Kerajaan Sriwijaya | 671-1025 Masehi

1. Gambaran Umum
Sriwijaya (tiongkok: San-fo-ts'i) adalah kedatuan yang berasal dari Pulau Sumatra sekitar abad ke-7 sampai abad ke-11 masehi. Kehadirannya banyak memberi pengaruh pada perkembangan sejarah Asia Tenggara (terutama dalam kawasan Nusantara barat).
Lokasi ibukota Sriwijaya dapat dengan akurat disimpulkan berada di Kota Palembang, tepatnya di muara Sungai Musi.

Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan vijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan", dengan demikian, nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang", Perlu dipahami bahwa Kerajaan Sriwijaya terdiri dari sejumlah pelabuhan yang saling berhubungan di sekitar Selat Malaka.
Meskipun sempat dianggap sebagai talasokrasi (kerajaan berbasis maritim), penelitian baru tentang catatan yang tersedia menunjukkan bahwa Sriwijaya merupakan negara berbasis darat daripada kekuatan maritim. Armada laut memang tersedia, tetapi bertindak sebagai dukungan logistik untuk memfasilitasi proyeksi kekuatan darat.
Menanggapi perubahan ekonomi maritim Asia, dan terancam oleh hilangnya negara bawahannya, kerajaan-kerajaan disekitar selat Malaka mengembangkan strategi angkatan laut untuk menunda kemerosotannya. Strategi angkatan laut kerajaan-kerajaan disekitar selat Malaka bersifat menghukum untuk memaksa kapal-kapal dagang datang ke pelabuhan mereka. Kemudian, strategi angkatan laut kerajaan-kerajaan tersebut merosot menjadi armada perompak.
Pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut akibat beberapa peperangan. Serangan besar pada tahun 1025 dilancarkan oleh pasukan Rajendra Chola I dari Koromandel. Setelah itu, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 oleh sejarawan Prancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.
2. Sumber Sejarah
a. Sumber Prasasti:
    1)   Prasasti Kedukan Bukit (682 Masehi)
    2)   Prasasti Kota Kapur (686 Masehi)
    3)   Prasasti Kedukan Bukit (683 Masehi)
    4)   Prasasti Nalanda (sekitar 860 Masehi)
    5)   Prasasti Telaga Batu (sekitar abad ke-7M)
    6)   Prasasti Tanjore (Sekitar abad ke-12 Masehi)
    7)   Prasasti Talang Tuo (684 Masehi)
    8)   Prasasti Karang Berahi (...?Syaka)
    9)   Prasasti Palas Pasemah (akhir abad ke-7 Masehi)
    10) Prasasti Bungkuk (sekitar abad ke-7 Masehi)
    11) Prasasti Pasir Panjang (sekitar abad ke-9-12 Masehi)
    12) Prasasti Lobu Tua (1088 Masehi)
b. Situs Peninggalan:
     1)  Candi Muara Takus
     2)  Candi Muaro Jambi
     3)  Situs Bukit Siguntang
     4)  Situs Bingin Jungut
c. Catatan Tiongkok
    1)  Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan Sriwijaya berasal dari abad ke-7; yang menjelaskan                 bahwa seorang pendeta Tiongkok dari Dinasti Tang, yang bernama I Tsing, menulis bahwa ia                  mengunjungi Sriwijaya tahun 671 Masehi dan tinggal selama 6 bulan.
3. Catatan Sejarah
Kerajaan Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-  shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Bangsa Arab menyebutnya Sribuza dan bangsa Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.
Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Prancis, bernama George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kerajaan yang sama.
Kedatuan Sriwijaya telah ada sejak sekitar 671 Masehi sesuai dengan catatan I Tsing yang tinggal di sana selama 6 bulan saat belajar tata bahasa Sansekerta atau Sabdavidya.
Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu Kuno. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mendapatkan pengaruh dari Budaya Hindu Buddha dan kata serapan dari bahasa Sansekerta. Dari prasasti Kedukan Bukit pada tanggal 23 April 682 Masehi, diketahui bahwa imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Dia berangkat melakukan manalap siddhayatra menggunakan perahu. Dia memimpin 20.000 tentara dan 312 orang di kapal dengan 1.312 prajurit berjalan kaki dari Minanga menuju tempat yang diawali dengan kata "Ma..".
Di samping itu, kabar-kabar regional yang beberapa mungkin mendekati kisah legenda, seperti Kisah mengenai Maharaja Zabag dan Raja Khmer juga memberikan sekilas keterangan. Selain itu, beberapa catatan musafir India dan Arab juga menjelaskan secara samar-samar mengenai kekayaan raja Zabag yang menakjubkan. Sepertinya kisah Zabag-Khmer didasarkan pada kekuasaan Jawa atas Kamboja, bukan kekuasaan Sriwijaya atas Kamboja.
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatra awal, dan salah satu kerajaan terbesar Nusantara. Pada abad ke-20, Sriwijaya dan Majapahit menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.
4. Struktur Pemerintahan
Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial. Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.
Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri.
Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada pada zaman Sriwijaya. Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja), Addhyākṣī nījavarṇa (pengawas kaum berkasta rendah), vāṣīkaraṇa (pandai besi/pembuat senjata pisau), kāyastha (juru tulis), sthāpaka (pemahat), puhāvaṁ (nakhoda kapal), vaṇiyāga (peniaga), pratisāra (pemimpin kelompok kerja), marsī hāji (tukang cuci), dan hulun hāji (budak raja).
Menurut kronik Tiongkok Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua). Ahmad Jelani Halimi (profesor di University Sains Malaysia) mengatakan bahwa pembagian ini dilakukan untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya.
5. Letak dan Luas Kerajaan Sriwijaya
a. Pendapat tentang Letak Kerajaan Sriwijaya
Menurut Prasasti Kedukan Bukit, yang bertarikh 605 Saka (683 M), Kadatuan Sriwijaya pertama kali didirikan di sekitar Palembang, di tepian Sungai Musi. Prasasti ini menyebutkan bahwa Dapunta Hyang berasal dari Minanga Tamwan. Lokasi yang tepat dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan. Teori Palembang sebagai tempat di mana Sriwijaya pertama kali bermula diajukan oleh Coedes dan didukung oleh Pierre-Yves Manguin. Selain Palembang, tempat lain seperti Muaro Jambi (Sungai Batanghari, Jambi) dan Muara Takus (pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kiri, Riau) juga diduga sebagai ibu kota Sriwijaya.
Berdasarkan observasi sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin menyimpulkan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektare. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktivitas manusia.
Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak berada di kawasan tersebut. Jika Malayu berada pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat Kedatuan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Tiongkok yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Poerbatjaraka mendukung pendapat Moens. Ia berpendapat bahwa Minanga Tamwan disamakan dengan daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, Riau, tempat di mana Candi Muara Takus kini berdiri. Menurutnya, kata tamwan berasal dari kata "temu", lalu ditafsirkannya "daerah tempat sungai bertemu". Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribu kota di Kadaram (Kedah sekarang). Akan tetapi, pada tahun 2013, penelitian arkeologi yang digelar oleh Universitas Indonesia menemukan beberapa situs keagamaan dan tempat tinggal di Muaro Jambi. Hal ini menunjukkan bahwa pusat awal Sriwijaya mungkin terletak di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi pada tepian sungai Batang Hari, dan bukanlah di Sungai Musi seperti anggapan sebelumnya. Situs arkeologi mencakup delapan candi yang sudah digali, di kawasan seluas sekitar 12 kilometer persegi, membentang 7,5 kilometer di sepanjang Sungai Batang Hari, serta 80 menapo atau gundukan reruntuhan candi yang belum dipugar. Situs Muaro Jambi bercorak Buddha Mahayana-Wajrayana. Hal ini menunjukkan bahwa situs tersebut adalah pusat pembelajaran Buddhis, yang dikaitkan dengan tokoh cendekiawan Buddhis terkenal Suvarṇadvipi Dharmakirti dari abad ke-10. Catatan sejarah dari Tiongkok juga menyebutkan bahwa Sriwijaya menampung ribuan biksu.
Teori lain mengajukan pendapat bahwa Dapunta Hyang berasal dari pantai timur Semenanjung Malaya, bahwa Chaiya di Surat Thani, Thailand Selatan adalah pusat Kedatuan Sriwijaya. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa nama kota Chaiya berasal dari kata "Cahaya" dalam bahasa Melayu. Ada pula yang percaya bahwa nama Chaiya berasal dari Sri Wijaya, dan kota ini adalah pusat Sriwijaya. Teori ini kebanyakan didukung oleh sejarawan Thailand, meskipun secara umum teori ini dianggap kurang kuat.
b. Luas Wilayah Kerajaan Sriwijaya


Dalam Prasasti Tanjore (1030 Masehi) juga termuat daftar wilayah Sriwijaya. Seperti yang tertera pada tabel dibawah ini:
Nama kawasanKeterangan
PannaiPannai
MalaiyurMalayu
MayirudingamSemenanjung Malaya
IlangasokamLangkasuka
MapappalamBago
MevilimbangamKamalangka
ValaippanduruPanduranga
TalaittakkolamTanah Genting Kra
MadamalingamTambralingga
IlamuridesamLamuri
ManakkavaramNikobar
KadaramKedah

Pada abad ke-7 Masehi, Sriwijaya menaklukkan kerajaan Kedah dan Malayu dan menjadikan mereka sebagai dua kerajaan vasal sebagai bagian kedatuan Sriwijaya. Berdasarkan penyebaran prasasti, seperti prasasti Kota Kapur yang ditemukan di pulau Bangka, Karang Berahi, Palas Pasemah dan Ligor yang berlokasi di Thailand menunjukkan kekuasaan kedatuan ini tersebar di wilayah ditemukan prasasti-prasasti ini.
Prasasti Kota Kapur memuat kutukan terhadap siapapun yang mengkhianati Sriwijaya. dan menyatakan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya. Istilah Bhumi Jawa masih dalam beragam tafsiran dan mungkin bisa merujuk kepada daerah di Sumatra atau Pulau Jawa.. Bisa jadi hal tersebut berkaitan dengan Kerajaan Kalingga, mengingat hubungan mereka yang kurang baik.
Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Laut Jawa bagian Barat, dan kemungkinan juga Teluk Thailand.
Pada tahun 775 Masehi, Sriwijaya menaklukkan Nakhon Si Thammarat dan memperluas kekuasaannya ke Langkasuka. Pada abad ke-8 Masehi, Pan Pan berada dalam wilayah kekuasaan Sriwjaya dibawah kuasa dari Dharmasetu. yang nantinya pada abad ke-10 Masehi berubah nama menjadi Tambralingga.
6. Puncak Kejayaan Kerajaan Sriwijaya
a. Secara Umum
Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 Masehi, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkih, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya atau Jawa) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.
Kedatuan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.
b. Bidang Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Catatan Tiongkok menjelaskan bahwa Pengunjung yang datang ke Sriwijaya menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan sebagai nilai tukar untuk berdagang.
Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkih, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar Tiongkok untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya.
Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya.
Disebutkan dalam catatan sejarah Champa, adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 Masehi.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718 Masehi, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 Masehi mengirimkan hadiah untuk kaisar Tiongkok, berupa ts'engchi (merujuk Zanji dalam bahasa Arab).
Pada paruh pertama abad ke-10 Masehi, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya, yaitu Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka.
c. Bidang Militer
Sebelumnya diasumsikan bahwa Sriwijaya merupakan kekuatan maritim yang tidak lepas hubungannya dengan etnisitas dan kebudayaan masyarakat di Selat Malaka. Asumsi yang terjadi adalah bahwa terbentuknya negara dengan sukses dan hegemoni di selat berhubungan langsung dengan kemampuan dalam keikutsertaan kegiatan maritim internasional, yang berarti negara ini berkembang dan mempertahankan lingkaran kekuasaannya dengan angkatan laut. Akan tetapi, survei dari informasi yang ada menunjukkan bahwa asumsi seperti itu tidak tepat. Data tentang aktivitas maritim sangat sedikit dan penyebutan angkatan laut hanya terjadi dalam sumber yang tidak lengkap. Bahkan aspek material angkatan laut Asia Tenggara tidak diketahui hingga abad ke-15 Masehi, perhatian ilmiah umumnya berfokus pada teknik pembuatan kapal.
Dalam prasasti Kedukan Bukit (683 Masehi), mencatat bahwa hanya 312 orang yang menggunakan perahu dari total kekuatan 20.000 orang, yang juga termasuk didalamnya 1312 orang tentara darat. Banyaknya jumlah tentara darat menunjukan bahwa angkatan laut Sriwijaya hanya berperan sebagai penyedia kecil dukungan logistik. Pada abad ke-8 Masehi, kemampuan angkatan laut Sriwijaya berkembang mengimbangi proporsi kekuatan angkatan daratnya, meskipun hanya berperan sebagai pendukung logistik.
Selain itu, tidak adanya istilah yang menunjukkan kapal laut untuk keperluan umum dan militer menunjukkan bahwa angkatan laut bukanlah aspek permanen negara di Selat Malaka. Bahkan ketika kekuatan tetangga di maritim Asia, terutama Jawa selama abad ke-10 hingga abad 14 Masehi, dan Chola India pada abad ke-11, mulai mengembangkan angkatan lautnya, kekuatan laut Sriwijaya relatif lemah.
Sebagai contoh kasus, Songshi dan Wenxian Tongkao mencatat bahwa antara tahun 990-991 Masehi, seorang utusan Sriwijaya tidak dapat kembali dari Cina Selatan ke Palembang karena konflik militer yang sedang berlangsung antara Jawa dan Sriwijaya. Namun orang Jawa, orang Arab dari Timur Tengah, dan orang Asia Selatan mampu mempertahankan pertukaran diplomatik dan ekonomi dengan Cina selama waktu ini. Jelas, angkatan laut Jawa cukup kuat untuk benar-benar mengganggu komunikasi Sriwijaya dengan Cina. Terlepas dari konfrontasi angkatan laut antara Jawa dan Sriwijaya, komunikasi antara negara-negara pesisir Samudra Hindia dan Cina terus berlanjut selama waktu ini, menunjukkan bahwa konflik tidak selalu terjadi di laut lepas, tetapi lebih cenderung terbatas pada muara dan sungai di sekitar ibu kota Sriwijaya di Palembang, muara Sungai Musi dan Selat Bangka.
Tanggapan Sriwijaya terhadap agresi Jawa tampaknya bersifat defensif. Dalam catatannya tentang Sanfoqi, Zhao Rugua mencatat dalam Zhufanzhi (sekitar tahun 1225 Masehi):
"Di masa lalu, [negara ini] menggunakan rantai besi sebagai penghalang untuk bersiap menghadapi pihak perampok lainnya (tiba dengan kapal?). Ada peluang untuk melepaskannya (yaitu menarik) dengan tangan. Jika kapal dagang tiba, (rantai) itu harus dilepaskan".
Ketidakmampuan negeri-negeri Selat Malaka untuk menanggapi ancaman maritim menjadi sangat jelas di awal abad ke-11 Masehi, antara abad ke 1017-1025 Masehi, Chola menyerbu pelabuhan-pelabuhan utama Melayu di Selat dan Teluk Siam, termasuk Kedah, Melayu (Jambi), Lambri, Sriwijaya dan Langkasuka, menjarah perbendaharaan Kedah dan menangkap penguasa Sriwijaya, merupakan indikasi lebih lanjut dari ketidakmampuan negeri-negeri Selat Malaka untuk mempertahankan diri dari serangan angkatan laut.
Dengan demikian, hingga abad ke-11 Masehi, setidaknya dalam hal pandangan militer mereka, kerajaan tersebut bisa dibilang berbasis darat. Hanya dengan perubahan konteks internasional dari abad kesebelas dan seterusnya, yang awalnya ditandai dengan serangan Chola, dan kemudian dengan meningkatnya kehadiran pedagang Cina yang langsung beroperasi di perairan Asia Tenggara, ditambah dengan munculnya kekuatan baru di pinggiran laut, peran dan sifat angkatan laut ini mulai berubah.
d. Bidang Pendidikan
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695 Masehi, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Tiongkok ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India". Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.
Terdapat lebih dari 1000 pandeta Buddha di Sriwijaya yang belajar serta mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka menganalisis dan mempelajari semua topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah berbeda sama sekali [dengan yang ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari naskah-naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau 2 tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan tepat.
Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.
Kedatuan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9 Masehi, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama Muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra kelak, di saat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
e. Hubungan Diplomatik Mancanegara
1) Dengan kekhalifahan Umayyah
Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Surat itu dikutip dalam Al-'Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih (sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir).
"Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku". Surat Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.
2) Dengan kerajaan Medang (wangsa Sailendra)
Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, dan bahasa Melayu umumnya digunakan pada prasasti-prasasti di Sumatra, maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatra walaupun prasasti Sojomerto ditulis dalam aksara Jawa, kemungkinan jawa hanya terkena pengaruh agama buddha yang masuk melalui Sumatra, Walaupun asal usul bahasa Melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang.
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India. Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa. Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuno di antaranya prasasti Sojomerto.
Prasasti Sojomerto sering digunakan sebagai bukti bahwa wangsa Sailendra berasal dari Sumatra karena mengasumsikan kata Selendra sebagai penyebutan Melayu untuk Sailendra dan Dapunta Selendra adalah pendahulu dinasti ini, namun penelitian termutakhir tidak menunjukkan seperti itu.
Menurut Damais, prasasti Sojomerto berasal dari abad ke-8 Masehi, menempatkannya setelah prasasti Kedukan Bukit (683 Masehi). Selain itu nama Selendra dari prasasti Sojomerto sepertinya tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Sailendra: Dalam prasasti itu disebut kata hakairu dan daiva yang mempunyai diftong ai, sehingga seharusnya diftong itu juga digunakan dalam nama Dapunta Selendra. Selain itu, teori ini sudah usang karena tidak ada data keberadaan dinasti Sailendra di Sumatra lebih awal dari abad kesembilan dan Sriwijaya tidak dapat menaklukkan Jawa, yang terjadi adalah kebalikannya — dinasti Sailendra menundukan Sriwijaya dan daerahnya di semenanjung Melayu.
Dinasti Sailendra dari Jawa menjalin hubungan dengan garis keturunan Sriwijaya dari Sumatra, dan selanjutnya mendirikan kekuasaan dan kekuasaan mereka di Kerajaan Mataram Jawa Tengah. Tidak diketahui sifat pasti dari hubungan itu, dengan sumber-sumber Arab menyebutkan bahwa Zabag (Jawa) memerintah Sribuza (Sriwijaya), Kalah (sebuah tempat di semenanjung Melayu, mungkin Kedah), dan Ramni (sebuah tempat di Sumatra, mungkin Lamuri).
Di Jawa, pewaris Dharanindra adalah Samaragrawira (memerintah 800–819 Masehi), yang disebutkan dalam Prasasti Nalanda (bertarikh 860 Masehi) sebagai ayah dari Balaputradewa, dan putra dari Śailendravamsatilaka (perhiasan keluarga Śailendra) dengan nama gelaran Śrīviravairimathana (pembunuh perwira musuh), yang merujuk kepada Dharanindra. Tidak seperti pendahulunya, Raja Dharanindra yang germar berperang, Rakai Warak tampaknya cenderung cinta damai, ia menikmati kemakmuran dan kedamaian Dataran Kedu di pedalaman Jawa, dan lebih tertarik untuk menyelesaikan proyek pembangunan candi Borobudur.
Dia menunjuk seorang pangeran Khmer bernama Jayawarman sebagai gubernur Indrapura di delta Sungai Mekong di bawah kekuasaan Sailendra. Keputusan ini terbukti sebagai kesalahan, karena Jayawarman kemudian memberontak, memindahkan ibu kota lebih jauh ke pedalaman utara dari Tonle Sap ke Mahendraparwata, memutuskan ikatan dan memproklamasikan kemerdekaan Kamboja dari Jawa pada tahun 802 Masehi. Rakai Warak disebut-sebut sebagai raja Jawa yang menikahi Tara, putri Dharmasetu dari Sriwijaya. Ia disebut dalam nama yang lainnya; Rakai Warak dalam Prasasti Mantyasih.
Sejarawan sebelumnya, seperti N. J. Krom, dan Coedes, cenderung menyamakan Rakai Warak dengan Samaratungga. Namun, sejarawan kemudian seperti Slamet Muljana menyamakan Samaratungga dengan Rakai Garung, yang disebutkan dalam Prasasti Mantyasih sebagai raja kelima kerajaan Mataram. Yang berarti Samaratungga adalah penerus dari Rakai Warak.
Dewi Tara, putri Dharmasetu, menikahi Samaratungga, seorang anggota keluarga Sailendra yang kemudian naik takhta di Sriwijaya sekitar tahun 792 Masehi.
3) Dengan Kerajaan Pala (750–1174 Masehi)
Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Masehi, Balaputra menegaskan asal usulnya sebagai keturunan raja Jawa.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 Masehi mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda.
4) Dengan Kerajaan Chola (300s SM–1279 Masehi)
Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra, Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11 Masehi.
Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga, Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola.
Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.
5) Dengan Kerajaan Tiongkok
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran Tiongkok, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.
7. Konflik Mancanegara Kerajaan Sriwijaya
a. Konflik dengan Kerajaan Medang
Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10 Masehi, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kedatuan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama She-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan She-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 Masehi, tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an Masehi, yaitu antara tahun 988-992 Masehi pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.
Pada musim semi tahun 992 Masehi, duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di tahun 992 Masehi. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991 Masehi. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 Masehi, untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Pengaruh hindu-budha batu Prasasti Hujung Langit tahun 997 Masehi kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatra. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatra. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.
Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu.(Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).
Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram, sekitar tahun antar 1006 Masehi atau 1016 Masehi menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.
b. Serangan Kerajaan Chola
Pada tahun 1017-1025 Masehi, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030 Masehi, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola.
Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i (Sanfoqi) ke Tiongkok tahun 1028 Masehi. Sanfoqi mengirim utusan ke Cina pada tahun 1028, tetapi ini merujuk pada kerajaan Malayu-Jambi, bukan Sriwijaya-Palembang, dibuktikan dengan catatan China tentang Sanfoqi Zhanbei guo (Sanfoqi negara Jambi).
8. Kemunduran Kerajaan Sriwijaya
Faktor pertama kemunduran Kerajaan Sriwijaya adalah serangan dari Kerajaan Chola, India, pada kisaran tahun 1017-1025 Masehi.
Kemudian Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin berkurang. Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.
Selain itu, tidak ada utusan Sriwijaya datang ke Tiongkok antara 1028–1077 Masehi. Hal ini mengindikasikan bahwa kekuasaan Sriwijaya sudah memudar. Sangat mungkin Sriwijaya sudah runtuh pada tahun 1025 Masehi. Pada abad-abad setelahnya, kronik Tiongkok masih menyebut "Sanfoqi", tetapi istilah ini kemungkinan merujuk pada kerajaan Malayu-Jambi. Bukti epigrafi terakhir yang menyebut kata "Sriwijaya" berasal dari prasasti Tanjore kerajaan Chola tahun 1030 atau 1031 Masehi.

Komentar