada masa pemerintahan kerajaan Pajang, sekitar tahun 1550 Masehi, daerah Surakarta masih dikenal sebagai desa Sala, berperan sebagai penghasil beras yang cukup besar, untuk konsumsi masyarakat dan Keraton.
Setelah pemerintahan keraton Pajang berakhir, kemudian berpindah ke Kota gede.
Setelah keraton Mataram di Kota gede berakhir, untuk sementara pindah di Kerta, dan selanjutnya berpindah di Plered pada tahun 1613 Masehi.
Pada tahun 1679 Masehi, keraton Mataram di plered pindah ke Kartasura. Kegiatan ekonomi semakin ramai, karena beberapa unsur asing terlibat dengan berbagai kepentingan. Unsur asing tersebut adalah bangsa Belanda (VOC) dan Cina.
Setelah kerajaan di Kartasura mengalami beberapa pemberontakan, dan terakhir pemberontakan Cina (geger Pecinan), akhirnya berpindah di Sala (1744 Masehi). Pembangunan kraton di Sala yang selesai pada tahun 1746 Masehi, merubah sistem kehidupan masyarakat Sala.
Semula, berupa sebuah desa Sala, dengan pimpinan masyarakatnya Kiai Sala, berubah menjadi kerajaan dengan masyarakat tersusun secara hirarkis. Raja sebagai puncaknya, diikuti lapisan bangsawan, kemudian para abdi dalem, para pengiring dan para abdi (Soeratman,1989).
Struktur birokrasi Mataram didasarkan atas konsep perwilayahan negara dengan pusat kraton dan berkembang meluas ke luar, yang dapat digambarkan berupa lingkaran konsentris.
Wilayah Mataram secara berurutan adalah
Kutagara atau Kutanegara, Negara atau Siti Narawita dengan kraton raja sebagai titik pusat (boleh disebut kraton) merupakan pusat, sedangkan Kutagara atau Negara adalah lingkaran wilayah yang pertama.
Negara Agung merupakan daerah disekitar Kutagara, yang masih termasuk inti kerajaan, karena di daerah inilah terdapat daerah tanah lungguh (jabatan) dan para bangsawan yang bertempat tinggal di Kutanegara.
Mancanagara, merupakan daerah di Luar Negara Agung, diantaranya adalah:
1. Mancanagara Wetan : Mulai Panaraga ke Timur.
2. Mancanagara Kulon : Mulai Purwareja ke Barat.
3. Daerah Pasisiran:
a. Pasisiran Kulon(Demak ke Barat),
b. Pasisiran Wetan(Demak ke Timur).
Untuk mengurusi pemerintahan di wilayah-wilayah tersebut, disusunlah berbagai jabatan dengan berbagai tingkatannya, dan yang tertinggi di pusat sampai yang terendah di daerah, jabatan itu secara berturut-turut adalah :
1. Pejabat-pejabat tinggi dalam Kraton dan daerah Kutagara; Di dalam kraton terdapat Raja, Ratu-Eyang (nenek raja), Ratu-Ibu (ibu raja), Ratu-Kencana (permaisuri), P. Adipati Anom (putra mahkota). Pemerintahannya diurus oleh 4 orang wedana lebet. Di atas keempat wedana ini dahulu ada jabatan Patih Lebet. Pada masa Kerta yang menjadi Patih Lebet adalah Adipati Mandaraka.
Pada masa Amangkurat I, Tumenggung Singaranu menjadi Patih Lebet. Tetapi sejak tahun 1775 Masehi, jabatan Patih Lebet dihapuskan. Keempat wedana lebet itu terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Wedana Gedong, yang terbagi menjadi 'Kiwa' dan 'Tengen'. Wedana-wedana Gedong mengurusi keuangan dan perbendaharaan kraton.
2. Sedangkan Wedana Gedong terbagi menjadi 'Kiwa' dan 'Tengen'. Wedana-wedana Keparak mengurusi keprajuritan dan pengadilan.
Para wedana lebet biasanya bergelar Tumenggung atau Pangeran (kalau masih berkeluarga raja).
Sebelum tahun 1628 Masehi, wedana-wedana lebet Mataram adalah: Pangeran Mandurareja, Pangeran Upasanta (keduanya Wedana Keparak), Pangeran Manungoneng, Pangeran Sujanapura (keduanya Wedana Gedong).
Tiap-tiap wedana lebet ini dibantu oleh seorang kliwon (pepatih atau lurah carik) yang biasanya bergelar Ngabehi, seorang kebayan (juga bergelar Ngabehi, Rangga atau Raden) dan 40 orang mantri-mantri jajar.
Untuk mengurusi daerah kota(Kutanegara) , Raja menunjuk 2 orang Wedana Miji (miji = memilih, jadi wedana yang dipilih untuk tugas-tugas tertentu).
Wedana-wedana Miji ini langsung dibawah perintah Raja. Kedudukan nya di periode modern hampir sama dengan wali kota (sebagai stadholder in the city).
Dalam masa akhir pemerintahan Sultan Agung salah seorang dari Wedana Miji adalah Tumenggung Danupaya.
Dalam tahun 1661 Masehi (periode Mangkurat I) Danupaya diganti oleh Wirajaya dalam jabatannya sebagai “stadholder in Mataram”. Sebagai orang kedua adalah Nitinegara.
Sebelum itu terkenal pula 2 orang Tumenggung Mataram (Tumenggung-tumenggung dari wilayah Kutagara = Wedana-wedana miji) yaitu Tumenggung Endranata dan Kyai Demang Yudaprana.
Kedudukan kedua wedana miji ini sangat penting, sehingga bersama-sama dengan keempat wedana lebet, mereka merupakan anggota Dewan Tertinggi Kerajaan.
Tetapi pada periode Kartasura (1774 Masehi) pengurusan daerah Narawita diserahkan kepada 4 orang pejabat, seorang di antara mereka diangkat sebagai kepalanya (wedananya).
2. Pejabat-pejabat di Wilayah Negara Agung; Wilayah Negara Agung yang masih termasuk daerah pusat dari wilayah kerajaan ini administrasi pemerintahnya dikepalai oleh para wedana jawi. Sebagai pimpinan dan koordinator dan para wedana jawi adalah patih–jawi.
Patih jawi-lah yang bertanggung jawab atas keberesan jalannya pemerintahan di daerah luar Kutagara, termasuk pengurusan masuknya pajak-pajak, selain itu daerah wewenangnya juga mengumpulkan tenaga-tenaga laskar orang desa bila diperlukan.
Para wedana jawi jumlahnya sesuai dengan bagian-bagian dari Negara Agung dan bernama menurut daerah yang menjadi wewenangnya.
Dengan demikian maka ada 8 wedana jawi, yaitu Wedana Bumi (yang menguasai daerah Bumi), Wedana Bumija, Wedana Siti Ageng Kiwa, Wedana Siti Ageng Tengen, Wedana Sewu, Wedana Numbak Anyar, Wedana Penumping, Wedana Penekar.
Wedana-wedana ini bertempat tinggal di daerah Kutagara, dan masing-masing dibantu oleh seorang kliwon, seorang kebayan, dan 40 orang mantri jajar.
Untuk mengurusi secara langsung daerah-daerah di Negara Agung diangkat bupati-bupati dengan pejabat-pejabat bawahannya.
Untuk tanah-tanah lungguh dan bangsawan-bangawan kraton yang juga terdapat di lingkungan Negara Agung, biasanya oleh bangsawan yang bersangkutan diwakilkan seorang Demang atau Kyai Lurah untuk mengurusinya.
3. Pejabat-pejabat di wilayah Mancanagara ; Daerah-daerah di mancanegara baik kulon maupun wetan, masing-masing dikepalai oleh seorang bupati atau lebih (dalam Surat Pustaka Radja Puwara istilahnya juga wedana), yang biasanya berpangkat Tumenggung atau Raden Arya.
Jumlah bupati yang mengepalai tiap-tiap daerah tidak sama, tergantung pada luas dan tidaknya daerah itu. Sebagai contoh misalnya pada periode Paku Buwana II (Kartasura), Daerah Kediri (dengan tanah cacah 4.000 karya) hanya dikepalai oleh seorang bupati yaitu Tumenggung Katawengan.
Sedang daerah Madiun (dengan tanah cacah 16.000 karya) dikepalai oleh 2 orang bupati, yaitu Raden Tumenggung Martalaya dan Raden Arya Suputra (24).
Daerah yang tidak luas cukup dikepalai oleh seorang mantri atau seorang kliwon. Para bupati mancanagara tersebut di bawah pengawasan seorang wedana bupati mancanagara.
Pada tahun 1677 Masehi, Mas Tumapel (saudara sepupu Panembahan Mas Giri) yang semula menjabat sebagai bupati Gresik, kemudian diangkat menjadi wedana bupati mancanagara berkedudukan di Jipang (terkenal dengan nama Adipati di Jipang) yang ditugaskan mengepalai dan mengkoordinasikan bupati-bupati mancanagara. Juga di dalam tahun 1709 Masehi, Tumenggung Surawijaya diangkat menjadi wedana bupati mancanagara wetan.
4. Pejabat-pejabat di daerah Pasisiran; Tiap-tiap daerah di pasisiran juga dikepalai oleh seorang bupati atau syahbandar, berpangkat Tumenggung, Kyai Demang atau Kyai Ngabehi. Sebagai contoh misalnya Bupati Pasisiran Jepara ialah Ngabehi Martanata (1657), Bupati Semarang Kyai Ngabehi Wangsareja, Bupati Demak Tumenggung Suranata. Dalam tahun 1618 sebagai Bupati Pasisiran Jepara Ulubalang Kojah (keturunan India), dalam tahun 1631-1636 M dijabat oleh Kyai Demang Leksmana. Meskipun bupati-bupati atau syahbandar itu mempunyai kekuasaan memerintah dalam daerah wewenangnya, akan tetapi mereka tidak lepas dari pengawasan pejabat-pejabat tinggi yang ada di Kutagara. Sebagai contoh adalah Pemalang (1622-1623 M) di bawah yurisdiksi Pangeran Purbaya, yang diwakilkan oleh seorang Kyai Lurah, sebagai stadholder. Pekalongan (1622 Masehi) di bawah yurisdiksi Pangeran Upasanta. Tegal (1631-1638 M) tumenggungnya di bawah otoritas Tumenggung Mataram (Wedana Miji) Danupaya. Semarang (1631) di bawah Tumenggung Warganaya, yang tunduk kepada Pangeran Kraton Tumenggung Arya Wangsa.
Di samping jabatan-jabatan tinggi tersebut di atas, dalam tahun 1744 Masehi (periode Kartasura) masih ada jabatan-jabatan yang diberi tugas khusus untuk mengepalai golongan-golongan rakyat tertentu. Jabatan-jabatan itu dipegang oleh 4 orang Tumenggung, yaitu :
1. Tumenggung yang mengepalai 6.000 orang Kalang.
2. Tumenggung yang mengepalai 1.000 orang Gowong.
3. Tumenggung yang mengepalai 1.200 orang Tuwaburu.
4. Tumenggung yang mengepalai 1.400 orang Kadipaten.
Semua jabatan tersebut di bawah kekuasaan Patih Jero (lebet).
Di samping jabatan-jabatan tinggi pemerintahan tersebut, di muka masih terdapat jabatan-jabatan tengahan dan rendahan yang jumlahnya sangat besar.
Pejabat-pejabat tersebut tidak hanya terbatas pada bidang pemerintahan saja, tetapi juga pada bidang-bidang lain yang berhubungan dengan kebesaran kraton dan Raja.
Serat Wadu Adji maupun Serat Radja Kapa-kapa memberikan uraian tentang nama-nama pangkat Punggawa Raja (abdi dalem) tersebut dengan arti dan tugasnya. Diantaranya adalah:
1. Jabatan-jabatan yang berhubungan dengan pamong praja antara lain Panewu, Panatus, Paneket, Panalawe, (Penglawe), Panigangjung, Panakikil.
2. Jabatan yang berhubungan dengan Keagamaan diantaranya adalah Pengulu, Ketib, Modin, Marbot, Naib, Suranata dan sebagainya (mereka sering disebut abdi dalem Pamethakan / Mutihan).
3. Jabatan yang berhubungan dengan pengadilan diantaranya adalah, Jaksa, Mertalutut (tukang menghukum gantung), Singanegara (tukang menghukum dengan senjata tajam).
4. Jabatan yang berhubungan dengan keuangan terdapat Pemaosan (yang mengumpulkan pajak tanah), Melandang (yang memungut hasil bumi berupa padi, palawija dan sebagainya untuk disetorkan ke kraton, dan lain-lain).
5. Jabatan yang berhubungan dengan perlengkapan diantaranya adalah Pandhe (pekerja barang-barang dan besi), Kemas (pekerja barang-barang dan emas), Genjang (pekerja barang-barang selaka), Sarawedi (pekerja intan), Gemblak (pekerja kuningan), Sayang (pekerja tembaga), Gajahmati (pembuat cemeti, barang-barang anyaman, amben dan sebagainya), Gendhing (tukang membuat gamelan), Inggil (tukang merawat gamelan), Blandhong (pencari kayu), Kemit Bumi (tukang membersihkan dalam cepuri dan mengangkut barang-barang), Palingga (tukang membuat batu bata), Wegeg (tukang membuat batu nisan), Marakeh (pembuat gunting), Jlagra (pembuat barang-barang dan batu seperti umpak dan sebagainya), Undhagi (tukang ukir kayu), Gerji (tukang jahit) dan lain-lain.
Demikianlah macam ragam nama jabatan (abdi dalem) Raja, yang masing-masing mempunyai pegawai (orangnya) sendiri-sendiri.
Jabatan-jabatan tersebut se makin lama, semakin bertambah jumlahnya (macamnya), sehingga pada pertengahan abad ke-19 (menurut catatan Pangeran Juru, yaitu Patih Danuredja IV) jumlah tersebut tidak kurang dari 150 macam.
Dalam hubungan ini perlu dikemukakan, bahwa lingkungan kehidupan para pejabat pertengahan di rumah-rumah para bupati, demang dan sebagainya, merupakan bentuk miniatur kehidupan kraton.
Mereka mempunyai abdi-abdi pengiring, abdi-abdi kriya dan sebagainya dalam jumlah yang sesuai dengan kedudukannya.
--------------------------------
Ditulis ulang dan disadur
Oleh: Bhre Polo
Sumber:
1. Junianto,'KONSEP MANCAPAT-MANCALIMA DALAM STRUKTUR KOTA KERAJAAN MATARAM ISLAM'; ISBN. 978-602-73308-1-8; SEMINAR NASIONAL SPACE #3; Membingkai Multikultur dalam Kearifan Lokal Melalui Perencanaan Wilayah dan Kota; Program Studi Arsitektur, Universitas Merdeka Malang.
Komentar
Posting Komentar